Jayapura (ANTARA) - Peneliti asing yakni arkeolog asal Perancis Dr Marian Vanhaeren dan antropolog asal Jerman Prof Wulf Schiefenhovel menemukan aktivitas manusia prasejarah yang dibuktikan dengan arang sisa pembakaran dan tulang hewan kecil sejenis marsupial di Gua Emok Tum, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua.

"Kami baru datang dari Eipomek, Oksibil dan tahun ini kami tidak lakukan penelitian di sana. Tetapi pada tahun lalu (2018,red) kami lakukan ekskavasi di Gua Emok Tum di Kabupaten Pegunungan Bintang," kata Wulf Schiefenhovel ditemani Marian Vanhaeren dan Hari Suroto seorang arkelog Papua di Kota Jayapura, Senin.

Kegiatan ekskavasi tersebut, kata dia, menemukan sisa arang bekas aktivitas manusia jaman dulu yang diperkirakan pada 2.140 tahun yang lalu sebagaimana hasil dari arang C14.

"Sebenarnya kami kurang berkenan dengan penemuan ini, karena di salah satu tempat di PNG ada penemuan yang lebih lama yakni 8.000 tahun lalu. Tapi penemuan ini cukup membahagiakan bagi penduduk di Oksibil karena nenek moyang mereka telah mengenal api sebelum Tuhan Yesus lahir," kata Wulf membandingkan.

Lebih lanjut Wulf mengemukakan bahwa di dalam gua tersebut juga ditemukan paruh sejenis burung, selain tulang-tulang hewan kecil sejenis mamalia atau marsupial.

"Jadi, Gua Emok Tum ini seperti tempat persinggahan warga yang akan melintas dari Kampung Okbabe ke Kampung Suntamon yang banyak batu andesit untuk buat kapak batu," katanya.

Gua Emok Tum terletak diantara Gunung Tangop dan Gunung Mandala yang memiliki ketinggian kurang lebih 4.700 MDPL. Untuk ke gua prasejarah tersebut, bisa ditempuh dari Kampung Okbabe dengan menggunakan kendaraan roda empat berpenggerak empat roda karena jalannya yang belum diaspal.

"Kurang lebih sejam lamanya perjalanan itu. Karena Gua Emok Tum terletak di ketinggian kurang lebih 2.500 MDPL," kata Wulf.

Marian menjelaskan bahwa ketertarikan ia bersama Prof Wulf untuk melakukan penelitian di Papua khususnya di Kabupaten Pegunungan Bintang karena ingin mengetahui kehidupan di masa lampau khususnya nenek orang Papua.

Dimana di Situs Kuk Lembah Waghi yang terletak di Papua New Guinea (PNG) telah ditemukan oleh peneliti bahwa ada kehidupan manusia pada 8.000 tahun lalu ditempat tersebut, yang diduga sebagai orang Papua pertama. Situs ini telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia, sementara di Papua belum ada.

Kemudian di Kelela, Lembah Baliem oleh Harbele seorang peneliti dari Australia menemukan jejak pertanian pada 7.000 tahun lalu.

Herbela melakukan penelitian serbuk sari, yaitu sisa-sisa tumbuhan pada masa lalu. Dari penelitian ini diketahui bahwa sejak 7.000 tahun yang lalu di pegunungan tengah Papua sudah ada pertanian awal di Lembah Baliem yaitu budidaya buah merah.

Kabupaten Pegunungan Bintang terletak diantara Situs Kuk, PNG dan Kelela, Lembah Baliem, Kabupaten Jayawiya, Indonesia.

"Hal ini yang membuat saya dan Prof Wulf ingin mengetahui benang merah antara Situs Kuk dan Kelela, karena data etnografi menunjukkan bahwa nenek moyang masyarakat pegunungan tengah Papua berasal dari timur. Jika, data etnografi itu benar maka Pegunungan Bintang yang terletak di paling timur Papua, menjadi jalur migrasi manusia dari timur ke barat," kata Marian.

