Jakarta (ANTARA News - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta BPJS Kesehatan menerapkan pola desentralisasi atau membagi beban pembiayaan manfaat dengan pemerintah daerah, sebagai salah satu cara mengatasi defisit anggaran di lembaga asuransi kesehatan tersebut.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Bambang Widianto mengatakan permintaan Wapres tersebut harus mendapat perhatian dari BPJS Kesehatan.

"Ide Pak Wapres adalah desentralisasi pembagian beban bersama pemerintah daerah. Harusnya dicoba dong, kata Pak Wapres, pembagian beban itu, pembiayaannya; tapi BPJS sepertinya agak susah untuk mendorong itu," kata Bambang di Kantor Wapres Jakarta, Rabu.

Bambang menjelaskan dengan pembagian beban pembayaran manfaat oleh BPJS tersebut, maka nantinya pemda akan mendapatkan pagu anggaran dari BPJS Kesehatan dengan nilai tertentu.

Selanjutnya, anggaran tersebut digunakan untuk membayar biaya manfaat kepada fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan di daerah. Apabila terjadi kekurangan pembayaran manfaat, maka pemda harus mencari cara untuk melunasi kekurangan tersebut.

"Kalau sekarang kan sistemnya rumah sakit di daerah menagih ke pusat, baru dibayar. Kata Wapres (JK), sudahlah kasih saja duitnya ke daerah semua, besar itu. Nanti kalau kurang, baru pemerintah daerah yang bayar," jelas Bambang.

Dia mencontohkan apabila jumlah peserta di suatu daerah ada 100 ribu orang, maka anggaran yang diberikan oleh BPJS Kesehatan ke pemerintah daerah adalah sejumlah peserta tersebut dikalikan nilai premi.

Dengan metode desentralisasi pembiayaan tersebut, lanjut Bambang, maka pemerintah daerah akan termotivasi untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit di daerahnya.

"Kalau begitu, ada insentif untuk pemerintah daerah supaya melakukan upaya preventif. Sekarang ini tidak ada, sehingga mereka (daerah) lempar saja semua ke atas (pusat)," ujarnya.

Defisit anggaran di tubuh BPJS Kesehatan salah satunya menyebabkan penumpukan utang fasilitas kesehatan kepada perusahaan penyedia obat-obatan.

Dari total utang pembayaran obat sebesar Rp3,6 triliun, baru Rp300 miliar yang dibayarkan fasilitas kesehatan kepada perusahaan obat. Pembayaran itu pun dilakukan setelah BPJS Kesehatan mendapat suntikan dana dari Pemerintah sebesar Rp10 triliun di akhir 2018 lalu.

Ketua Umum GP Farmasi Indonesia Tirto Kusnadi mengatakan selama ini masih banyak penjualan obat yang belum dibayarkan oleh fasilitas kesehatan kepada perusahaan-perusahaan farmasi.

"Ya kalau bisa, BPJS Kesehatan segera membayar kepada rumah sakit, kemudian rumah sakit bisa membayar kepada 'supplier' obat. Ini nilainya cukup besar sehingga akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri farmasi," kata Tirto.

Baca juga: Premi BPJS Kesehatan dinilai murah, penyesuaian premi setelah Pemilu 2019

Baca juga: Tunggakan BPJS Kesehatan dilaporkan ke Wapres JK


Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019