Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen merasa prihatin karena kasus delapan anak buah kapal (ABK) Miss Gaunt menjalani penahanan di dalam kapal di perairan Ghogha, India, kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan DPR RI.

"Miss Gaunt merupakan kapal yang dimiliki Nordav BV, perusahaan yang dinyatakan pailit dan mempunyai utang kepada perusahaan India," kata Patra, di Jakarta, Kamis. 

Pada 20 September 2018 lalu, putusan Pengadilan Tinggi Gujarat India, memerintahkan untuk menahan kapal termasuk para ABK-nya, termasuk delapan WNI. Mereka masih tinggal di dalam kapal dengan kondisi yang memprihatinkan.

Menurut dia, ABK dan buruh migran merupakan konstituen anggota DPR RI daerah pemilihan DKI Jakarta 2.

"Sayangnya, para petahana DPR RI dari dapil ini kurang lantang dan nyaring bersuara," kata pria yang juga caleg Dapil DKI Jakarta 2 ini.

Sebagai caleg dari dapil DKI Jakarta 2 yang meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri, Patra menegaskan komitmennya untuk ikut memperjuangkan pembebasan para ABK.

Patra mengaku sudah bertemu bertemu dengan Selvy, istri Andy Ferry Jaya, seorang WNI ABK Miss Gaunt yang menceritakan nasib suaminya terkatung-katung di dalam kapal. Kepada Patra, dirinya meminta pemerintah segera mengupayakan langkah pembebasan terhadap suaminya.

Andy bersama tujuh rekannya saat ini masih ditahan di dalam kapal di perairan Ghogha, India.

"Sekarang mereka terkatung-terkatung di perairan Ghogha, India. Suami Selvy itu sudah hampir 5 bulan sampai saat ini tidak bisa kembali ke Indonesia," ujar politsi Hanura itu dalam keterangan tertulisnya. 

Selain belum bisa pulang ke Tanah Air, Patra menyebutkan suami Selvy dan tujuh rekannya selama bekerja hingga saat ini belum pernah menerima gaji.

Kondisi kedelapan WNI saat ini mengkhawatirkan karena kekurangan suplai makanan. Satu orang dinyatakan sedang menderita sakit yang sangat membutuhkan pertolongan medis.

Delapan orang WNI ini menandatangani Seafarers Employment Agreement (Sea) sebagai komitmen awal untuk bekerja sebagai ABK Miss Gaunt pada 12 April 2018.

Kapal ini milik Nordav BV, sebuah perusahaan pelayaran dari Belanda. Miss Gaunt berlayar hingga ke Afrika dan pada September 2018 kapal tersebut sudah berada di perairan India. Sedianya, kedelapan WNI ini hanya bekerja sampai 12 Juli 2018 namun akhirnya tak bisa terwujud.

Belakangan diketahui Nordav dinyatakan pailit dan mempunyai utang kepada sebuah perusahaan India. Perusahaan India ini kemudian meminta pengadilan untuk menahan kapal Miss Gaunt.

Hingga berujung putusan Pengadilan Tinggi Gujarat India, yang memerintahkan untuk menahan Kapal termasuk para ABK-nya pada 20 September 2018. Sejak itulah kedelapan WNI ini belum bisa kembali ke tanah air.

Sementara itu, pemerintah menyatakan mengupayakan pemulangan kembali ABK warga Indonesia yang terlantar di India.

"Kementerian dan lembaga terkait harus terus berkoordinasi di tingkat teknis untuk segera mencari solusi agar para ABK dapat segera dipulangkan dan memperoleh hak-haknya," kata Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadewa.

Siaran pers kementerian menyebutkan, dalam rapat itu Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo mengatakan pemerintah RI telah melakukan berbagai upaya sejak menerima laporan mengenai tertahannya ABK WNI karena perusahaan yang mempekerjakan mereka tersandung masalah hukum di India. 

"Setelah menerima laporan dari otoritas Pelabuhan Mumbai di India tanggal 6 November tahun 2018, KJRI Mumbai telah melakukan kunjungan dan memberikan bantuan makanan ke kapal," ujarnya. 

Sementara Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi telah mendatangi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan India untuk mengupayakan pelepasan ABK WNI.

"Mereka (otoritas India) mengatakan memperhatikan masalah ini namun tetap berpegang pada proses peradilan yang saat ini berjalan bagi pemilik kapal," katanya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019