Jakarta (ANTARA News) - Setara Institute menyayangkan persekusi yang menimpa Jamaah Ahmadiyah dalam bentuk penyerangan, perusakan rumah, dan pengusiran dari Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (19/5) dan Minggu.

"Tindakan ini merupakan tindakan tercela atas nama agama. Aksi yang dilakukan oleh massa dari desa setempat ini dasari sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda," kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, kebencian dan intoleransi yang tumbuh di masyarakat harus ditangani sebagai tantangan dan potensi ancaman keamanan nyata.

"Intoleransi adalah tangga pertama menuju terorisme. Sedangkan terorisme adalah puncak intoleransi," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Bonar, energi pemberantasan terorisme harus dimulai dari hulu, yakni intoleransi sebagaimana yang terjadi di Lombok Timur ini. Jika dibiarkan, aspirasi politik kebencian dan intoleransi dapat berinkubasi menjadi aksi-aksi terorisme.

Ia menjelaskan, indikasi akan adanya aksi persekusi terhadap warga Ahmadiyah sebenarnya sudah dirasakan oleh warga Ahmadiyah sejak Maret 2018 dan sudah dilaporkan kepada aparat kepolisian dan pemerintah setempat.

Beberapa kali dialog antarwarga juga dihadiri oleh aparat Polsek Sakra Timur dan Polres Lombok Timur. Dalam dialog-dialog tersebut, kelompok warga intoleran menuntut warga Ahmadiyah untuk keluar dari keyakinan mereka dengan ancaman pengusiran jika tuntutan tersebut tidak diindahkan.

Setara pun mengutuk aksi tidak manusiawi yang dilakukan sekelompok warga intoleran terhadap warga Ahmadiyah di Lombok Timur tersebut.

"Tindakan demikian nyata-nyata merupakan tindakan melawan hukum, melanggar amanat konstitusi, bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan merusak kebinekaan," tegas Bonar.

Ia juga menyesalkan kegagalan aparat kepolisian dalam mengantisipasi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Greneng tersebut.

"Kapolri harus memberikan perhatian besar terhadap kinerja aparat keamanan dalam mencegah kekerasan atas nama agama," jelasnya.

Fokus aparat kepolisian atas penanganan terorisme yang dilakukan oleh jaringan teroris nasional dan transnasional, tambah dia, tidak boleh mengurangi perhatian aparat untuk melindungi warga minoritas dari rasa takut (fear), tidak aman (insecure) dan terancam (threatened) akibat teror kekerasan mengatasnamakan keyakinan mayoritas.

Justru pada aksi-aksi sejenis inilah ekstensi kerja pemberantasan terorisme harus dilakukan, meskipun dengan kerangka hukum yang berbeda, ujarnya.

Setara juga menuntut pemerintah untuk menjamin keamanan jiwa raga dan hak milik seluruh warga Ahmadiyah, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Jamaah Ahmadiyah memiliki seluruh hak dasar sebagai warga negara yang dijamin oleh UUD tahun 1945, hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Kami juga mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk mengambil tindakan segera untuk melakukan pemulihan (remedies) atas hak-hak korban yang terlanggar dan tercerabut akibat aksi kekerasan tersebut," kata Bonar.

Pengusiran dan pelanggaran berbagai hak dasar Jamaah Ahmadiyah di Mataram satu dekade yang lalu tidak boleh berulang dan menjadi pola tindakan massa dan pemerintah terhadap perbedaan keyakinan, mazhab, dan agama.

Selain itu, aparat keamanan dan pemerintah setempat harus memastikan kondusivitas sosial dengan mencegah eskalasi ketegangan sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama/berkeyakinan.

Pembiaran kekerasan seperti yang terjadi atas warga Ahmadiyah di Lombok Timur akan semakin membuka ruang bagi politisasi agama, intoleransi, dan ujaran kebencian untuk kepentingan politik elektoral jelang Pilkada Serentak, Pemilu, dan Pilpres mendatang, demikian Bonar.

Sebelumnya, sekelompok warga merusak sedikitnya delapan rumah diduga milik jamaah Ahmadiyah di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (19/5) dan Minggu, sekitar pukul 06.30 WITA.

"Kemarin ada enam rumak yang dirusak dan hari ini kembali terjadi perusakan dua unit rumah. Semuanya di Dusun Lau` Eat, Desa Gereneng," kata Pejabat sementara (Pjs) Bupati Lombok Timur H Ahsanul Khalik, ketika dihubungi dari Mataram, usai menggelar rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda), di Selong, Minggu.

Ia memastikan tidak ada korban jiwa dalam aksi perusakan tersebut karena warga hanya merusak rumah.

Akibat aksi perusakan tersebut, sebanyak 24 orang diungsikan ke aula Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Baca juga: Walkot Depok: penyegelan markas Ahmadiyah sudah sesuai aturan

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018