Makassar (Antara Kalteng) - Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar Wahyudi Muchsin menegaskan, bagi dokter dengan sengaja menjual atau mengarahkan pasien menebus obat di tempat yang ditunjuk, itu melanggar aturan.
"Bila betul terjadi, maka oknum dokter bersangkutan melanggar Undang-undang Kedokteran serta kode etik dokter," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Kejadian ini mengemuka menyusul adanya keluarga pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dadi yang merasa diakali oknum dokter Interna bernama dokter EF bekerja sama dengan perawat di RS setempat yang mengarahkan keluarga pasien menebus obat di apotik miliknya pada Rabu (7/9) malam.
Pasien tersebut diketahui bernama Sudira (68) peserta BPJS Kesehatan mengidap penyakit Diabetes atau gula dan masuk di RSUD setempat pada Rabu pagi, selanjutnya ditangani perawat.
Menurut dia, bila peserta telah terdaftar di BPJS Kesehatan, tentu tidak dibebankan biaya apapun. Dengan kejadian ini, pihaknya menyesalkan masih ada oknum dokter melakukan hal seperti itu, sanksi berat bisa dijatuhkan seperti mencabut izin apotik hingga gelar dokternya dicabut.
Kendati demikian, pihaknya berharap agar keluarga pasien melaporkan kejadian menimpanya, selanjutnya akan melakukan pengecekan terhadap pelayanan dokter terhadap pasien di rumah sakit setempat.
"Kami tetap menunggu laporan dari pasien untuk menindaklanjuti persoalan itu, termasuk mengkroscek pelayanan para dokter disana, selanjutnya akan usut, bila memang ada kejadian seperti itu maka akan diberikan teguran maupun sanksi," ujar Muchsin.
Sebelumnya, berdasarkan penuturan anak pasien, Imran Kadir kepada wartawan, kejadian bermula ketika ibunya masuk di rumah sakit karena merasa lemah dan gula darah naik sehingga mengalami drop.
Ketika memasuki malam, adik perempuannya saat menjaga ibunya, diminta menebus obat di Apotik Watuliandu, jalan Kumala nomor 70 B, oleh perawat yang sebelumnya telah berkoordinasi dengan dokter dimaksud tanpa membawa resep ke apotik milik dokter tersebut.
Adiknya pun berusaha ke apotik dituju, namun karena dana yang dibawa tidak cukup hanya Rp350.000 dari harga dua jenis obat tersebut sebesar Rp450.000, pihak apotik lalu memberikan keringanan dengan memberikan obat, meski tanpa kwitansi pembelian.
Merasa ada keganjilan, Imran pun melakukan kroscek ke beberapa apotik dengan berpura-pura menanyakan harga kedua obat itu yakni obat nafsu makan, dan diabetes cair untuk dicampur dalam cairan infus. Namun hanya obat diabetes saja diketahui harganya seratusan ribu lebih.
"Di tempat lain harga obat itu hanya seratusan lebih, sementara pil katanya penambah nafsu makan tidak ada yang tahu jenisnya. Nah, nanti di apotik Watuliandau itu ada, tetapi awalnya mengaku tidak ada, tapi setelah dikatakan beli disini ya, baru ada," ucap Imran menirukan penjaga apotik.
Karena merasa dikecewakan pihak rumah sakit, disamping pelayanan kurang maksimal, dirinya langsung membawa pulang ibunya pada Kamis (7/9) malam, sembari berobat jalan di rumah sakit lain yang lebih baik.
Apotik yang dimaksud pun, ungkap dia, letaknya berdampingan dengan ruangan praktek dokter bersangkutan bersama istrinya diketahui juga dokter di salah satu rumah sakit di Makassar.
Secara terpisah, dokter Efendy yang berdinas di rumah sakit setempat saat ditemui di ruangannya berdalih, dirinya tidak menjual obat kepada pasien. Namun dirinya mengakui mempunyai apotik.
"Kami tolong ibu Sudira itu agar cepat ditangani karena darurat, uangnya obat pun kurang tapi kami maklum. Saya memang punya apotik, tapi bukan saya menjual obat, apalagi mengarahkan pasien membeli obat di apotik. Dua jenis obat memang dibeli di apotik saya, karena obat disini habis," ujarnya berdalih.
Efendi mengatakan yang bersangkutan mengalami penyakit Diabetes serta nafsu makannya menurun, terlihat pada kondisi tubuhnya yang kurus. Dokter ini pun menyayangkan keluarga membawa pulang pasien padahal kadar gulanya masih tinggi.
Kendati demikian, ia mengakui membuka praktik di rumahnya bersama istri yang juga dokter di rumah sakit lain hingga membangun apotik untuk memudahkan pasien berobat.
Dalam aturan praktik dokter sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (Self Dispensing) adalah pelanggaran kode etik profesi kedokteran, dan menyalahi disiplin. Bila ada yang melaporkan dapat dikenai tuduhan melanggar tata cara pengadaan obat.
Kode Etik Kedokteran diatur dalam Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004, dan secara umum diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Selain itu, Self Dispensing dibenarkan apabila tidak ada sarana, seperti apotik di sekitar tempat praktik. Apotik pun boleh dibangun berjarak minimal 10 kilometer dari tempat praktik dokter.
