Palembang (ANTARA) - Pengamat Politik Alip Dian Permata menyebut kemungkinan terbentuknya oposisi konsensus yang lebih memilih penggunaan metode pendekatan lunak terhadap pemerintahan pasca-Pilpres 2019.

"Kekuatan politik oposisi sepertinya tidak cukup signifikan dalam memberikan fungsi kontrol terhadap laju jalannya pemerintahan, maka satu-satunya bentuk pengawasan yang mungkin dilakukan oleh oposisi adalah menjadi oposisi konsensus," kata Alip Dian Permata di Palembang, Minggu.

Alip yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS), melihat pasca pengumuman hasil pilpres kekuatan politik oposisi di parlemen cukup lemah, karena jika ditotalkan, presentase oposisi angkanya hanya mencapai 35, 39 persen, sehingga belum cukup menjadi kekuatan oposisi yang dominan di parlemen.

Baca juga: Jokowi: Silahkan oposisi asal jangan menimbulkan dendam dan kebencian

Baca juga: PSI: Rekonsiliasi wajib tapi oposisi perlu

Baca juga: Pengamat sepakat hidupkan oposisi untuk demokrasi berkualitas


Berbeda dengan pencapaian politik seperti Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi di tahun 2014 yang meskipun gagal memenangi pilpres, namun berhasil menjadi kekuatan mayoritas di parlemen.

"Dan mereka (oposisi) saat itu bisa menyegel kursi pimpinan dewan di parlemen, sehingga di awal-awal masa kepemimpinan Jokowi mereka mampu menghadirkan perlawanan yang cukup ketat terhadap presiden," lanjutnya.

Konsekuensi dari hadirnya oposisi konsensus, kata dia, dimungkinkan sikap oposisi tidak akan segarang dengan varian-varian oposisi lainnya, apalagi jika ternyata oposisi kekurangan bergaining position secara politik sebab bukan mayoritas.

Namun kelompok oposisi bisa saja memainkan manuvernya di parlemen dengan menarik satu atau dua partai politik menjadi 'rekan sesaat'.

"Misalnya untuk isu tertentu yang tengah menjadi pembahasan hangat di parlemen, dengan pertimbangan kepentingan jangka pendek, secara dramatis mengambil posisi diametral terhadap garis kebijakan koalisi pemerintahan, kemudian bergabung dengan gerbong oposisi," Jelas Alip.

Dinamika rekan sesaat tersebut akan mengejutkan pemerintahan dan mampu merubah lanskap politik di parlemen meski hanya bersifat sekejap, sebab kesepakatannya hanya terhadap isu tertentu, tambahnya.

Setidaknya dinamika tersebut pernah terjadi di Era Pemerintahan SBY, di mana saat itu berkali-kali PKS dan Golkar dalam isu kenaikan bahan bakar mobil (BBM) di parlemen, secara mengejutkan mengambil garis politik berlainan dengan partai koalisi pemerintahan.

"Tetapi jika melihat rekam jejak Jokowi ketika memimpin Indonesia pada periode pertama, ia termasuk presiden yang mampu mengelola dinamika yang terjadi sesama penghuni di kabinet pemerintahan, sehingga situasi reaksioner seperti era SBY tidak terulang sama sekali terhadap pemerintahannya, ini menjadi catatan penting tentunya bagi oposisi," demikian Alip.

Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019