"Kami tidak masalah tidur di lapangan, minum air gambut tanpa dimasak, meninggalkan keluarga. Karena ini tanggung jawab, asap banyak dampaknya ke anak cucu dan ini suatu yang bisa kami berikan pada negara,"
Oleh Anggi Romadhoni

Pekanbaru  (ANTARA News) -  Indonesia akan menyelenggarakan kegiatan olahraga terbesar di Asia, Asian Games 2018. Dua Provinsi bertuah didapuk sebagai tuan rumah, Sumatera Selatan dan DKI Jakarta.

Seluruh persiapan matang telah dilakukan. Semangat Asian Games 2018 juga terus dikumandangkan. Di luar hingar bingar persiapan pesta olahraga empat tahunan tersebut, ada satu hal pokok yang terus menjadi perhatian pemerintah, yakni bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Tentu tidak ada yang berharap Karhutla tiba-tiba datang disaat nama baik bangsa dipertaruhkan. Sejak awal pemerintah telah melakukan persiapan dan pemetaan. Berbagai kekuatan baik militer hingga sipil dikerahkan. Helikopter pengebom air juga tidak ketinggalan.

Salah satu wilayah yang tak luput dari pengamatan adalah Provinsi Riau. Selama belasan tahun, Provinsi yang berada di tengah Pulau Sumatera itu menjadi pengekspor kabut asap. Negara tetangga Malaysia dan Singapura menjadi langganannya.

Namun, sejak pengalaman kelam 2015, Pemerintah Provinsi Riau berbenah. Hasilnya, 2016 hingga 2017 luasan Karhutla berhasil ditekan. Kabut asap berhasil ditiadakan. Tidak ada lagi kabut asap, bagi pemerintah Riau itu berarti sebuah prestasi.

Prestasi itu harus dan wajib terulang kembali pada 2018 ini. Pasalnya, ada ajang besar pada tahun yang sama, yakni pemilihan kepala daerah serentak yang sukses digelar Juni lalu dan Asian Games yang dimulai 18 Agustus mendatang.

Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman baru-baru ini kembali menegaskan komitmennya, untuk turut andil menyukseskan Asian Games 2018. Palembang yang menjadi provinsi tetangga Riau, harus sama-sama dijaga agar bebas dari kabut asap yang menyebalkan.

Dibawah koordinasi Komandan Resor Militer 031 Wirabima dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, satuan tugas kebakaran hutan dan lahan (Satgas Karhutla) terus melakukan berbagai langkah. Melalui sosialisasi pencegahan, penanggulangan hingga penegakan hukum yang digalakkan Polda Riau.

Berdasarkan catatan BPBD Riau, total 2.414 hektare lahan di Bumi Lancang Kuning terbakar sepanjang Januari hingga medio Juli 2018. Namun, kesigapan dan pengalaman yang baik didukung koordinasi maksimal, kebakaran berhasil diatasi dengan cepat sehingga tidak menimbulkan bencana asap.

BPBD Riau menyatakan saat ini terdapat lima unit helikopter pengebom air bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang siap membantu tim darat melakukan pemadaman Karhutla.

Selain itu, Provinsi Riau juga hingga kini telah memperpanjang status siaga Karhutla hingga November mendatang, setelah sebelumnya ditetapkan status itu pada awal Januari lalu.

Selain itu, sikap optimis Gubernur yang akrab disapa Andi itu merupakan kabar baik dan tentu saja menambah motivasi jajaran yang terus bekerja di lapangan.

Menjaga Riau bebas Karhutla tentu bukan pekerjaan mudah. Begitu banyak resiko dan bahaya yang harus dihadapi.

Tentu kita belum lupa bagaimana pengorbanan salah seorang anggota TNI Detasemen Rudal 004 Dumai hingga meninggal dunia akibat kekurangan oksigen saat melakukan pemadaman Karhutla 2016 silam.

Praka (Anumerta) Wahyudi, sempat hilang dan terpisah dari anggota TNI lainnya sebelum ditemukan dalam kondisi sebagian tubuhnya terbakar.

Besar harapan agar tidak ada lagi korban akibat Karhutla di Riau, meski diluar sana masih banyak yang harus bergelut mempertaruhkan nyawa demi bebas dari asap.



Pendekar Karhutla

Widi Santoso, pria asal Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu sosok yang selalu bergelut dengan Karhutla. Dia membagi kisahnya ketika ditemui Antara akhir pekan lalu.

Pria berusia 35 tahun itu, yang layak disebut sebagai pendekar Karhutla telah menghabiskan 11 tahun umurnya untuk berhadapan dengan api. Namun, bukan api yang ia khawatirkan, melainkan asap dampak dari Karhutla tersebut.

Widi, begitu pria satu anak itu akrab disapa mengatakan selama 11 tahun menjadi bagian dari pendekar Karhutla atau "fire fighter" PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), lebih banyak berada di areal terbakar dibanding bersama keluarga. Terutama saat musim kemarau, seperti yang saat ini terjadi di Riau.

Meminum air gambut bewarna kemerahan, hingga tidur di lahan terbakar selama seminggu lamanya telah jamak ia lakoni bersama anggotanya.

Namun, dia menilai seluruh kerja keras pendekar Karhutla dalam membantu pemerintah mengatasi bencana tahunan itu terbayar tuntas ketika Riau terbebas dari belenggu asap dalam dua tahun terakhir.

Salah satu musuh terbesar menjadi pendekar Karhutla adalah kebakaran yang terjadi di areal gambut. Pada areal dengan kontur lahan organik tersebut, asap yang dihasilkan sangatlah tebal.

Sementara itu, api begitu mudah menyebar ketika melahap lahan gambut kering. Api juga sulit dikendalikan ketika telah masuk ke dalam tanah gambut.

Untuk memadamkan 10 hektare lahan gambut yang terbakar, dibutuhkan waktu minimal dua hari. Namun, proses pemadaman dapat memakan waktu lebih lama ketika dilakukan oleh tim pemadam yang belum terlatih dan tidak didukung peralatan standar yang baik.

Widi mengaku bersyukur menjadi bagian dari 500 tim pendekar Karhutla atau "fire fighter" di perusahaan penghasil kertas terbesar di Riau tersebut. Sebelum terjun ke lapangan dan berhadapan dengan kebakaran, mereka telah mendapat pelatihan.

Pelatihan meliputi kesiapan fisik, mental, serta strategi dalam melakukan pemadaman. Misalnya membaca arah angin saat Karhutla atau mengarahkan hidung selang ke arah yang tepat. Berbekal kemampuan dan pelatihan itulah, tim inti pendekar Karhutla dan ribuan mitra tersebar di Provinsi Riau siap mengawal negeri Bumi Lancang Kuning bebas asap.

"Kami tidak masalah tidur di lapangan, minum air gambut tanpa dimasak, meninggalkan keluarga. Karena ini tanggung jawab, asap banyak dampaknya ke anak cucu dan ini suatu yang bisa kami berikan pada negara," tutup Widi.

(T.KR-BAA)

Pewarta: Bayu Agustari Adha
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2018