Begitu pula air bersih sangat sulit diperoleh karena sumber air terbatas
Sigi, Sulteng (ANTARA News) - Sejumlah warga korban gempabumi dan likuifaksi di beberapa desa di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah enggan tinggal di hunian sementara (huntara) dan memilih pulang membangun rumah darurat di areal lahan sendiri di desanya.

Marthen, seorang pengungsi korban gempa di Desa Lolu, Kecamatan Sigibiromaru, Senin membenarkan menolak tinggal di huntara yang dibangun oleh pemerintah maupun sejumlah BUMN dan NGO.

Ia mengatakan kini bersama istri dan anaknya, mereka sudah membangun sebuah pondok dengan menggunakan puing-puing rumah yang masih bisa digunakan. "Saya bangun sendiri dan sudah hampir dua pekan terakhir ini, kami tinggal di sini," kata dia.

Alasannya untuk tidak tinggal di huntara, sebab selain lokasinya jauh dari tempat permukiman lama, juga rata-rata huntara belum ada listriknya. "Begitu pula air bersih sangat sulit diperoleh karena sumber air terbatas," keluhnya.

Hal senada juga disampaikan Petriks, seorang pengungsi asal Desa Jono Oge, Kecamatan Sigibiromaru. Ia mengaku sudah bisa kembali membangun rumah di pekarangan sendiri, meski konstruksi bangunan rumah 4X6 meter hanya terbuat dari sisa kayu/papan rumahnya yang hancur diterjang gempabumi pada 28 September 2018.

Kebetulan masih banyak bahan rumah yang bagus. "Itu yang kami gunakan untuk bisa membangun pondok untuk tempat tinggal dari pada tinggal di huntara yang belum ada listrik dan keterbatasan air bersih," ujarnya.

Kalau di rumahnya sekarang, ujarnya terbilang air cukup melimpah. "Lagi pula bisa mengolah lahan untuk menanam sayur-sayuran seperti kangkung, bayam dan juga terong tumbuh cukup subur."

Hasilnya, kata dia, sebagian untuk kebutuhan sendiri dan sebagian lagi bisa dijual di pasar untuk menambah kebutuhan rumah tangga, khususnya biaya anak sekolah.

Baca juga: BUMN sediakan 400 hunian sementara korban gempa Sigi

Baca juga: Kunjungi Sigi, Menteri Rini pastikan 550 hunian sementara telah dibangun BUMN

Pewarta: Anas Masa
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019