Lebak (ANTARA) - Kolom agama pada KTP dan kartu keluarga (KK) Suku Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten tercatat sebagai penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, walaupun sebagian ada yang menginginkan secara tegas mencatat sebagai Sunda Wiwitan.
"Kami sebetulnya sebagai penganut agama Selam Sunda Wiwitan, namun terpaksa dicatat sebagai penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Sarkan, seorang warga Badui saat ditemui di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Lebak, Rabu.
Ia mengakui, identitas kependudukan baik e-KTP dan KK sangat penting untuk keperluan administrasi negara, terlebih kerapkali berpergian ke luar daerah sehingga ia berusaha membuat dokumen kependudukan dengan mendatangi Kantor Disdukcapil Kabupaten Lebak.
Pengakuan agama masyarakat Badui sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Pemuka masyarakat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Saija mengatakan saat ini masyarakat Badui juga banyak yang membuat identitas e-KTP dan KK tercatat pada kolom agama sebagai penganut kepercayaan.
Namun, pihaknya juga tidak melarang warganya yang tidak tertulis kolom agamanya atau dikosongkan karena masih ada masyarakat Badui yang berkeinginan kolom agama pada identitas kependudukan itu tercatat Selam Sunda Wiwitan.
"Kami tetap menganjurkan bahwa warganya memiliki identitas kependudukan sesuai dengan aturan pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, Santa (45) warga Badui mengaku hingga kini identitas kependudukan keluarga pada kolom agama kosong, karena keberatan dianggap sebagai penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Kami sejak turun temurun sebagai penganut Sunda Wiwitan dan bukan kepercayaan itu," katanya menjelaskan.
Santa mengatakan, sejak tahun 1970-2013 agama masyarakat Badui tercantum pada kolom KTP dan KK sebagai agama Sunda Wiwitan.
Namun, tahun 2013 sampai 2017 dikosongkan karena adanya UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dengan diakui enam agama yakni Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu.
"Kami berharap ke depan pemerintah bisa mencantumkan kembali agama warga Badui pada identitas kependudukan tertulis Sunda Wiwitan," katanya.
"Kami sebetulnya sebagai penganut agama Selam Sunda Wiwitan, namun terpaksa dicatat sebagai penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Sarkan, seorang warga Badui saat ditemui di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Lebak, Rabu.
Ia mengakui, identitas kependudukan baik e-KTP dan KK sangat penting untuk keperluan administrasi negara, terlebih kerapkali berpergian ke luar daerah sehingga ia berusaha membuat dokumen kependudukan dengan mendatangi Kantor Disdukcapil Kabupaten Lebak.
Pengakuan agama masyarakat Badui sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Pemuka masyarakat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Saija mengatakan saat ini masyarakat Badui juga banyak yang membuat identitas e-KTP dan KK tercatat pada kolom agama sebagai penganut kepercayaan.
Namun, pihaknya juga tidak melarang warganya yang tidak tertulis kolom agamanya atau dikosongkan karena masih ada masyarakat Badui yang berkeinginan kolom agama pada identitas kependudukan itu tercatat Selam Sunda Wiwitan.
"Kami tetap menganjurkan bahwa warganya memiliki identitas kependudukan sesuai dengan aturan pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, Santa (45) warga Badui mengaku hingga kini identitas kependudukan keluarga pada kolom agama kosong, karena keberatan dianggap sebagai penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Kami sejak turun temurun sebagai penganut Sunda Wiwitan dan bukan kepercayaan itu," katanya menjelaskan.
Santa mengatakan, sejak tahun 1970-2013 agama masyarakat Badui tercantum pada kolom KTP dan KK sebagai agama Sunda Wiwitan.
Namun, tahun 2013 sampai 2017 dikosongkan karena adanya UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dengan diakui enam agama yakni Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu.
"Kami berharap ke depan pemerintah bisa mencantumkan kembali agama warga Badui pada identitas kependudukan tertulis Sunda Wiwitan," katanya.