Kalla meminta para ilmuwan yang ada di ICMI ikut mendukung terwujudnya swasembada pangan karena mereka punya kemampuan menghasilkan teknologinya.
Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk pada 28 tahun silam, Gus Dur adalah tokoh Muslim fenomenal yang tak berminat bergabung ke dalam organisasi itu.

Bagi figur Nahdlatul Ulama yang di kemudian hari menjadi presiden keempat itu, kecendekiawanan semestinya tak dikait-kaitkan dengan identitas sektarian keagamaan atau kesukuan. Tak banyak kaum terpelajar yang berpendirian seperti Gus Dur. Maka, berbondong-bondonglah akademisi dan kaum pemikir di luar kampus yang bergabung dalam keanggotaan ICMI.

Akhir pekan ini organisasi yang kelahirannya diprakarsai antara lain oleh BJ Habibie, ilmuwan aeronotika yang menjadi presiden ketiga, selesai menyelenggarakan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) di usianya yang lebih dari seperempat abad.

Ketika menutup pertemuan itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ICMI diharapkan ikut memakmurkan rakyat. Harapan itu pantas diapresiasi, tentunya.

Yang mungkin perlu ditelisik lebih jauh adalah pertanyaan ini: manakah yang lebih efektif, cendekiawan yang tak mengikatkan diri dalam organisasi atau yang tergabung dalam perkumpulan seperti ICMI yang bisa memainkan perannya menyejahterahkan rakyat?

Bagi Gus Dur, jawabannya sudah jelas: yakni yang merdeka dari ICMI lah yang bisa menyumbangkan pikirannya untuk menyejahterakan rakyat.

Pantas dicatat bahwa makna cendekiawan tak terbatas pada kaum ilmuwan yang memiliki kepakaran dalam teknologi dan sains saja yang bisa menyejahterakan rakyat.

Sepak terjang Gus Dur memperlihatkan bahwa keterlibatannya dalam Forum Demokrasi, wadah yang punya peran strategis dalam mendorong perubahan politik yang lebih terbuka dan demokratis, secara tak langsung membuka ruang bagi upaya penyejahteraan publik.

Ketika ICMI dibentuk, politik di Tanah Air di bawah kendali penguasa otokrat Orde Baru, yang ditopang oleh kekuatan militer. Para aktivis prodemokrasi dikejar-kejar. Mahasiswa yang bergerilya di bawah tanah lewat jaringan kerja diintimidasi, diculik dan sebagian dilenyapkan.

Mereka yang berkiprah di bawah organisasi resmi seperti ICMI dan organisasi serupa yang menggunakan label keagamaan seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha relatif aman dari kemungkinan buruk sebagaimana yang dialami mereka yang berkiprah di luar organisasi resmi.

Era otoriter itu sudah terkubur. Bersamaan dengan semakin demokratisnya praksis politik di Tanah Air, surut-redup pulalah gebyar ICMI di panggung politik. Organisasi kecendekiawanan yang menggunakan label keagamaan selain Islam pun tak terdengar lagi eksistensi mereka.



 
Ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie (kiri) melantik Sandiaga Salahudin Uno (kedua kiri) menjadi Korwil ICMI DKI Jakarta saat menghadiri acara Silahturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI tahun 2018 di Bandar Lampung, Lampung, Jumat (7/12/2018). Sandiaga Salahudin Uno dilantik untuk mengisi kekosongan Korwil ICMI DKI Jakarta yang sudah sejak lama vakum. (ANTARA FOTO/Ardiansyah/foc.)



Kini di tengah-tengah kebebasan berekspresi, para cendekiawan dari kalangan Muslim yang berkiprah tanpa menyebut-nyebut kemuslimannya pun tersebar di semua lini bidang kepakaran. Hal ini tentu layak disyukuri dalam rangka menguatkan sistem politik yang bebas dari anasir keagamaan, yang menjadikan republik ini untuk semua warga tanpa harus memandang dari kelompok keagamaan dan kesukuan mana mereka berasal.

