Kabul (ANTARA News) - "Saya sungguh telah kehilangan harapan untuk
meraih perdamaian yang langgeng di negara saya, dan setiap insiden
memusnahkan impian saya untuk meraih perdamaian, setidaknya dalam waktu
dekat," kata warga Jalalabad, Hajji Alam Shah Khan.
"Sungguh sangat mengerikan untuk menyaksikan banyak orang, termasuk anak kecil, tewas dan cedera; mereka tergeletak di tanah dan sebagian memohon pertolongan," kata Khan. Ia menambahkan, "Harapan saya untuk meraih perdamaian yang langgeng di negara ini telah digilas oleh pemboman yang mengerikan."
Satu bom bunuh diri mematikan yang mengguncang Kota Jalalabad, yang relatif damai di Afghanistan Timur, pada Sabtu (18/4) telah menewaskan 35 orang dan melukai lebih dari 120 orang lagi, kebanyakan warga sipil, kata beberapa pejabat setempat.
Khan, yang secara kebetulan selamat dari serangan mematikan itu, dalam perbincangan dengan Xinhua, bercerita ia keluar rumah untuk berbelanja dan tiba-tiba ledakan kuat mengubah siang hari jadi gelap dan melempar dia beberapa meter dari jalanan.
"Saya melihat beberapa mayat dan tiga dari mereka adalah tetangga saya," Khan mengenang peristiwa tersebut sementara air mata mengalir di pipinya. Ia menambahkan dua di antara korban adalah kakak-adik --Rauf Khan dan Manawar Khan, yang baru empat hari sebelum kematian mereka merayakan pernikahan mereka masing-masing. Kerabat lain adalah seorang pria yang berusia 79 tahun.
Pemboman yang bergelimang darah itu dilaporkan terjadi ketika sejumlah orang termasuk beberapa personel keaman sedang antri dalam barisan panjang di belakang gerbang satu bank lokal untuk mengambil gaji mereka dari cabang New Kabul Bank di Kota Jalalabad di Afghanistan Timur.
"Saya sedang menunggu di dalam barisan giliran saya untuk menerima gaji bulanan saya tapi tiba-tiba ledakan keras mengguncang daerah tersebut dan belakangan saya sadarkan diri di rumah sakit," kata satu orang yang cedera dan kini dirawat di satu rumah sakit kepada media setempat pada Ahad (19/4).
Satu lagi orang yang beruntung mengatakan keberuntungan memihak pada dia sehingga ia selamat dari pemboman mematikan di Kota Jalalabad tersebut. Penjaga toko mengaku ia bernama Hamid, seperti kebanyakan orang Afghanistan yang memiliki nama satu kata.
"Syukur lah, saya masih hidup hari ini, meskipun toko saya rusak parah," kata Hamid kepada Xinhua.
Namun, Hamid mengenang kematian seorang anak yang berusia sembilan tahun dan biasa menjual air di depan tokonya dan kehilangan nyawanya dalam ledakan akan selalu menghantui dirinya.
"Tak satu orang pun aman di negeri ini, baik dia itu militer ataupun warga sipil, bahkan anak yang tak berdosa tidak aman di sini," kata Hamid.
Pembantaian di Jalalabad terjadi cuma 10 hari setelah pembunuhan lebih dari dua lusin personel keamanan. Sebagian dari mereka telah dipenggal oleh gerilyawan bersenjata di Kabupaten Jarm di Provinsi Badakhshan di bagian utara negeri tersebut, yang telah membuat kaget seluruh rakyat Afghanistan.
Para pemimpin Afghanistan termasuk Presiden Mohammad Ashraf Ghani telah menuduh musuh Afghanistan sebagai pelaku serangan mematikan itu dan mengutuk mereka dengan sekeras-kerasnya.
"Mengutuk serangan teror dan menyampaikan simpati kepada keluarga korban bukan obat," kata seorang anggota Mushrano Jirga, atau Majelis Tinggi Parlemen Afghanistan, Anar Kuli Hunaryar, pada Minggu dalam satu sidang Parlemen untuk menanyai pejabat keamanan karena diduga gagal menjamin keamanan.
