Jakarta (Antara) - Hasil survei yang dilakukan oleh Center for Political Communication Studies (CPCS), menyebutkan elektabilitas PDIP dan Gerindra masih mengungguli semua partai politik, namun partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengalami kenaikan signifikan. 
 
"Elektabilitas parpol lain cenderung stabil, hanya PSI yang mengalami kenaikan signifikan, mencapai 4,2 persen," kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
 
Meskipun turun dari survei sebelumnya pada bulan Januari, PDIP tetap meraih elektabilitas tertinggi sebesar 23,0 persen. Gerindra naik tipis menjadi 16,1 persen.
 
Menurut Okta, naiknya elektabilitas PSI didukung oleh sosialisasi yang cukup efektif dilakukan selama musim kampanye.
 
Sebagai parpol baru dengan segmen sasaran generasi milenial, PSI paling banyak menggunakan media sosial sebagai sarana sosialisasi (34 persen), disusul Gerindra (32,1 persen). 
 
Penggunaan media massa tradisional lebih banyak dilakukan oleh parpol yang dipimpin oleh pengusaha media, seperti Nasdem (38,9 persen) dan Perindo (37,0 persen).
 
"Parpol besar lain turut efektif menggunakan media massa berkat pemberitaan yang cukup masif, khususnya terkait dengan Pilpres," jelas Okta. 
 
Misalnya Gerindra (29,5 persen), PDIP (24,3 persen), dan Demokrat (22 persen). Selain itu, pemasangan alat peraga kampanye (APK) tidak terhindarkan menjadi cara paling efektif dilakukan oleh parpol lama.
 
"Demokrat tercatat paling banyak menggunakan APK sebagai medium sosialisasi (32,2 persen)," kata Okta. 
 
Hal serupa dilakukan oleh hampir semua parpol besar dan menengah. Pemasangan APK juga rata-rata dikombinasikan dengan sosialisasi oleh kader parpol atau relawan dan pertemuan tatap muka yang melibatkan para caleg.
 
Menurut Okta, PSI cukup efektif menggunakan beragam medium sosialisasi selain media sosial. Meskipun tidak memiliki media massa dan bukan parpol utama pengusung capres-cawapres, PSI kerap tampil dengan isu-isu kontroversial. 
 
"Yang tidak kalah menarik adalah kerja-kerja sosialisasi oleh relawan dan pertemuan tatap muka," ucap Okta.
 
Meskipun relatif kecil, tetapi metode kampanye yang dilakukan dengan "canvassing door-to-door" dinilai efektif untuk memengaruhi pemilih. Demikian pula dengan turun langsungnya caleg-caleg PSI menyapa pemilih di basis daerah pemilihan (dapil).
 
"Pemilih PSI menilai medium sosialiasi menentukan pilihan sebesar 24 persen dan tatap muka 16 persen," kata Okta.
 
Faktor lain yang dinilai Okta cukup berpengaruh adalah pertimbangan memilih partai politik. Sosok figur atau tokoh partai masih menjadi acuan tertinggi (28,6 persen), disusul rekam jejak partai (22,3 persen), program atau gagasan yang ditawarkan (13,1 persen), kedekatan personal dengan kader atau pengurus (10,6 persen), dan faktor lainnya (25,5 persen).
 
"Kemunculan Grace Natalie sebagai ketua umum PSI, dengan pidato dan isu-isu yang memancing perdebatan publik, tidak kalah dengan tokoh-tokoh parpol besar," kata Okta. 
 
PSI juga dinilai bersih, khususnya dalam hal tidak adanya caleg yang terindikasi korupsi, PSI dikenal dengan gagasan toleransi serta mengusung isu perempuan dan anak muda.
 
KPU menetapkan jadwal resmi kampanye terbuka melalui iklan dan pertemuan terbuka mulai pertengahan Maret 2019.
 
Okta menyarankan agar parpol-parpol efektif menggunakan kesempatan tersebut jelang Pileg sebulan lagi. 
 
"Penyelenggara pemilu pun diharapkan dapat memberikan ruang yang sama kepada semua parpol dalam hal iklan di media massa," tuturnya. 
 
Survei CPCS dilakukan pada 1-10 Februari 2019, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Metode survei dilakukan secara acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019