Sebelumnya Indonesia dituding oleh dunia sebagai kontributor gas rumah kaca terbesar nomor tiga di seluruh dunia. Itu tuduhan dunia. Namun berkat pengawasan atau pemantauan yang dilakukan BMKG kita bisa membuktikan tudingan itu tidak berdasarkan data
Jakarta (ANTARA News) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia bukan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar ketiga di dunia.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menuturkan selama 14 tahun pengukuran gas rumah kaca di Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) atau Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat, kenaikan konsentrasi karbondioksida (CO2) sekitar 1,94 ppm per tahun dari 371,7 ppm pada Juni 2004 menjadi 398,8 ppm pada Juni 2018.

"Sebelumnya Indonesia dituding oleh dunia sebagai kontributor gas rumah kaca terbesar nomor tiga di seluruh dunia. Itu tuduhan dunia. Namun berkat pengawasan atau pemantauan yang dilakukan BMKG kita bisa membuktikan tudingan itu tidak berdasarkan data yang tepat," jelas Dwikorita dalam konferensi pers sebagai rangkaian acara Lokakarya Internasional Penguatan Pelayanan Publik di Bidang Pemantauan Gas Rumah Kaca, di Jakarta, Selasa.
 
Dari kiri ke kanan Kepala Pusat Pelayanan Informasi Iklim Terapan BMKG Guswanto, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers sebagai rangkaian acara Lokakarya Internasional Penguatan Pelayanan Publik di Bidang Pemantauan Gas Rumah Kaca di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (7/08/2018). (ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)

Namun dengan Stasiun GAW menghasilkan data kenaikan CO2 1,94 ppm sejak 1996 sampai 2018. 1,94 ppm ini ternyata di bawah rata-rata kenaikan dunia yang mencapai dua koma sekian ppm. Artinya kalau masih di bawah rata-rata itu kan berarti bukan kontributor nomor tiga di dunia, tambah Dwikorita.

Kenaikan konsentrasi CO2 di Indonesia itu menunjukkan angka yang lebih rendah dari laju kenaikan konsentrasi CO2 global, namun sama-sama memiliki kecenderungan tren yang terus naik dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, semua komponen bangsa harus menempatkan kesadaran bersama dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

"Kami terus melakukan pemantauan dan pengawasan dan berupaya mengurangi gas rumah kaca secara sistem," ujarnya.

Dia menuturkan walaupun laju kenaikan CO2 Indonesia itu tidak setinggi konsentrasi CO2 hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa di Amerika Serikat maupun pengukuran rata-rata global, namun data dan informasi yang diperoleh dari Stasiun GAW Bukit Koto Tabang sangat bermanfaat untuk referensi dalam mitigasi perubahan iklim dan negosiasi praktis perubahan iklim.

Dia menuturkan Stasiun GAW Bukit Koto Tabang telah berstandar internasional termasuk kapasitas sumber daya manusia dan peralatan, dan datanya diakui oleh dunia yang mana data yang dikeluarkan dari Stasiun GAW Bukit Koto Tabang merupakan data berkualitas dunia.

"Kalau kita menerima viral kita harus kritis, informasi itu seberapa akurat kualitasnya sehingga Jangan sampai kita justru tidak mempercayai data kita sendiri dan lebih percaya dengan sembarang organisasi berbau asing," ujarnya. BMKG dengan supervisi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah berkontribusi secara global dan nasional dalam melaporkan pengukuran gas rumah kaca yang dilakukan Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW).

Pengamatan gas rumah kaca yang dilakukan BMKG merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk ikut serta dalam aksi mitigasi sesuai kesepakatan Paris atau Paris Agreement pada 2015 dan niat resmi pemerintah Indonesia dalam kontribusi nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).  

Target Indonesia dalam NDC saat ini adalah bagian dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagai sebuah keputusan politik tingkat tinggi yang mengintegrasikan program pembangunan nasional di mana Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional sampai pada 2030. 

Stasiun Global Atmosphere Watch adalah stasiun pemantau atmosfer global dengan sistem observasi standar dunia. 

Selain gas rumah kaca, Stasiun GAW melakukan pemantauan kualitas udara yang tidak dapat dipisahkan dalam pemantauan gas rumah kaca karena keterkaitan hubungan kausatif antara keduanya. 

Hingga saat ini, terdapat 31 stasiun pemantau atmosfer global yang tersebar di berbagai negara di dunia. 

Di Indonesia, Stasiun GAW Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat merupakan salah satu unit kerja di bawah koordinasi BMKG yang menjadi kontributor data ke World Data Centre (WDC) meliputi data gas rumah kaca ozon dan karbonmonoksida, data radiasi matahari dan aerosol yang beroperasi sejak 7 Desember 1996. 

Stasiun GAW Bukit Koto Tabang mewakili kondisi gas rumah kaca di wilayah Indonesia bagian barat. Saat ini, Stasiun GAW Bukit Koto Tabang telah berkembang menjadi pusat penelitian yang unggul untuk pemantauan dan penelitian atmosfer yang melibatkan partisipasi aktif dari pemerintah provinsi setempat, universitas dan instansi pemerintah antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananm Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Selain Stasiun GAW Bukit Koto Tabang, BMKG melalui APBN tahun 2013 membangun Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri Palu, Sulawesi Tengah untuk merepresentasikan data gas rumah kaca Indonesia bagian tengah dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global Puncak Vihara Klademak Sorong, Papua untuk mewakili Indonesia bagian timur. 

BMKG saat ini terus memperlengkapi Stasiun GAW di Palu dan Sorong untuk menjadi berstandar dan tersertifikasi internasional.

***4***

Baca juga: Pemerintah Indonesia berkomitmen terus tanggulangi perubahan iklim
Baca juga: Kementan gelar workshop dukung program pengurangan emisi 26 persen 2020
Baca juga: Indonesia turunkan 11 persen emisi GRK

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018