Surabaya (ANTARA News) - Urban farming atau pertanian dengan lahan sempit di perkotaan idealnya bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan atau kelangkaan pangan di masyarakat kota.

Masalahnya, apakah urban farming di Indonesia sudah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan? Jika di negara-negara lain, pertanian pola ini dapat memberikan manfaat terhadap kebutuhan pangan kota, tapi di Indonesia masih sebatas tren dan gaya hidup.

Tren tersebut belum sepenuhnya dioptimalkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Bahkan, pemerintah sendiri dinilai masih kurang serius menjadikan pangan sebagai isu utama. Pembahasan pangan hanya dilakukan saat ada krisis dan setiap kali krisis solusinya adalah impor.

Sebagai contoh program urban farming di tingkat daerah yang telah diterapkan di Kota Surabaya, Jawa Timur sejak 2010. Pola pertanian ini di Surabaya dilakukan dengan cara memberdayakan kelompok-kelompok tani.

Programnya selama ini disuarakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di beberapa kesempatan. Risma sendiri menyampaikan materi penanganan ketahanan pangan hingga pengentasan kemiskinan melalui urban farming saat menjadi pembicara di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York pada 19 Februari 2018.

Forum tingkat dunia PBB itu mengangkat tema From Global Issues to Local Priorities: The Role Of Cities In The Global Agenda, Including Cities For Sustainable Development, Food Security, Nutrition Ad Climate Change.

Pada kesempatan itu, Risma mengatakan pola pertanian yang diterapkan Pemkot Surabaya itu tidak menggunakan pestisida dan hanya menggunakan pupuk alami, sehingga tidak ada bahan kimianya.

Warga Surabaya diajak untuk menanam buah-buahan, sayuran, dan padi di tanah milik pemerintah dan juga di lingkungan mereka masing-masing. Pemkot Surabaya pun memberi mereka benih dan peralatan gratis.

"Saat ini, padi yang mereka tanam di Surabaya tidak hanya beras putih, tetapi juga beras merah dan hitam," ujarnya.

Hasilnya untuk memasok kebutuhan di kota, termasuk di hotel dan restoran, serta beberapa didistribusikan ke kota tetangga lainnya. Bahkan, sebulan sekali, Pemkot Surabaya juga menyelenggarakan minggu pertanian di Taman Surya Balai Kota Surabaya.

Acara itu untuk memamerkan semua produk pertanian lokal dari pertanian perkotaan.

Sedangkan untuk mengendalikan inflasi, Pemkot Surabaya secara teratur membuat operasi pasar murah dan bazar selama bulan puasa yang biasanya kebutuhan makanan pokok sangat tinggi.

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Presley mengatakan urban farming yang digagas sejak 2010 itu, dinilai mampu memberdayakan kelompok-kelompok tani di Surabaya, salah satunya di wilayah Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri.

Sebagian besar masyarakat di wilayah Kelurahan Sumur Welut bekerja di bidang pertanian. Mereka menerapkan urban farming dengan memanfaatkan lahan kosong untuk usaha berbagai jenis pertanian, seperti bertanam padi, jagung, cabai dan sayuran.

Hampir sekitar 80 persen masyarakat di Kelurahan Sumur Welut memilih untuk bertanam cabai dengan alasan jenis tanaman hortikultura ini dinilai lebih menghasilkan keuntungan dengan masa tanam yang relatif cepat.

Adapun di wilayah Kecamatan Lakarsantri terdapat delapan kelompok tani, dengan anggota berjumlah sekitar 622 orang. Sementara untuk luas lahan pertanian, mencapai 457 hektare dan saat ini masih aktif dikerjakan oleh para petani.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Djoestamadji mengatakan urban farming pada prinsipnya memaksimalkan lahan yang sempit sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam, budidaya ikan dan peternakan.

Dinas Pertanian sendiri mendorong warga menerapkan urban farming salah satunya dengan menanam tanaman seperti cabe di rumahnya masing-masing. Selain cabai, warga juga disarankan menanam sawi.

"Program ini akan berlanjut untuk mencapai ketahanan pangan warga Surabaya. Masyarakat Surabaya yang berminat melakukan pelatihan bertani dengan lahan terbatas itu dapat mengajukan permintaan bibit tanaman kepada DKPP," katanya.