Marian menerangkan bahwa penelitian itu atas kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balar Arkeologi Papua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Pegunungan Bintang dengan Universitas Bordeaux Perancis dan Max Planck Institue Jerman.

"Kerja sama untuk penelitian ini membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi hasilnya sangat menggembirakan buat orang Papua, khususnya warga dari Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang. Kami juga akan terus lakukan penelitian di Papua," kata Marian diamini Wulf.

Mengenai Kerja Sama

Secara terpisah Kepala Balai Arkeologi Papua Gusti Made Sudarmika mengatakan sejak 2017 ada dua orang mahasiswa dari arkeologi Universitas Bordeux yakni Coralie Girrad dan Fanette Reyjasse melakukan penelitian di kantornya untuk menyelesaikan tugas akhir mereka.

"Kerja sama dengan Universitas Bordeaux ini ke depan diharapkan lebih ke pengembangan SDM yaitu peningkatan kualitas peneliti dari Balai Arkeologi Papua untuk melanjutkan studi di Universitas Bordeaux," katanya.

Terkait penelitian, lanjut dia, Balai Arkeologi Papua pada bulan lalu juga melakukan penelitian di Situs Gua Togece, Kampung Parema, Distrik Wesaput, Kabupaten Jayawijaya. Data hasil penelitian masih dianalisis. Tetapi intinya sama dengan Wulf dan Marian.

Balai Arkeologi Papua juga ingin menemukan situs tertua yang menjadi bukti kehadiran hunian manusia pertama di pegunungan tengah Papua. Jika dibandingkan dengan situs-situs arkeologi di pesisir utara Papua, pada umumnya situs-situs di pesisir Papua berumur 2500 hingga 3000 tahun yang lalu, jauh lebih muda dari Situ Kuk dan Kelela yang ada di pegunungan.

"Jadi diperkirakan manusia prasejarah yang pernah beraktivitas Situs Kuk dan Kelela merupakan nenek moyang pertama Papua yang datang pada gelombang pertama ke Papua. Sedangkan situs-situs arkeologi di pesisir Papua menjadi bukti kehadiran nenek moyang Papua gelombang kedua yang ke Papua," kata Gusti.

Senada itu, Hari Suroto menambahkan nenek moyang pertama Papua hanya mengenal budaya membuat api dan berburu, kemudian mengenal bercocok tanam keladi, pisang, buah merah dan tebu. Mereka ini hanya mengolah bahan makanan dengan cara dibakar saja, mereka belum kenal babi, anjing dan ayam.

"Ketiga binatang ini dibawa oleh nenek moyang Papua gelombang kedua. Nenek moyang gelombang kedua ini, disebut sebagai orang Austronesia. Orang Austronesia lebih banyak tinggal, bermukim dan menghuni di pesisir Papua dan pulau-pulau di lepas pantai Papua, mereka tidak bisa masuk ke pegunungan tengah Papua," katanya.

Salah satu benda yang menjadi ciri khas orang Austronesia ini adalah gerabah (wadah terbuat dari tanah liat,red), gerabah ini untuk memasak, menyimpan makanan, menyimpan air, merebus ikan atau makanan, bahkan untuk mengolah papeda.

Gerabah ini tdk ditemukan di situs arkeologi dan suku-suku di pegunungan tengah Ppaua, budaya gerabah hanya di pesisir saja, salah satu masyarakat yang masih membuat gerabah ini adalah masyarakat Kampung Abaar, Kabupaten Jayapura dan masyarakat Kayu Batu, Kota Jayapura.

"Belajar dari PNG, peneliti Indonesia harus berperan lebih banyak melakukan penelitian di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat," katanya.

Baca juga: Arkeolog ungkap kehidupan lampau di Gunung Srobu, Papua

Baca juga: Peneliti : warga Yahukimo temukan mumi Angguruk

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019