"Kami telah kehilangan harapan kami untuk masa depan akibat kegagalan pemerintah untuk melindungi nyawa warganya," kata seorang anggota Parlemen, Hajji Almas, belum lama ini. Ia mengecam pemerintah karena diduga gagal mengendalikan kekerasan yang terus berkecamuk.
"Sungguh sangat mengerikan untuk menyaksikan banyak orang, termasuk anak kecil, tewas dan cedera; mereka tergeletak di tanah dan sebagian memohon pertolongan," kata Khan. Ia menambahkan, "Harapan saya untuk meraih perdamaian yang langgeng di negara ini telah digilas oleh pemboman yang mengerikan."
Satu bom bunuh diri mematikan yang mengguncang Kota Jalalabad, yang relatif damai di Afghanistan Timur, pada Sabtu (18/4) telah menewaskan 35 orang dan melukai lebih dari 120 orang lagi, kebanyakan warga sipil, kata beberapa pejabat setempat.
Khan, yang secara kebetulan selamat dari serangan mematikan itu, dalam perbincangan dengan Xinhua, bercerita ia keluar rumah untuk berbelanja dan tiba-tiba ledakan kuat mengubah siang hari jadi gelap dan melempar dia beberapa meter dari jalanan.
"Saya melihat beberapa mayat dan tiga dari mereka adalah tetangga saya," Khan mengenang peristiwa tersebut sementara air mata mengalir di pipinya. Ia menambahkan dua di antara korban adalah kakak-adik --Rauf Khan dan Manawar Khan, yang baru empat hari sebelum kematian mereka merayakan pernikahan mereka masing-masing. Kerabat lain adalah seorang pria yang berusia 79 tahun.
Pemboman yang bergelimang darah itu dilaporkan terjadi ketika sejumlah orang termasuk beberapa personel keaman sedang antri dalam barisan panjang di belakang gerbang satu bank lokal untuk mengambil gaji mereka dari cabang New Kabul Bank di Kota Jalalabad di Afghanistan Timur.
"Saya sedang menunggu di dalam barisan giliran saya untuk menerima gaji bulanan saya tapi tiba-tiba ledakan keras mengguncang daerah tersebut dan belakangan saya sadarkan diri di rumah sakit," kata satu orang yang cedera dan kini dirawat di satu rumah sakit kepada media setempat pada Ahad (19/4).
Satu lagi orang yang beruntung mengatakan keberuntungan memihak pada dia sehingga ia selamat dari pemboman mematikan di Kota Jalalabad tersebut. Penjaga toko mengaku ia bernama Hamid, seperti kebanyakan orang Afghanistan yang memiliki nama satu kata.
"Syukur lah, saya masih hidup hari ini, meskipun toko saya rusak parah," kata Hamid kepada Xinhua.
Namun, Hamid mengenang kematian seorang anak yang berusia sembilan tahun dan biasa menjual air di depan tokonya dan kehilangan nyawanya dalam ledakan akan selalu menghantui dirinya.
"Tak satu orang pun aman di negeri ini, baik dia itu militer ataupun warga sipil, bahkan anak yang tak berdosa tidak aman di sini," kata Hamid.
Pembantaian di Jalalabad terjadi cuma 10 hari setelah pembunuhan lebih dari dua lusin personel keamanan. Sebagian dari mereka telah dipenggal oleh gerilyawan bersenjata di Kabupaten Jarm di Provinsi Badakhshan di bagian utara negeri tersebut, yang telah membuat kaget seluruh rakyat Afghanistan.
Para pemimpin Afghanistan termasuk Presiden Mohammad Ashraf Ghani telah menuduh musuh Afghanistan sebagai pelaku serangan mematikan itu dan mengutuk mereka dengan sekeras-kerasnya.
"Mengutuk serangan teror dan menyampaikan simpati kepada keluarga korban bukan obat," kata seorang anggota Mushrano Jirga, atau Majelis Tinggi Parlemen Afghanistan, Anar Kuli Hunaryar, pada Minggu dalam satu sidang Parlemen untuk menanyai pejabat keamanan karena diduga gagal menjamin keamanan.
"Kami telah kehilangan harapan kami untuk masa depan akibat kegagalan pemerintah untuk melindungi nyawa warganya," kata seorang anggota Parlemen, Hajji Almas, belum lama ini. Ia mengecam pemerintah karena diduga gagal mengendalikan kekerasan yang terus berkecamuk.