Jakarta (ANTARA) - Bunyi peluit bersahutan tiap lima hingga 10 menit sekali, orang-orang pun secepatnya menepi dan menjauhi lintasan rel. Seketika kereta rel listrik (KRL) melintas cepat membawa debu-debu serta sampah plastik yang terbawa hembusan angin kereta. Rutinitas demikian hampir selalu terjadi saban hari.

Santoso (36) lalu membuka palang pintu sederhana yang terbuat dari besi bekas. Di suatu gang kecil pemotor serta warga sudah setia menunggu hingga Santoso memastikan tak ada kereta lagi yang melintas.

Santoso merupakan salah seorang penjaga pintu perlintasan kereta liar secara swadaya di Pejompongan. Sehari-hari, ia bersama dua rekannya bekerja secara bergantian (shift) hingga tengah malam.

"Satu kereta, kah?" tanya seorang warga.

"Sudah aman," jawab Santoso.

Sementara warga dan pemotor itu adalah penduduk yang tinggal di sekitar bantaran rel kereta api di daerah Petamburan, Jakarta Pusat. Warga yang mayoritas pendatang dari luar Jakarta itu tinggal dan membangun pemukiman kumuh semi permanen di bantaran rel kereta.

Lintasan rel Pejompongan merupakan salah satu titik tersibuk di Jakarta, pasalnya menjadi lintasan dari Tanah Abang menuju Palmerah ataupun sebaliknya.

Juga baca: Masyarakat diingatkan hati-hati melintasi perlintasan kereta api

Juga baca: Kemenhub: Perlu penyadaran masyarakat terhadap perlintasan kereta

Juga baca: Delapan perlintasan kereta di Garut tidak miliki palang pintu otomatis


Di kawasan ini, masih banyak warga yang memilih tinggal di rumah semi permanen yang rawan bagi keselamatan dan kesehatan warga. Tak hanya itu, kondisi itu tentunya berbahaya bagi kesehatan warga.

Jarak antara lintasan rel dengan rumah warga hanya terpaut tiga meter saja. Hal itu membuat warga harus hati-hati ketika kereta beraktifitas maupun melintas.

Bahkan setiap sore, warga memadati lintasan rel untuk sekedar bersosialisasi maupun menjadi area bermain bagi anak-anak.

Untuk memasuki ke kawasan kumuh bantaran rel Pejompongan, warga harus melewati gang sempit dari Jalan Penjompongan Raya, atau bisa memutar dari palang pintu sebrang Polsek Pejompongan.

Santoso menceritakan bahwa dia secara sukarela menjaga perlintasan liar lebih dari tiga tahun lamanya. Sebab, kecelakaan yang sering terjadi membuatnya "mewakafkan" diri sebagai penjaga pintu.

Pahitnya pengalaman sebagai penjaga telah Santoso rasakan berulang kali, mulai dari terserempetnya warga, melihat kasus bunuh diri, hingga mengevakuasi langsung tubuh yang terseret kereta.

"Di depan muka saya, ada orang yang terserempet padahal sudah diingatkan berulang kali. Warga juga berteriak tapi tidak didengar," kata dia.

Meski begitu, ia semakin sadar akan pentingnya menjadi relawan agar kasus-kasus tersebut setidaknya bisa diminimalisir. Tapi Santoso juga sadar bahwa dia hidup di tanah yang semestinya tidak ia tinggali.

"Mau bagaimana lagi, hidup di Jakarta susah," kata dia.

Menunggu Pemindahan
Kesemrawutan serta kebisingan telah menjadi sahabat warga sehari-hari. Warga yang tinggal di bantaran rel kereta Pejompongan ini rata-rata sudah lebih dari 30 tahun, bahkan ada yang sudah tinggal hingga 50 tahun.

"Sejak saya baru nikah hingga punya cucu empat sudah dari sini," ujar Yatiningsih (67) saat ditemui ketika tengah melicin pakaian.

Ia mengaku sudah tidak terganggu dengan suara bising kendaraan. Bahkan aneh apabila tidak ada suara kereta melintas dengan klakson dari masinis, apabila kereta mengalami gangguan.

Di pinggir rel tepatnya dari arah Jalan Raya Pejompongan, terdapat tangga kayu tua menjadi jalan menuju ke pemukiman warga. Lorong selebar satu meter menjadi akses jalan warga. Di satu sisi lorong, berhimpitan bangunan-bangunan rumah berlantai dua atau tiga, dibuat dari papan tripleks dan seng.

Sementara di sisi lainnya, tepatnya di arah Petamburan VII, pemukiman mereka langsung mengarah ke perlintasan rel. Saat akan keluar rumah, warga harus menyusuri pinggir rel.

Setiap keluarga menyesaki ruangan seukuran 3x3 meter persegi yang disusun dari potongan-potongan kayu. Di ruang sesempit ini rata-rata ada tiga orang di dalamnya.

Mereka rata-rata berdagang, tukang bangunan, tukang ojek, pedagang, tukang cuci pakaian, pembantu rumah tangga, dan profesi informal lainnya.

Bila ditinjau dari segi keselamatan, setiap hari mereka hidup ditemani dengan bayang-bayang maut sebab jarak rumah mereka sangat dekat dari pinggir rel kereta api.

Warga mengaku sering mendengar bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT KAI untuk membersihkan bangunan liar di sekitar rel kereta api.

Wacana relokasi itu sudah ada sejak tahun 2011 lalu, kemudian kabarnya hilang terbawa angin. Beberapa tahun kemudian mencuat kembali rencana relokasi tapi hingga saat ini, pemukiman mereka tetap kokoh berdiri.

Heni (40) sejatinya pasrah apabila sewaktu-waktu akan direlokasi. Ia sadar bahwa tanah tempat dirinya tinggal merupakan milik PT KAI. Namun satu yang menjadi harapannya bahwa Pemerintah DKI dan PT KAI menyediakan rusun bagi warga untuk kembali melanjutkan hidup.

"Ya mau gimana lagi saya mah pasrah, asal ada rusun buat anak-anak saya tinggal," ujar pendatang dari Indramayu tersebut.

Begitu pula dengan Cucu, ia akan mengikuti setiap perintah apabila harus direlokasi. Namun ia juga berharap Pemprov dan PT KAI memberikan kompensasi atas rumah yang telah didirikannya.

Ia pun pernah dijanjikan bisa mendiami rusun yang belum jelas di mana lokasinya. Tapi kata dia, apabila ada rusun pengganti ini hanya bisa didiami mereka yang memiliki KTP Jakarta. Mayoritas penduduk Pejompongan tak memiliki KTP. Maka, hak mereka pindah ke unit rusun mendekati nihil.

"Saya bangun rumah bisa sampai 100 juta. Kalau mau relokasi yah kasih kompensasi biar saya bisa hidup di kampung halaman. Kalau di rusun kan harus punya KTP," kata dia.

Pejompongan masih selamat, setidaknya sampai ini. Namun, entah kapan, tinggal menunggu waktu seperti wilayah kumuh lainnya yang hilang, dan terlupakan.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019