"Bila betul terjadi, maka oknum dokter bersangkutan melanggar Undang-undang Kedokteran serta kode etik dokter," katanya saat dikonfirmasi wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Kejadian ini mengemuka menyusul adanya keluarga pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dadi yang merasa diakali oknum dokter Interna bernama dokter EF bekerja sama dengan perawat di RS setempat yang mengarahkan keluarga pasien menebus obat di apotik miliknya pada Rabu (7/9) malam.
Pasien tersebut diketahui bernama Sudira (68) peserta BPJS Kesehatan mengidap penyakit Diabetes atau gula dan masuk di RSUD setempat pada Rabu pagi, selanjutnya ditangani perawat.
Menurut dia, bila peserta telah terdaftar di BPJS Kesehatan, tentu tidak dibebankan biaya apapun. Dengan kejadian ini, pihaknya menyesalkan masih ada oknum dokter melakukan hal seperti itu, sanksi berat bisa dijatuhkan seperti mencabut izin apotik hingga gelar dokternya dicabut.
Kendati demikian, pihaknya berharap agar keluarga pasien melaporkan kejadian menimpanya, selanjutnya akan melakukan pengecekan terhadap pelayanan dokter terhadap pasien di rumah sakit setempat.
"Kami tetap menunggu laporan dari pasien untuk menindaklanjuti persoalan itu, termasuk mengkroscek pelayanan para dokter disana, selanjutnya akan usut, bila memang ada kejadian seperti itu maka akan diberikan teguran maupun sanksi," ujar Muchsin.
Sebelumnya, berdasarkan penuturan anak pasien, Imran Kadir kepada wartawan, kejadian bermula ketika ibunya masuk di rumah sakit karena merasa lemah dan gula darah naik sehingga mengalami drop.
Ketika memasuki malam, adik perempuannya saat menjaga ibunya, diminta menebus obat di Apotik Watuliandu, jalan Kumala nomor 70 B, oleh perawat yang sebelumnya telah berkoordinasi dengan dokter dimaksud tanpa membawa resep ke apotik milik dokter tersebut.
Adiknya pun berusaha ke apotik dituju, namun karena dana yang dibawa tidak cukup hanya Rp350.000 dari harga dua jenis obat tersebut sebesar Rp450.000, pihak apotik lalu memberikan keringanan dengan memberikan obat, meski tanpa kwitansi pembelian.
Merasa ada keganjilan, Imran pun melakukan kroscek ke beberapa apotik dengan berpura-pura menanyakan harga kedua obat itu yakni obat nafsu makan, dan diabetes cair untuk dicampur dalam cairan infus. Namun hanya obat diabetes saja diketahui harganya seratusan ribu lebih.
"Di tempat lain harga obat itu hanya seratusan lebih, sementara pil katanya penambah nafsu makan tidak ada yang tahu jenisnya. Nah, nanti di apotik Watuliandau itu ada, tetapi awalnya mengaku tidak ada, tapi setelah dikatakan beli disini ya, baru ada," ucap Imran menirukan penjaga apotik.
Karena merasa dikecewakan pihak rumah sakit, disamping pelayanan kurang maksimal, dirinya langsung membawa pulang ibunya pada Kamis (7/9) malam, sembari berobat jalan di rumah sakit lain yang lebih baik.
Apotik yang dimaksud pun, ungkap dia, letaknya berdampingan dengan ruangan praktek dokter bersangkutan bersama istrinya diketahui juga dokter di salah satu rumah sakit di Makassar.
Secara terpisah, dokter Efendy yang berdinas di rumah sakit setempat saat ditemui di ruangannya berdalih, dirinya tidak menjual obat kepada pasien. Namun dirinya mengakui mempunyai apotik.
"Kami tolong ibu Sudira itu agar cepat ditangani karena darurat, uangnya obat pun kurang tapi kami maklum. Saya memang punya apotik, tapi bukan saya menjual obat, apalagi mengarahkan pasien membeli obat di apotik. Dua jenis obat memang dibeli di apotik saya, karena obat disini habis," ujarnya berdalih.
Efendi mengatakan yang bersangkutan mengalami penyakit Diabetes serta nafsu makannya menurun, terlihat pada kondisi tubuhnya yang kurus. Dokter ini pun menyayangkan keluarga membawa pulang pasien padahal kadar gulanya masih tinggi.
Kendati demikian, ia mengakui membuka praktik di rumahnya bersama istri yang juga dokter di rumah sakit lain hingga membangun apotik untuk memudahkan pasien berobat.
Dalam aturan praktik dokter sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (Self Dispensing) adalah pelanggaran kode etik profesi kedokteran, dan menyalahi disiplin. Bila ada yang melaporkan dapat dikenai tuduhan melanggar tata cara pengadaan obat.
Kode Etik Kedokteran diatur dalam Undang-undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004, dan secara umum diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Selain itu, Self Dispensing dibenarkan apabila tidak ada sarana, seperti apotik di sekitar tempat praktik. Apotik pun boleh dibangun berjarak minimal 10 kilometer dari tempat praktik dokter.