Ketua Kelompok Tani Sumur Welut Makmur, Heri menyampaikan dalam setiap tanam cabai, pihaknya mampu menghasilkan panen sebanyak 14 kali, dengan hasil pertanaman mencapai 1 kilogram untuk jenis cabai besar.

Sementara untuk cabai rawit, menghasilkan panen sekitar setengah kilogram pertanaman. Bahkan, dalam satu hektare tanaman cabai, pihaknya mampu menghasilkan 2,5 kwintal.

"Untuk masa tanam cabai merah, empat hari sekali sudah dipetik. Kalau cabai rawit enam hari sekali, tapi kalau harga (cabai) lagi baik, lima hari sudah dipetik," katanya.

Sementara untuk mendukung hasil produk pertanian mereka, dalam setiap bulan DKPP juga mengadakan kegiatan bertajuk minggu pertanian, sebagai wujud komitmen dalam mengembangkan dan mempromosikan produk pertanian, perikanan dan peternakan di Kota Surabaya.

Salah seorang petani setempat, Heri mengaku aktif mengikuti acara minggu pertanian yang digelar di Balai Kota Surabya untuk mempromosikan dan menjual hasil produk-produk pertaniannya.



Harga Cabai Murah

Para petani di Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri panen cabai sejak awal Februari. Namun, cabai itu terjual dengan harga yang tergolong murah di pasar.

Salah seorang petani Kelurahan Sumur Welut, Fatimah mengatakan cabai hasil panen awal tahun ini dihargai sekitar Rp7 ribu per kilogram, sempat naik jadi Rp9 ribu dan Rp10 ribu per kilogram.

Belum lagi ketika hasil panennya rusak, cabai hanya dihargai Rp3 ribu di tangan tengkulak, namun bisa laku seharga Rp11 ribu hingga 12 ribu di pasar. "Dulu ketika harganya sampai Rp110 ribu perkilogram, lombok yang kami tanam justru tidak tumbuh," katanya.

Hal ini yang membuat para petani di Kelurahan Sumur Welut memilih menjual sawahnya ke perusahaan karena sudah tidak tahan dengan hasil panennya yang sering kali laku murah di pasar.

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo menilai panen cabai di wilayah Kelurahan Sumur Welut di saat harga cabai di pasaran murah perlu mendapat perhatian dari pemerintah.

Salah satu pembinaan yang perlu dilakukan menurut Ketua YLPK Jatim ini yakni mengolah hasil panen cabai para petani agar menjadi cabai kering yang bisa dipakai untuk keperluan industri mi instan dan restoran.

Selama ini, menurut Said, mengolah hasil panen cabai menjadi cabai kering belum dilakukan, sehingga ketergantungan terhadap cabai impor berbentuk cabai kering olahan sampai saat ini masih tinggi. Padahal, pengguna terbanyak cabai olahan impor adalah industri mi instan yang pada umumnya dikonsumsi oleh para konsumen.

"Bisa dibayangkan, dengan produksi mi instan per tahun mencapai 15 miliar bungkus saja, dengan asumsi satu kemasan mi instan membutuhkan 3 gram cabai bubuk untuk bumbu, maka setiap bulannya dibutuhkan 375 ton cabai kering impor atau 4.500 ton per tahun," ujarnya.

Said mengatakan hal ini sebenarnya peluang besar yang sudah terbuka belasan tahun yang lalu bagi pemerintah pusat maupun daerah dengan memberdayakan para petani cabai lokal. Namun, sayangnya kebutuhan industri terhadap cabai tersebut tidak ditangkap oleh pemerintah dengan mensinergikan dengan para petani lokal.

Umumnya, para petani cabai dalam negeri belum mengenal teknologi pengolahan cabai bubuk atau kering. Akibatnya setiap ada panen raya, harga cabai selalu anjlok, dampaknya petani merugi karena tidak bisa diolah.

Menurut Said, perlu ada pengembangan dari sisi teknologi pengelolaan hasil pertanian dan strategi pemasarannnya sebagai pemasok industri makanan olahan tentang kebutuhan cabai bubuk atau cabai kering sesuai standar mutu yang diharapkan.*


Baca juga: "Urban Farming" solusi ketahanan pangan di Surabaya

Baca juga: Jakpus tambah 50 lokasi Urban Farming tingkatkan ekonomi



 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019