Interpretasi itu berfokus untuk mengedepankan prinsip-prinsip toleransi, persatuan dan pelaksanaan Islam jalan tengah
Xinjiang (ANTARA) - Dalam dua tahun terakhir Republik Rakyat China tengah disorot dunia atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas muslim Uighur di wilayah otonomi Xinjiang.

Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial pada Agustus 2018 bahkan telah menerima laporan adanya penahanan satu juta orang Uighur dan etnis minoritas lainnya sejak 2017 di kamp pusat re-edukasi yang pemerintah China sebut sebagai Pusat Pelatihan Vokasional.

Namun dunia luar dan panel HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencurigai kamp itu karena keberadaan dan pengamanannya yang serupa penjara. Tak banyak balai vokasi yang dilengkapi puluhan kamera pengintai dan penuh kerahasiaan.

Pemerintah China tentunya tidak tinggal diam, membantah keras atas segala prasangka itu. Segenap perangkat pemerintah pun organ partai tunggal komunis secara masif menganulir tudingan serius tersebut.

Risih dengan derasnya pemberitaan miring mengenai isu aksi represi terhadap muslim Uighur, Pemerintah China pun lantas membuka diri untuk kalangan terbatas.

Dalam kurun setahun terakhir secara berkala Pemerintah China mengundang media asing untuk meliput kondisi kamp-kamp vokasi di berbagai kota di Xinjiang. Namun tentunya undangan itu tidak serta merta membuat media leluasa mencari tahu apa saja yang ingin diketahui. Setiap kunjungan media akan disertai dengan pemandu, pengawal dan pengawas yang siap mengamankan perjalanan liputan.

Sebagaimana kunjungan ANTARA bersama dalam delegasi ASEAN Elites China Tour 2019 di penghujung Februari 2019 ke Beijing dan Xinjiang. Baik di ibu kota Beijing maupun di Provinsi Xinjiang, rata-rata komentar yang didapatkan dari pejabat berbagai institusi dan tingkatan sama, senada dan seragam.

“Tidak ada pelanggaran hak asasi manusia ataupun diskriminasi terhadap Uighur di Xinjiang,” tandas wakil presiden Asosiasi Islam China Abdul Amin Jin Rubin melalui penerjemah.

Menurutnya, pemberitaan dari media barat terlalu dilebih-lebihkan dan tidak sesuai kenyataan. Padahal yang berlangsung di Xinjiang, kata Abdul Amin, adalah aktivitas pemberantasan terorisme dan kekerasan lain, tapi tidak khusus menargetkan kelompok etnis atau agama tertentu.

Pria yang juga dosen Sastra Arab pada Institut Islam China itu lebih jauh menjelaskan bahwa Asosiasi Islam China telah turut membantu upaya deradikalisasi dengan melakukan interpretasi terhadap literatur suci dan klasik Islam, yang selama ini telah terdistorsi oleh orang-orang yang menginterpretasikannya secara keliru sehingga berpotensi menjadi tindak terorisme.

“Interpretasi itu berfokus untuk mengedepankan prinsip-prinsip toleransi, persatuan dan pelaksanaan Islam jalan tengah,” ujar Abdul Amin.

Di kesempatan berbeda, dari kantor Departemen Publisitas Pusat, Wakil Menteri Jiang Jianguo juga mengungkap hal serupa. “Anda bisa mengecek langsung saat berkunjung ke Xinjiang apakah laporan-laporan itu benar," tantangnya untuk menjawab tudingan adanya aksi represi di kamp-kamp vokasi.

Pelatihan vokasi, kata Jiang, tidak terkait dengan agama dan etnis tertentu melainkan untuk meredam aksi ekstremisme yang tengah berkembang di Xinjiang.

Setidaknya, ada empat golongan warga yang dimasukkan ke Pusat Pelatihan Vokasi, yakni mantan narapidana terorisme yang masih berpotensi melakukan kembali aksinya; mereka yang pernah terlibat aksi terorisme namun belum termasuk kategori berat, mereka yang dipaksa ikut kegiatan terorisme tapi telah menyadari kesalahannya dan warga yang terpapar paham radikalisme.

Para siswa Kamp Vokasi di Shule County Xinjiang (ANTARA/Siti Zulaikha)
Bergunjing Tentang Xinjiang di Wisma Duta

Rupanya tak hanya duta media yang kali ini mendapat undangan dari Pemerintah China untuk bertandang ke Xinjiang. Dalam jamuan makan malam di Wisma Duta Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, hadir juga rombongan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang datang bersama elemen organisasi masyarakat NU dan Muhammadiyah dengan total anggota rombongan 15 orang.