Urusan republik memang tak boleh dikait-kaitkan dengan identitas keagamaan dan kesukuan. Siapa saja yang tergolong miskin, terpuruk, tertinggal, terlunta-lunta wajib memperoleh pemihakan, pertolongan, dari siapa pun.

Meskipun tak diekspresikan secara verbal terbuka, organisasi yang beradjektiva Muslim, Kristen, Hindu, Buddha punya kecenderungan untuk melakukan pemberdayaan yang sektarian pula.

Publik mafhum bahwa problem sosial ekonomi di Tanah Air tak mengenal karakteristik sektarian. Orang miskin Islam, orang termarginalkan Kristen, orang tereksploitasi Hindu adalah frasa-frasa absurd yang tak dikenal dalam analisis kebijakan negara.

Itu sebabnya yang lebih afdol adalah semua entitas yang bertujuan untuk perubahan sosial ekonomi politik entah itu partai politik, organisasi pengusaha, organisasi mahasiswa, komunitas cendekiawan tidak perlulah memasang adjektiva kemusliman, kekristenan, kebuddhaan, atau kehinduan.

Namun, gejala mencirikhaskan perkumpulan berbagai entitas dengan warna keagamaan tampaknya terjadi secara universial di mana pun. itu terlihat antara lain dengan adanya nama-nama parpol di negara maju pun yang beradjektiva Kristen, Hindu dan lainnya.

Demokrasi memang tak melarang gejala seperti itu. Untuk entitas politik, penggunaan adjektiva nama-nama agama agaknya bisa dimaklumi. Dalam analisis politik, hal itu dinamakan sebagai politik aliran alias politik identitas, tentu identitas yang sektarian. Yang ideal, identitas mestinya dikaitkan dengan strategi mengejar tujuan, seperti strategi liberal progresif atau konservatif.


 
Sandiaga Salahudin Uno foto bersama warga saat acara Silahturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI tahun 2018 di Bandar Lampung, Lampung, Jum’at (7/12/2018). Dalam acara tersebut Sandiaga menyampaikan gagasan untuk pemikiran ICMI, terkait gerakan ekonomi kerakyatan yang mendorong potensi UMKM, membuka lowongan kerja dengan prinsip keadilan. (ANTARA FOTO/Ardiansyah.)


Bagaimana dengan cendekiawan yang mengorganisasi diri dengan label keagamaan seperti ICMI? Dalam konteks praksis demokrasi, tak ada yang mencegah kehendak kaum cendekiawan beragama Islam membentuk organisasi seperti ICMI itu.

Kehadiran ICMI, diakui atau tidak, disadari atau tidak, tak bisa dilepaskan dari konteks politik di era Orba. Ada kepentingan menghimpun kekuatan di sana. Dan terbukti bahwa tokoh-tokoh di ICMI pun memperoleh posisi strategis di pemerintahan saat itu.

Kecenderungan seperti itu justru bertolak belakang dengan kredo klasik kecendekiawanan, yang justru memilih berada di luar pagar kekuasaan untuk memberikan makna pada keberadaannya.

Cendekiawan yang menerima posisi kekuasaan politik seketika itu berubah menjadi politikus-birokrat. Lebih tepatnya teknokrat, yakni birokrat dengan kepakaran keilmuan.

Tampaknya apa yang diharapkan Jusuf Kalla dari cendekiawan yang tergabung dalam ICMI lebih banyak berurusan dengan sumbangan mereka secara praktis teknologis.

Kalla meminta para ilmuwan yang ada di ICMI ikut mendukung terwujudnya swasembada pangan karena mereka punya kemampuan menghasilkan teknologinya.

Di samping itu, yang punya keahlian di bidang kewirausahaan pun diharapkan ikut melahirkan para pengusaha muda yang bisa menyejahterakan bangsa.*



Baca juga: Wapres ingatkan ICMI jangan fokus bahas politik

Baca juga: Wapres ajak ICMI perkokoh kelompok keilmuan

Baca juga: Wapres Jusuf Kalla tutup Silaknas ICMI



 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018