Jakarta (ANTARA News) - UU No.56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang membatasi kepemilikan lahan oleh perorangan dinilai tidak efektif. Dalam sidang uji materiil di Gedung MK, Jakarta, Senin, ahli agraria yang diajukan oleh pemohon, Arie S Hutagalung, menyatakan, pelaksanaan UU tersebut menjadi tidak efektif karena memberikan waktu tiga bulan bagi pemilik tanah berlebih untuk melapor. Pada praktiknya, Arie menuturkan, pemilik tanah yang memiliki luas melewati batasan maksimum itu sebelum jangka waktu tiga bulan yang ditentukan ternyata mengalihkan kepemilikan itu kepada sanak keluarganya dan tidak menyerahkannya kepada pemerintah. "Ini hasil penelitian lapangan yang saya lakukan sejak tahun 1979. Pelaksanaannya tidak efektif karena ada tenggang waktu tiga bulan untuk melaporkan kepemilikan kelebihan tanah. Yang terjadi, tanah itu dialihkan kepada anak dan menantunya," tuturnya. Menurut dia, pelaksanaan reformasi agraria yang dimaksud oleh penetapan luas tanah maksimum oleh perorangan itu, pada akhirnya tidak dapat terlaksana karena bergantung pada kepatuhan individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya. Arie menceritakan, saat melakukan penelitian di Minahasa, Sulawesi Utara, ada seorang pejabat yang sampai menguasai 40 persen lahan di daerahnya namun tidak terkena peraturan pembatasan tersebut. "Sehingga yang terjadi adalah rekayasa hukum untuk menghindarkan tanah kelebihan maksimum itu agar tidak diambil oleh negara," katanya. Ia mengatakan, banyak pasal dalam UU Penetapan Luas Tanah Pertanian yang berlaku sejak 1 Januari 1960, yang kini tidak lagi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia. Menurut Arie, ketidaksuksesan reformasi Agraria juga disebabkan oleh tidak sempurnanya UU tersebut karena kondisi saat ini tidak lagi sesuai dengan perhitungan jumlah keluarga serta penentuan daerah padat dan tidak padat pada tahun 1960. "Oleh karenanya, sudah saatnya pemerintah mengadakan perubahan UU tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian," ujarnya. Namun, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, membantah UU tersebut tidak efektif. Menurut dia, sampai 2006 BPN telah menerima 121 ribu hektar tanah yang diserahkan kepada negara dari 31 ribu perseorangan dengan nilai ganti rugi Rp58,52 miliar. Joyo juga membantah sosialisasi UU itu tidak berjalan baik, karena pada Desember 2006 saja BPN mendapatkan laporan dari pemilik tanah di pelosok Kalimantan yang melaporkan kelebihan lahannya. UU No 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian mengatur pembatasan lahan pertanian maksimum yang dapat dimiliki oleh perorangan. Lahan maksimum yang dapat dimiliki oleh peorangan itu berbeda di setiap daerah. Setiap orang yang memiliki lahan melebihi luas yang diperbolehkan wajib melaporkan kelebihan itu kepada pemerintah. Luas tanah berlebih yang diserahkan kepada negara itu mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. UU itu dikeluarkan oleh pemerintah pada 1960 untuk pelaksanaan reformasi agraria. Joyo berdalih pelaksanaan reformasi agraria menjadi tidak efektif karena ada hambatan politik pada 1965. "Reformasi agraria mencapai puncaknya pada 1964, setelah itu ada persoalan. Baru efektif lagi tahun 70-an," ujarnya. Namun, menurut dia, UU No 56 Tahun 1960 itu tetap dibutuhkan karena menjadi tonggak pelaksanaan reformasi agraria. Meski demikian, Joyo mengaku, sistem hukum dan politik pertanahan di Indonesia belum seimbang mendukung pelaksanaan reformasi agraria karena tidak ada aturan hukum yang membatasi milik perusahaan atau badan hukum. Uji materiil UU No 56 Tahun 1960 diajukan oleh Yusri Ardisoma. Ia mengajukan uji materiil pasal 10 ayat 3 dan 4 UU tersebut yang memuat ketentuan pidana dan denda serta tidak diberinya ganti rugi atas kelebihan lahan bagi pemilik yang tidak melaporkan. Menurut dia, ketentuan tersebut diskriminatif karena pada kenyataanya banyak pemilih lahan yang melampaui batas maksimum, yang ternyata tidak melapor dan didiamkan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007