"Marsetio sukses membawa TNI AL untuk bekerja dengan visi the world class navy secara agresif," kata Nuning, Jakarta, Rabu.
Selain itu, Marsetio juga sadar dan paham untuk menjadikan TNI AL yang world class navy tentunya membutuhkan dukungan anggaran, regulasi, prajurit dan komponen tenaga pendidik yang mumpuni.
"Karena itu perwira-perwira TNI AL ke depan tidak saja memiliki kemampuan tempur yang kuat, tapi juga memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni," katanya.
Marsetio, alumnus Akademi TNI AL pada 1981 sekaligus pemegang pedang Adhi Makayasa, secara aktif menjalankan diplomasi navy to navy dan menempatkan Indonesia pada posisi penting di Asia Pasifik.
Empat kekuatan penting di kawasan ini, Amerika Serikat, Rusia, China, dan India, bersedia bergandeng tangan bersama TNI AL mewujudkan keseimbangan keamanan maritim kawasan. Demikian juga belasan negara lain.
Padahal
pada saat sama, terjadi banyak fenomena pokok dunia, mulai dari
"perlombaan persenjatan" di kawasan, ditambah ekskalasi konflik Laut
China Selatan, aktivitas perdagangan manusia dan terorisme, beriringan
dengan peningkatan lalu-lintas perdagangan dan ekonomi kawasan.
Marsetio yang juga doktor di bidang pertahanan, kata dia, juga telah
menerapkan sistem yang membuat prajurit TNI AL memiliki karakter yang
meliputi, pengetahuan (knowledge of subject), kepribadian (attitude), kemampuan memimpin (leadership ability), dan kemampuan memberi instruksi (knowledge of teaching techniques).
"Dengan komponen ini, bagi lembaga pendidikannya, TNI AL bisa mendidik
dan mencetak SDM yang handal dan profesional di bidangnya, hingga TNI AL
ke depan mampu menuju world class navy atau angkatan laut berkelas dunia," kata dia, yang menulis buku Komunikasi Dalam Kinerja Intelijen Keamanan.
Nuning menambahkan, tidak heran bila suasana serah terima jabatan
Marsetio kepada Kepala Staf baru TNI AL, Laksamana Madya TNI Ade
Supandi, begitu mengharukan. Sertijab sekaligus pelepasan Marsetio ini
dilakukan di Dermaga Ujung Surabaya dengan inspektur upacara Panglima
TNI, Jenderal TNI Moeldoko.
Nuning menilai, gagasan Marsetio dapat dilihat dari bukunya, Sea Power Indonesia. Dalam buku tersebut dipahami sea power tidak berarti hanya armada kapal perang saja, tetapi juga mencakup seluruh potensi kekuatan maritim nasional.
Sebutlah armada niaga, armada perikanan, industri dan jasa maritim, serta masyarakat maritim dan lain-lain.
Dalam buku itu juga, lanjutnya, Marsetio menyadarkan bahwa Indonesia harus memiliki kekuatan AL yang memadai dan proporsional.
Konsep ini juga bisa dimaknai sebagai suatu negara untuk menggunakan dan mengendalikan laut (sea control) serta mencegah lawan dengan menggunakannya (sea denial).
"Sea power
akan memiliki efek pengganda bagi kejayaan negara kepulauan. Kekuatan
laut ini memiliki peran sentral dalam menentukan posisi Indonesia dalam
kancah global. Ini adalah kekuatan yang tak tertawarkan lagi," kata
Nuning.