Jakarta (ANTARA) - Sejumlah anggota KPPS dan PPS menilai Pemilu 2019 lebih rumit dan melelahkan karena pemilihan presiden dan legislatif yang pelaksanaannya dilakukan secara serentak sehingga menambah beban kerja panitia.

"Kalau boleh mundur, lebih baik mundur. Menurut saya pemilu sekarang sangat rumit dan lebih melelahkan dibandingkan pemilu 2014," kata anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Petamburan, Jakarta Pusat, Vivi, saat ditanya di pusat rekapitulasi hasil suara di GOR Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin.

Vivi, yang juga "veteran" pada Pilpres 2009 dan 2014, mengungkap beban kerja yang luar biasa. Kata dia, jumlah anggota panitia PPS di Kelurahan Petamburan hanya tiga orang. Jumlah segitu, menurut dia, sangat tidak cukup sehingga mereka kewalahan karena harus menangani 109 TPS dari 11 RW di kelurahan itu.

Setiap TPS di Jakarta rata-rata melayani 280 pemilih, yang masing-masing orang memerlukan waktu sekitar lima menit di bilik suara untuk mencoblos kertas suara presiden/wakil presiden, anggota DPD, anggota DPR, dan anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta. Di luar DKI Jakarta, pemilih diberikan lima lembar kertas suara, yaitu termasuk lembar untuk menentukan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Selain terkendala kekurangan jumlah SDM, dia juga mengeluhkan tenggat waktu penghitungan surat suara yang hanya dibatasi sampai 18 hari setelah hari pencoblosan.

Menurut dia, tenggat waktu tersebut sangat tidak cukup karena pada Pemilu 2019 rekapitulasi hasil penghitungan suara dari 11 kelurahan di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, digabung di satu pusat rekapitulasi hasil suara.

Proses rekapitulasi itu, menurut dia, akan memakan waktu lebih lama dari tenggat waktu yang ditetapkan mengingat banyaknya jumlah TPS dari seluruh kelurahan di kecamatan itu, ditambah penghitungan hasil surat suara untuk presiden/wakil presiden, DPD, DPR dan DPRD yang semakin membebani tugas panitia.

"Sekarang di satu TPS saja panitia harus menghitung 4 surat suara (C1 plano, surat suara untuk DPD, DPR dan DPRD) yang dikali dengan banyaknya jumlah DPT dan TPS di satu kelurahan. Penggabungan penghitungan hasil suara dari seluruh kelurahan di satu pusat rekapitulasi menurut saya sangat tidak efisien dan akan memakan waktu sangat lama," tambahnya.

Selain mengeluhkan tenggat waktu dan kurangnya jumlah SDM, dia juga menemukan banyak kekurangan di antaranya kerusakan kunci kotak suara, kertas segel yang tidak layak dan masalah pemilih yang pindah TPS.

Selain Vivi, Tayeb, dan Nurdin, anggota KPPS di TPS 362 Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, dan anggota KPPS di TPS 110 Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, juga mengaku kewalahan selama menangani pelaksanaan Pemilu 2019.

Sama dengan Vivi, Tayeb dan Nurdin juga "veteran" petugas KPPS pada beberapa Pemilu lalu.

Berbeda dengan Pemilu 2014, pada Pemilu 2019, mereka harus mengantre untuk mengambil bilik suara dan kotak suara pada pukul 02.00 WIB hingga 05.00 WIB dini hari.

Setelah selesai mengambil bilik suara dan kotak suara, mereka harus langsung bekerja menyiapkan bilik suara, kotak suara, meja dan kursi untuk panitia, saksi dan pemilih sampai pukul 07.00 WIB.

Mereka juga masih harus menghitung jumlah surat suara C1 untuk presiden dan calon anggota legislatif yang mereka terima untuk memastikan kelengkapannya.

Hal itu memperlambat pelaksanaan pencoblosan sampai lebih dari pukul 08.00 WIB.

Keterlambatan itu menyebabkan jadwal pencoblosan dan penghitungan suara lebih mundur sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja sampai pukul 03.00 WIB dan 05.00 WIB hari berikutnya, lebih lama dibandingkan Pilpres 2014 yang tahapan penghitungan suaranya dapat diselesaikan lebih awal pada sekitar pukul 17.00 WIB.

Pewarta: Ade P Marboen/Katrin
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019