Jangan sampai lembaga pendidikan seperti museum."
Jakarta (ANTARA News) - Kegaduhan politik, mulai dari perpecahan di tubuh Partai Golongan Karya (Golkar) hingga menjelang pemilihan kepala daerah serentak, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, tidak mengusik ketenangan M. Jusuf Kalla (JK) menjalankan tugas sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Baginya, menang atau kalah dalam berpolitik adalah hal biasa. Sebagai seorang negarawan berpengalaman, Kalla tidak perlu merenungi kekalahan orang-orang yang didukungnya di partai politik tertentu atau tersingkirnya kolega dari posisinya di lembaga eksekutif.

Isu renggangnya hubungan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga ditanggapi Wapres Kalla dengan kepala dingin.

Bahkan, pelantikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Thahar di Jakarta, Jumat (14/10), tanpa kehadiran Kalla pun dinilainya bukan menjadi persoalan serius dalam dinamika Kabinet Kerja memasuki usia dua tahun.

Dia sama sekali tidak tersinggung dengan pengangkatan secepat kilat anggota kabinet di jajarannya itu. "Tidak apa-apa," tutur Wapres Kalla, sambil tersenyum khasnya saat ditemui di rumah pribadi di Jalan H. Bau, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Ia mengaku baru ditelepon Presiden Jokowi beberapa saat setelah dirinya turun dari Masjid Al Markaz Al Islami di kampung halamannya itu seusai menunaikan Shalat Jumat pada 14 Oktober 2016, terkait pejabat tertinggi di Kementerian ESDM yang dua bulan terakhir ini lowong.

Siang itu pun dia memilih melenggang ke Wisma Kalla yang hanya berjarak sekira tiga kilometer dari kediamannya untuk bertemu jajaran Rektorat Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dalam menyiapkan generasi muda untuk membangun bangsa di masa mendatang.

Hiruk-pikuk di kalangan media mengenai absennya Kalla dalam pelantikan menteri di Istana Presiden di Jakarta diabaikannya karena masalah pendidikan bangsa jauh lebih penting daripada hanya menuruti syahwat politik sesaat.

Demikian pula dengan situasi di Ibu Kota Negara yang siang itu memanas oleh aksi demonstrasi ribuan orang memprotes Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tampaknya secara khusus tidak menarik perhatian Kalla yang pernah menjabat Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia itu.

Demi terwujudnya masa depan yang baik bagi anak bangsa, pria berusia 74 tahun yang dua kali menduduki kursi "orang kedua" di negara berpenduduk 250 juta jiwa lebih itu tidak butuh panggung untuk sekadar pencitraan.

Tak terhitung berapa kali dia mendatangi lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal, sejak dilantik menjadi Wakil Presiden periode 2014-2019 pada tanggal 20 Oktober dua tahun silam itu. Ia juga tetap aktif dalam berbagai aksi sosial selepas jabatan Wapres RI periode 2004-2009.

Jika bertemu dengan mahasiswa berusia belia, maka Kalla tidak segan-segan memberikan nasihat.

"Selalu saya peringatkan kepada mahasiswa agar jangan lambang universitas dinodai dengan lambang perkelahian dan demo. Harus hilangkan 100 persen gejala itu. Begitu tingkah laku tidak bisa menjadi contoh, maka peradaban akan hilang," ujarnya dalam Dies Natalis ke-60 Unhas pada 10 September 2016.

Dia pun sangat tenang saat menghadapi seorang mahasiswi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, yang tiba-tiba "nyelonong" di depan pintu mobil dinasnya saat hendak meninggalkan kampus itu.

Kalla juga tidak canggung saat diajak ribuan santri Pondok Pesantren Modern Darussalam untuk bersama-sama melakukan sujud syukur dalam peringatan 90 tahun ponpes yang berlokasi di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada 20 Agustus 2016.

Demikian pula ketika bertemu jajaran akademisi atau pimpinan lembaga perguruan tinggir, Kalla tidak pernah lupa menitipkan generasi bangsa ini.

"Pendidikan itu memikirkan masa depan. Beda dengan museum yang hanya berpikir masa lalu. Jangan sampai lembaga pendidikan seperti museum," demikian pernyataan yang sering kali dilontarkannya dalam berbagai kesempatan di depan insan pendidikan di seluruh pelosok negeri.

Daya saing bangsa

Pengalamannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2001-2004 menjadikan Kalla semakin sangat memahami seluk-beluk pendidikan di Indonesia.

Sistem pendidikan di Indonesia tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia, yang sempat dia amati dalam kaitannya dengan pelaksanaan ujian akhir bagi siswa sekolah menengah saat dia masih menjabat Menko Kesra itu.

Hanya Filipina, yang menurut dia, materi dan kualitas ujian akhir untuk siswa sekolah menengah bisa dikalahkan Indonesia, sedangkan Thailand masih berada di atas Indonesia. Padahal, daya saing di Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) semakin ketat.

Selama sistem pendidikan belum dibenahi secara benar dan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, Kalla tidak yakin generasi mendatang mampu bersaing dengan negara-negara lain, apalagi dalam implementasi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Masa depan pendidikan nasional belum sepenuhnya cerah. Indonesia masih gamang dalam menerapkan sistem pendidikan, apakah berbasis keterampilan seperti yang diterapkan di China, Jepang, dan Korea Selatan ataukah mengarah pada peningkatan kreativitas, seperti yang diperlihatkan di lembaga-lembaga pendidikan di Amerika Serikat (AS) dan Jerman.

"Idealnya, keduanya itu bisa kita jadikan kiblat," kata Kalla, dalam satu kesempatan bertemu para rektor perguruan tinggi pendidikan negeri di Istana Wakil Presiden di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, rendahnya kualitas pendidikan merupakan persoalan serius, terutama dalam mendongkrak daya saing Indonesia dalam dunia global.

Apalagi, indeks persaingan global Indonesia dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan dari peringkat ke-41 pada 2014 menjadi peringkat ke-38 pada 2016. Memang persoalan kualitas pendidikan bukan satu-satunya faktor yang memicu penurunan daya saing Indonesia tersebut.

Menurut World Economic Forum (WEF) sebagaimana dikutip oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir ada tiga faktor yang menjadikan indeks persaingan global Indonesia anjlok, yakni masih maraknya praktik korupsi, rumitnya pelayanan birokrasi, dan rendahnya kualitas infrastuktur.

Sektor pendidikan di Indonesia, sebagaimana data WEF, termasuk kategori terbaik (best). Namun, fakta lain dari 140 negara yang dihitung indeks persaingan global, bidang pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-65.

Hal itu tentu menjadi persoalan serius karena masyarakat Indonesia harus menghadapi persaingan bebas di kawasan Asia Tenggara. Jika tidak ingin tertinggal lebih jauh lagi dengan negara sekawasan, maka Indonesia harus bekerja keras membenahi persoalan di bidang pendidikan itu.

Walau begitu, Wapres Kalla menanggapi data yang disajikan oleh WEF tersebut secara arif. "Sebenarnya kita sudah berupaya keras, tapi negara lain jauh lebih baik lagi dari kita, sehingga peringkat kita menurun," demikian M. Jusuf Kalla.

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016