Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan

Jakarta  (ANTARA News) - Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah kepemimpinan ketua umum Edy Rahmayadi memiliki mimpi besar ingin meloloskan tim nasional ke Olimpiade tahun 2024 dan, lebih jauh, ke Piala Dunia tahun 2030.

Sebuah cita-cita besar yang tentu membutuhkan usaha dan pengorbanan yang luar biasa. Tidak mudah meloloskan tim nasional sepak bola ke Olimpiade.

Tercatat, penampilan pertama sekaligus terakhir kali Indonesia di cabang olahraga sepak bola putra Olimpiade yaitu pada tahun 1956 di Australia.

Ketika itu, timnas yang diperkuat pemain-pemain andal seperti Thio Him Tjiang, Phoa Sian Long, Maulwi Saelan, Ramang dan Tan Liong Houw bahu membahu berjuang bagi bangsa dan sukses melaju ke perempatfinal sebelum dikalahkan tim kuat Uni Soviet yang kemudian menjadi juara.

Sementara itu di Piala Dunia, Indonesia sebagai negara merdeka belum pernah berpartisipasi, kecuali pada tahun 1938 kala negara masih bernama Hindia Belanda.

Walau terlihat hampir tak mungkin dicapai, PSSI tetap kukuh meniti mimpinya. Beberapa program pun disusun dan semua aspek yang terkait itu disiapkan.

PSSI menyadari bahwa inti dari seluruh harapannya terletak di bahu para pemain muda yang kini, atau pada tahun 2018, berusia di bawah 16 tahun. Namun sebelum lebih jauh, mereka terlebih dahulu harus "dicekoki" dengan pola pikir yang sama.

Untuk itulah disusun sebuah konsep dasar pembinaan sepak bola yang disebut "filosofi nasional Indonesia" atau Filanesia. 

Secara umum, filanesia merupakan program yang disusun untuk membentuk karakter sepak bola Indonesia. Filosofi ini dituangkan dalam materi-materi latihan untuk anak-anak enam sampai 17 tahun.

Perlahan tapi pasti, filanesia diterapkan di sekolah-sekolah sepak bola, seiiring dengan kompetisi-kompetisi U-16 yang digulirkan oleh PSSI.

Demi mendapatkan pemain-pemain U-16 berbakat, PSSI pun menggelar Piala Soeratin U-15 untuk pertama kalinya pada tahun 2017, termasuk pula Piala Soeratin U-13 di tahun 2018. 

Setelahnya, mulai September 2018, dilangsungkan pula Liga 1 Elite Pro Academy U-16 yang menjadi kompetisi skuat U-16 klub-klub Liga 1 Indonesia.

Demi menampung pesepak bola terbaik di usia U-15 tersebut, PSSI menganggap perlu dibentuk tim nasional khusus bernama timnas U-15 yang akan dilatih mantan pemain nasional, sekaligus asisten timnas U-23 Indonesia di Asian Games 2018, Bima Sakti. 


Rujukan

Jika ada negara dengan mimpi besar di dunia sepak bola dan berhasil mewujudkannya, itu adalah Jerman. Karena itu mereka pantas dijadikan rujukan.

Kisah berawal dari tahun 1990, ketika Jerman yang saat itu masih sebagai Jerman Barat seolah terlena dengan trofi juara di Piala Dunia, yang menjadi gelar ketiga mereka di ajang empat tahunan tersebut,

Usai meraih juara Piala Dunia 1990, dengan tambahan pemain dari timur, Franz Beckenbauer (legenda sepak bola Jerman) memprediksi bahwa tim Jerman tidak akan terkalahkan hingga beberapa dekade selanjutnya.

"Kami percaya itu dan tidak menyadari bahwa para pesaing mulai melampaui kami dari semua sisi," ujar manajer yang juga mantan pemain timnas Jerman Olivier Bierhoff pada tahun 2016 kepada media Deutsche Welle (DW).

Hasilnya, sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000, Jerman mulai merasakan dampak dari jemawa mereka. Saat di Piala Eropa, Jerman terpuruk di Grup A dan gagal lolos karena hanya menduduki peringkat terakhir grup.