Terkait kondisi Xinjiang, Dubes Djauhari Oratmangun, dengan diplomatis berpesan, “Percayai sesuatu setelah melihat.”

Meskipun sang dubes telah berkunjung ke Xinjiang pada Desember 2018, namun ia tidak mengumbar informasi dari sana. Dubes Joe begitu ia akrab dipanggil hanya bercerita di sana dirinya bertemu dengan Gubernur Xinjiang, para ulama dan berkunjung ke sekolah vokasi.

Kata dia, ”Kita perlu meningkatkan people to people contact untuk membangun pemahaman.”

Sebab bagaimanapun, menurutnya, kekuatan hubungan antarbangsa yang dimulai dari orang per orang akan menguatkan hubungan antarnegara. Karena hubungan antar pribadi itu lebih cair dan terbuka serta apa adanya.

Tidak berbeda dari Dubes Joe, Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri MUI, KH Huhidin Jaenudin yang memimpin delegasi ulama dari Indonesia untuk kunjungan ke Xinjiang, juga mengambil sikap hati-hati.

“Kita tidak boleh memvonis orang tanpa mengetahui duduk persoalannya. Karenanya, sebelum melihat sendiri apa yang terjadi di Xinjiang, kita belum bisa menyatakan sikap apa-apa,” kata Kyai Muhidin. Ia pun bersepakat dengan dubes bahwa hubungan antarnegara tidak lebih kuat dari pada hubungan antarbangsa atau antar-rakyat.

Di kemudian hari sepulang dari kunjungan di Xinjiang, MUI berharap Pemerintah China dapat memberi kebebasan terhadap kaum muslim di negaranya untuk menjalankan ibadah karena jika dilakukan pembatasan secara terus-menerus akan terjadi pendangkalan aqidah.

Kyai Muhidin juga bisa memahami trauma Pemerintah China terhadap aksi terorisme yang pernah terjadi di Xinjiang, namun ia meminta agar tidak menganggap umat Islam yang menjalankan ibadah terkait radikalisme.

Keluar membangun persepsi, ke dalam membangun vokasi

Sejak peristiwa kerusuhan besar di Urumqi Juli 2009 yang merenggut 197 jiwa dan mencederai 1.600 orang, kemudian serentetan aksi kekerasan lain hingga tahun 2015,Pemerintah China kemudian membangun kamp-kamp vokasi untuk menjinakkan kelompok-kelompok yang disebutnya sebagai ekstremis.

Delegasi ASEAN Elites China Tour 2019 berkesempatan mengunjungi empat lokasi Pusat Pendidikan Vokasi di Xinjiang yakni di Kota Atush Perfektur Kezilesu Khirgiz, Perfektur Kashi Kasghar, Perfektur Hotan (ketiganya tingkat kabupaten) dan di Shule County (setingkat kecamatan), Kasghar. Selain itu, kamp-kamp sejenis akan terus dibangun di kawasan-kawasan yang dianggap rawan aksi ektremisme. Dalam setahun terakhir, pemerintah Tiongkok gencar melakukan “klarifikasi” atas apa yang terjadi di Xinjiang dengan mengundang berbagai media luar negeri untuk datang ke wilayah di ujung barat China itu.

Dari versi pemerintah, ada tiga kekuatan yang berkembang di Xinjiang yakni ektremisme, separatisme dan terorisme. Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik, Pmerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sembari menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Di kamp-kamp itu, para peserta didik yang sebagian besar dari etnis Uighur belajar berbagai jenis keterampilan mulai dari menjahit, salon, elektronik serta belajar seni budaya termasuk menyanyi dan menari.

Tak hanya itu, menurut Direktur Pusat Pendidikan Vokasi di Hotan Mahmud Memeti, yang terpenting kepada mereka diajarkan pengetahuan peraturan dan perundang-undangan Pemerintah China agar mereka menjadi warga negara yang sadar hukum sehingga pada gilirannya tidak lagi melakukan gerakan separatisme. Untuk dapat mengakses informasi, mereka dikenalkan bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi China.

Dengan ketiga bekal itu (bahasa, perundang-undangan dan keterampilan) diyakini warga yang tinggal di wilayah yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India itu bisa memahami Pemerintah China. Beijing tentu tidak ingin kehilangan kendali atas Xinjiang, wilayah yang memiliki cadangan minyak besar serta penyumbang gas alam besar di China.
 

Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019