Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai hukuman maksimal kepada predator anak belum optimal diterapkan.

"Aturan sudah ada tapi belum tahu bisa dilaksanakan atau tidak karena masih pro-kontra," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam keterangan tertulis, Rabu.

Semendawai merujuk pro-kontra itu dengan sikap dokter dalam mengibiri pelaku dan penolakan para aktivis hak asasi manusia.

Semendawai mengungkapkan pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak demi menambah efek jera bagi pelaku kejahatan seksual anak, mulai dari pemberatan sanksi pidana, pengumuman identitas pelaku, ancaman hukum tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk pelaku dewasa.

Baca juga: (Mensos kutuk aksi biadab predator anak di Sorong)

Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani menyoroti naiknya jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada polisi. "Belakangan kasus kekerasan seksual anak mulai mencuat," ujar Lies.

Staf Ahli Gubernur Jambi Tagor Nasution mengungkapkan jumlah anak yang menjadi korban kekerasan mencapai 340.000 orang atau 11 persen dari total jumlah penduduk Jambi sekitar 3,4 juta jiwa.

Tagor menambahkan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan meningkat dari 24 kasus pada 2015 menjadi 64 kasus pada 2016.

Baca juga: (LPSK himpun data kekerasan Diksar Mapala UII)

Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017