Surabaya (ANTARA News) - Pemerintah berencana memberlakukan pajak bagi pelaku usaha yang masuk ke pasar dalam jaringan (daring/online). Keputusan ini diambil karena belum adanya aturan pajak di wilayah kerja tersebut.

Namun, penerapan aturan itu apabila tidak teliti, bahkan jika digebyah-uyah dikhawatirkan justru kontradiktif dengan semangat pemerintah sebelumnya yang mendorong perluasan pasar pelaku usaha, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebab akan terkesan menakut-nakuti pelaku usaha kecil untuk masuk pasar daring.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Muhammad Rizal menyadari pasar daring adalah pasar yang sangat luas, sebab di sana ada banyak pelaku usaha, mulai usaha mikro, kecil dan menengah. Bahkan, ada juga pelaku usaha besar.

Pelaku usaha di pasar daring, menurutnya, memiliki segmen dan penghasilan yang berbeda-beda, seperti usaha mikro dan kecil, yang penghasilannya cukup untuk membiayai sekolah dan menghidupi keluarga.

Kemudian pelaku usaha menengah, yang omzetnya sudah mencapai Rp50 miliar per tahun, serta pelaku usaha besar yang omzetnya melebihi Rp50 miliar atau tidak terbatas.

Rizal mengatakan, pelaku usaha daring yang berada di kelas menengah sudah seharusnya memang dikenakan pajak, karena omzetnya sudah cukup besar.

"Pajak pelaku usaha di dunia daring memang harus masuk dalam tahapan menengah hingga ke atas," kata Rizal yang juga membidangi UMKM dan Pemberdayaan Daerah di struktur kepengurusan Kadin Jatim.

Sebab, banyak pelaku usaha besar yang memiliki lapak secara daring, namun belum dikenakan pajak, seperti halnya beberapa brand atau produk yang mempunyai nama besar.

"Kalau usaha kecil di dunia daring seperti jualan kue, makanan ringan memang sepatutnya tidak perlu dikenakan pajak, karena sistem daring membantu mereka membuka perluasan pasar. Namun, untuk pelaku usaha menengah dan besar itu harus diterapkan atau dikenakan," tuturnya.?

Rizal optimistis, pemberlakuan aturan pajak bagi pelaku usaha daring tidak akan menghambat pertumbuhan pelaku usaha untuk masuk ke dunia daring, hal itu apabila acuan aturan terletak pada omzet dan bukan sistemnya.

Oleh karena, Rizal berharap aturan pajak untuk pelaku usaha di dunia daring tidak disamaratakan, dan tetap memihak pada pelaku usaha mikro dan kecil dengan melihat dari sisi omzet para pelaku usaha tersebut.

Kepala Perwakilan BI Provinsi Jatim Difi A Johansyah juga percaya bahwa pemberlakukan pajak bagi pelaku usaha di dunia daring oleh pemerintah akan tetap memihak pada usaha kecil dengan melihat dari omzetnya.

Namun, Difi juga belum mengerti secara detail bagaimana  proses penarikan pajaknya nanti, sebab harus ada aturan jelas agar tidak disamaratakan dan tetap memihak pada pelaku usaha mikro dan kecil.

Difi mengatakan, apabila pemberlakukan pajak bagi pelaku usaha daring mengacu pada omzet, otomatis ada standar nilai omzet yang ditentukan oleh pemerintah, sehingga tidak otomatis langsung diberlakukan rata.



Pelaku

Sementara pelaku UMKM Kopi Kemiren Banyuwangi, Budi Chandra, mengaku awalnya sempat apatis dengan rencana pemberlakukan pajak tersebut, sebab apabila penerapan pajak itu tanpa adanya aturan secara detail akan menghambat akses perluasan UMKM, juga akan menurunkan kualitas barang.

Menurut Budi, apabila aturan pajak bagi pelaku usaha daring itu disamaratakan akan memaksa pelaku untuk menaikkan harga barang, akibatnya konsumen menjadi korban dan bisa beralih dan mencari barang yang lebih murah.

"Seperti halnya kopi original yang kami jual, apabila konsumen menjadi korban, mereka akan mencari dan kembali mengonsumsi kopi sachet. Tentunya ini yang rugi keduanya, yakni kami dan konsumen," katanya.

Pelaku UMKM lain, Rohman mengakui hal yang sama. Apabila aturan pajak bagi pelaku daring disamaratakan akan membuat sebagian besar UMKM tidak akan masuk daring/online, dan tentu akan terjadi kemunduran pasar di tengah kemajuan teknologi saat ini.

"Tentu harus dilihat lagi aturan tersebut, dan tidak bisa disamaratakan, sebab semangat penjualan daring saat ini lagi gencar," kata Rohman, yang merupakan pelaku UMKM bidang tekstil.

Kedua pelaku UMKM tersebut pun sepakat apabila rencana aturan itu dikhususkan untuk kalangan UMKM yang sudah "naik kelas" atau yang memiliki omzet lebih dari 2 miliar per tahun.

Sebelumnya, terkait rencana pemberlakukan aturan itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur sempat mengirimkan surat keberatan ke Kementerian Keuangan.

"Kami sudah kirim surat terkait hal itu. Artinya keputusan harus dihapus dengan keputusan," kata Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Pakde, panggilan akrab Soekarwo mengakui, potensi UMKM di Jatim sangat besar, dan total saat ini mencapai 13,1 juta dari total 66 juta secara nasional, dan yang sudah masuk daring sebanyak 1.294 industri kecil menengah (IKM) ditambah 900 ribu yang berkontribusi terhadap warung.

Bahkan, Pemprov Jatim menargetkan sebanyak 27 ribu UMKM di Jatim akan masuk pasar digital pada 2019, sehingga dibutuhkan kemudahan dalam prosesnya.

Untuk mencapai target itu, Pemprov Jatim menyiapkan Warung Digital sebagai langkah mendorong potensi UMKM untuk terus berkembang.

UMKM di Jatim mempunyai kontribusi yang tinggi pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatim, dan secara nasional, kontribusi di Jatim mencapai 20 persen, nomor dua setelah DKI Jakarta.

Sebelumnya, pemerintah berencana memungut pajak final dari para pelaku bisnis toko daring atau e-commerce. Rencana itu akan dimasukkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pajak e-commerce.

Rencananya pemerintah itu juga akan mengacu pada aturan PMK Nomor 210/PMK.010/2018 yang mengharuskan pelaku UMKM yang sudah e-commerce mambayar pajak final dengan tarif 0,5 persen dari omzet, dengan catatan, omzet bruto sekitar Rp 4,8 miliar pertahun.*


Baca juga: Bisnis daring diminta tetap harus bayar pajak


 

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019