Kita bilang tinggi, karena ada pembanding dengan maskapai asing yang memiliki jam terbang sama
Banda Aceh (ANTARA) - Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Aceh mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengaudit laporan keuangan maskapai penerbangan nasional akibat masih tingginya tarif pesawat dalam enam bulan terakhir.

Sekretaris Asita Aceh, Totok Julianto di Banda Aceh, Rabu, mengatakan akibat tiket pesawat yang dibuka oleh maskapai bertahan tinggi telah mengakibatkan industri pariwisata di provinsi tersebut menjadi lesu.

"Kalau mau diaudit maskapai dalam negeri itu, kan bisa. Cuma pemerintah, sepertinya tidak mau. Sedangkan pakar telah bicara, ada kesulitan cash flow, karena utang terlalu banyak," tegasnya.

Ia mengatakan bisnis mendatangkan wisatawan baik dari maupun luar negeri sekitar enam bulan terakhir mengalami stagnasi akibat mahalnya harga tiket pesawat.

Kondisi yang sama, lanjut dia, juga dirasakan oleh tempat penyewaan penginapan di lokasi objek wisata, seperti Pulau Weh di Sabang, Aceh, pada liburan Tahun Baru 2019 dan Idul Fitri tahun ini.

"Pemerintah (Kemenhub) sebenarnya itu, regulator. Mereka bisa melihat, dan bisa menghitung melalui lembaga persaingan usaha di Tanah Air. Seorang penumpang menggunakan pesawat yang terbang sekian jam, itu biayanya sekian," ucap Totok.

Ia mengklaim pemerintah hingga kini belum melakukan audit keuangan kepada maskapai, padahal salah satu operator penerbangan nasional telah melakukan penundaan jasa kebandaraan ke PT Angkasa Pura I.

"Akibatnya di sisi lain, Kemenhub menjadi kagok akibat tidak bisa mengontrol harga tiket pesawat, karena di rute domestik terlalu mahal. Sementara harga tarif batas bawah, tak pernah dibuka," terang dia.

"Kita bilang tinggi, karena ada pembanding dengan maskapai asing yang memiliki jam terbang sama. Malahan wacana maskapai asing yang menguat dewasa ini," ungkap Totok.

PT Angkasa Pura I (Persero) sebelumnya mengakui PT Lion Mentari Airlines pernah mengajukan surat permohonan penundaan pembayaran kewajiban terkait biaya operasional layanan kebandaraan akibat kesulitan keuangan yang dialami maskapai penerbangan itu.

"Surat dari Lion Air kami terima sekitar awal Februari 2019. Jadi, sudah sekitar lima bulan lalu," kata Direktur Pemasaran dan Pelayanan Angkasa Pura I, Devy Suradji.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Polana B Pramesti mengatakan saat ini banyak maskapai tengah merugi, sehingga pembayaran kepada operator bandara menjadi terganggu, termasuk Lion Air.

"Kalau dari laporan keuangan, terakhir 2018, banyak yang rugi. Enggak ada yang untung. Bahkan maskapai AirAsia menanggung kerugian sekitar Rp1 triliun. Ekuitas negatif, tapi karena dia holding, ya jadi bisa mendukung," ujarnya.

Untuk itu, Polana mengatakan pihaknya sedang melakukan analisis terhadap kondisi keuangan maskapai.

"Kita lagi melakukan analisis kira-kita apa yang mereka alami, memang tidak ada subsidi sama sekali ya," katanya.

Pewarta: Muhammad Said
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019