Kala itu, Jerman tidak berhasil mencatatkan satu pun kemenangan dan hanya mencetak satu gol. 

Nasib serupa mereka terima di Piala Eropa 2004. Gagal lolos grup, tidak pernah menang termasuk ketika ditahan imbang 0-0 oleh tim lemah Latvia.

Setelah itu, Jerman berbenah. Mereka sadar, tanpa pengembangan sepak bola yang baik dan terstruktur rapi, mereka tidak akan pernah mengulang lagi kejayaan di Piala Dunia.

Langkah pertama yang diambil oleh Jerman yaitu menginvestasikan uang dalam jumlah sangat besar untuk pengembangan pemain muda.

Dikutip dari The New York Times, kurang dari 10 tahun, Jerman sudah mengeluarkan uang sekitar satu miliar dolar AS atau saat ini sama dengan sekitar Rp14 triliun untuk mendidik pemain muda di akademi-akademi sepak bola milik tim-tim profesional dan pusat-pusat pelatihan di bawah pengawasan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB).

Di luar klub-klub profesional, DFB juga memiliki program pemain muda sendiri yang diterapkan di 366 pusat latihan di seluruh Jerman, dengan 1.000 pelatih, 25.000 pemain baik laki-laki maupun perempuan dengan pengeluaran paling sedikit 13 juta dolar AS pertahun.

DFB lalu menyusun ulang pemahaman mereka terhadap sepak bola dan mengeluarkan kampanye bahwa sepak bola adalah masa depan. Oleh karena itu, keberlanjutan merupakan inti dari pengembangan sepak bola Jerman.

Sekretaris Jenderal DFB periode 2012-2016 Helmut Sandrock, dalam laporan DFB berjudul "Football is The Future, Sustainability Report of the Deutscher Fußball Bund", menambahkan bahwa demi menyempurnakan sepak bola Jerman, mereka juga memberikan perhatian khusus bagi kalangan akar rumput.

"Setiap asosiasi sub-regional DFB menerima lima juta euro pertahun untuk mendukung pengembangan klub-klub amatir dan ini berarti memperkuat kontribusi terhadap pesepak bola usia dini. Masa depan keberlanjutan sepak bola akan terancam tanpa kerja sama erat antara klub profesional dan amatir," tutur Sandrock.

Pengorbanan DFB membuahkan hasil. Usai reformasi sepak bola secara besar-besaran, Jerman sukses meraih peringkat ketiga Piala Dunia 2006 dan 2010. Dan mimpi menjadi kembali juara Piala Dunia pun terwujud pada tahun 2014.

Jerman pun seperti tak berhenti menghasilkan para pemain muda berbakat. Selesai era Philipp Lahm cs., lanjut ke masa Mesut Oezil dan kawan-kawan, lalu kini, pada tahun 2018, giliran penyerang berbakat berusia 22 tahun Timo Werner dan rekan-rekanya beraksi memamerkan taji di belantara Eropa.

Melihat program yang dilakukan Jerman, rasa-rasanya saat ini akan sulit bagi PSSI untuk mengikutinya. Sebab, bukan rahasia umum kalau federasi sepak bola Indonesia itu tidak memiliki anggaran dana sebesar DFB untuk melakukan pengembangan sepak bola secara besar-besaran.

"Terlalu berat bagi PSSI untuk mengelola sendiri semuanya. Kami membutuhkan bantuan dari semua pihak mulai dari pemerintah, swasta hingga masyarakat untuk menata sepak bola kita dari akar rumput. Setiap hari asosiasi provinsi, asosiasi kabupaten, asosiasi kota, berjuang keras menggerakan kompetisi seperti Piala Soeratin. Kita semua tahu, tidak akan pernah ada sepak bola papan atas tanpa akar rumput yang baik," kata Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria.

Mendengar itu, wajar muncul rasa pesimistis terhadap perkembangan sepak bola Indonesia. Akan tetapi, tidak ada yang tidak mungkin. Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2030 bukanlah angan-angan kosong yang dinanti tanpa harapan.

Selama hasrat dan gairah untuk bekerja keras tanpa pamrih masih ada, pintu kesuksesan selalu terbuka. 

Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2018