Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan meminta kabinet pemerintahan baru dan anggota legislatif periode lima tahun ke depan memikirkan institusi dengan mandat khusus yang berkewenangan melindungi dan mengawasi masalah perempuan.

Ketua Komnas Perempuan Azriana menilai hal ini penting mengingat Institusi perempuan yang ada di Indonesia (National Women’s Machineries) saat ini masih membagi fokusnya tidak hanya pada urusan perempuan tetapi juga keluarga.

Untuk diketahui Indonesia memiliki dua institusi yang berperan dalam memastikan hak perempuan atas hak sipil, budaya, ekonomi, sosial dan politik, serta pembangunan yang melibatkan perempuan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan.

Namun pada periode 2009-2014 berubah menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA).

National Women’s Machineries jangan ditempatkan dalam urusan keluarga dan rumah tangga saja, tetapi peran strategis pada ruang-ruang sosial politik untuk menyelesaikan persoalan perempuan dalam berbagai lintas isu,” ucap Azriana di Jakarta, Jumat.

Dia pun menilai isu ini perlu diangkat seiring adanya wacana menggantikan KPPA dengan Kementerian Ketahanan Keluarga.

Padahal ratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) oleh Indonesia 35 tahun yang lalu mengamanatkan kata perempuan dalam women machinery yang ada di Indonesia, baik Kementerian Pemberdayaan Perempuan maupun Komnas Perempuan.

“Dalam hal ini bukan berarti dua institusi ini anti pada keluarga, melainkan Indonesia perlu memperkuat institusi ini khususnya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Karena pembiaran diskriminasi dan kekerasan akan merapuhkan ketahanan keluarga, namun isu perempuan tidak selalu terselesaikan dan dikecilkan dalam isu keluarga,” ucap dia.

Penguatan kedua institusi national women’s machineries ini pun perlu dukungan baik politis dan substantif untuk menopang kerja-kerjanya.

Perlu ada kejelasan program dan strategi yang dilakukan agar tidak setengah-setengah yang berimplikasi pada kewenangan, cakupan kerja dan anggaran.

Ratifikasi CEDAW saat ini juga masih sangat kurang sosialisasi, sehingga negara maupun masyarakat perempuan menjadi jauh dari informasi tentang hak-hak perempuan.

"Oleh karena itu negara perlu kembali menggencarkan isu-isu HAM perempuan, termasuk melakukan penerapan pengarusutamaan gender dengan perspektif yang tidak buta atau netral gender, namun berpihak pada yang rentan,” ucap dia.

Baca juga: Komnas Perempuan: Penghapusan perkawinan anak harus dari segala sisi

Baca juga: Aktivis : diskriminasi perempuan karena ketidakpahaman aparatur negara

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019