Tidak dapat dipungkiri, di sejumlah pasar tradisional Sleman banyak terjadi praktik rentenir yang memberatkan para pedagang pasar
Sleman (ANTARA) - Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendorong koperasi di wilayahnya dapat menekan praktik rentenir, yang menjerat para pelaku usaha kecil seperti pedagang di pasar tradisional dengan beban utang tinggi.

"Tidak dapat dipungkiri, di sejumlah pasar tradisional Sleman banyak terjadi praktik rentenir yang memberatkan para pedagang pasar," kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Sleman Pustopo di Sleman, Minggu.

Menurut dia, salah satu koperasi yang saat ini sudah berkonsentrasi masuk ke pasar tradisional adalah Koperasi Prima Arta, yang berusaha merekrut pedagang pasar untuk menjadi anggota agar dapat mengakses permodalan usaha.

"Koperasi Prima Arta berkonsentrasi masuk ke Pasar Sleman. Pasar Sleman itu indikasi saya ada rentenir masuk, kami ingin koperasi masuk ke pasar. Koperasi itu gampang, akses permodalan satu hari cair, bunganya lebih rendah. Maka jika ada pilihan itu otomatis pedagang tidak ke rentenir," katanya.

Ia mengatakan, memang pihaknya tidak tahu pasti jumlah lembaga atau rentenir yang memberi pinjaman dengan bunga yang tinggi di sejumlah pasar tradisional.

"Kami tidak memiliki data tersebut. Namun, kami mengarahkan koperasi-koperasi untuk memberantas rentenir," katanya.

Pustopo mengatakan, di Sleman ada 2.800 tenaga kerja di koperasi dengan volume kegiatan mencapai Rp2 triliun.

"Dengan tenaga kerja sebanyak itu tentu mengurangi pengangguran. Kemudian kalau koperasi berkembang anggota bisa sejahtera," katanya.

Ia mengatakan, sejak 2016 ada 656 koperasi di Sleman. Dari jumlah tersebut sebanyak 242 koperasi ditutup karena tidak sehat maupun naik kelas ke tingkat provinsi.

"Sehingga saat ini ada 414 koperasi di wilayah Sleman. Dari 242 koperasi tersebut, jumlah koperasi yang ditutup lebih banyak dari koperasi yang naik kelas. Koperasi yang naik kelas itu
ingin meluaskan jaringan antarkabupaten, harus jadi koperasi provinsi. Kalau naik kelas, tidak terdata di kabupaten tapi terdata di provinsi. Kalau dari provinsi naik ke nasional, juga tidak terdata di provinsi," katanya.

Sedangkan dari 414 koperasi tersebut, kata dia, hingga Juni, 300 unit di antaranya sudah melakukan rapat akhir tahun (RAT) dan sudah melapor.

“Masih ada 100 lebih yang belum RAT atau belum lapor. Bisa juga koperasi itu sudah RAT tapi belum lapor. Sebanyak 300 koperasi itu yang sudah lapor. Tapi kami sudah melayangkan surat ke mereka untuk lapor," katanya.

Ia mengatakan, ada kriteria dalam menutup koperasi, yakni karena koperasi tersebut selama tiga tahun berturut-turut tidak melakukan RAT.

"Untuk tahun ini, tidak ada yang kami usulkan untuk ditutup. Karena 414 koperasi itu sudah bersih, kami hanya evaluasi saja," katanya.

Baca juga: Ada KUR, peneliti sebut penyaluran kredit koperasi jadi tersendat
Baca juga: Tarik minat milenial, LIPI sarankan koperasi libatkan komunitas
Baca juga: Ekonom: Agar koperasi eksis, harus rangkul generasi muda

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019