Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD Prof Mahfud MD menegaskan bahwa berdasarkan tata hukum nasional dan internasional Papua tidak bisa meminta referendum.
"Papua dalam pendekatan hukum nasional tidak mungkin meminta referendum, karena dalam tata hukum nasional Indonesia tidak ada referendum," kata Mahfud MD pada diskusi di kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Jakarta, Selasa. Diskusi tersebut dihadiri Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono dan sejumlah staf khusus BPIP.
Menurut Mahfud, berdasarkan tata hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, Papua juga tidak boleh meminta referendum, karena Papua sudah masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sah dan diakui hukum internasional.
"Dalam konvensi internasional itu disebutkan, sebuah negara berdaulat yang diakui dunia internasional, dapat mempertahankan wilayahnya, termasuk menjaga wilayah negara dengan pendekatan keamaanan," katanya.
Baca juga: Efek besar bila Provinsi Papua lepas dari Republik Indonesia
Pada kesempatan tersebut, Mahfud menjelaskan, persoalan demo yang kemudian berkembang menjadi kericuhan di Papua, bermula dari persoalan non-hukum tapi kemudian berkembang menjadi persoalan hukum.
Persoalan non-hukum, menurut dia, persoalan Papua ini bermula dari persoalan sepele yakni adanya ujaran kebencian yang terjadi antara oknum aparat dan mahasiswa asal Papua di Surabaya Jawa Timur. "Namun, persoalan kecil ini disulut menjadi besar di Papua. Apalagi kemudian muncul gerakan separatis, sehingga berubah menjadi persoalan hukum," katanya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, setelah berkembang menjadi persoalan hukum, maka persoalan Papua ini juga dapat dari dua pendekatan, pelaku kriminal dan pelaku separatis. "Pelaku kriminal adalah pelaku ujaran kebencian, sedangkan pelaku separatis adalah pelaku kerawanan yang mengarah ke referendum," katanya.
Mahfud mengusulkan, guna mengatasi persoalan di Papua menuju situasi kondusif, adalah melakukan penegakan hukum dengan pendekatan persuasif. "Penegakan hukum secara persuasif ini, misalnya tidak boleh adanya saling ancam," katanya.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, Mahfud mengatakan, sebagian besar pendemo adalah melakukan demo secara damai, dan hanya sedikit orang yang mengarahkan pada tindakan kekerasan. "Terhadap pendemo yang keras kepala, sebaiknya diatasi dengan pendekatan hukum," katanya.
Baca juga: Pemerintah anggarkan Rp100 miliar untuk renovasi pascarusuh Jayapura
"Papua dalam pendekatan hukum nasional tidak mungkin meminta referendum, karena dalam tata hukum nasional Indonesia tidak ada referendum," kata Mahfud MD pada diskusi di kantor Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Jakarta, Selasa. Diskusi tersebut dihadiri Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono dan sejumlah staf khusus BPIP.
Menurut Mahfud, berdasarkan tata hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, Papua juga tidak boleh meminta referendum, karena Papua sudah masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sah dan diakui hukum internasional.
"Dalam konvensi internasional itu disebutkan, sebuah negara berdaulat yang diakui dunia internasional, dapat mempertahankan wilayahnya, termasuk menjaga wilayah negara dengan pendekatan keamaanan," katanya.
Baca juga: Efek besar bila Provinsi Papua lepas dari Republik Indonesia
Pada kesempatan tersebut, Mahfud menjelaskan, persoalan demo yang kemudian berkembang menjadi kericuhan di Papua, bermula dari persoalan non-hukum tapi kemudian berkembang menjadi persoalan hukum.
Persoalan non-hukum, menurut dia, persoalan Papua ini bermula dari persoalan sepele yakni adanya ujaran kebencian yang terjadi antara oknum aparat dan mahasiswa asal Papua di Surabaya Jawa Timur. "Namun, persoalan kecil ini disulut menjadi besar di Papua. Apalagi kemudian muncul gerakan separatis, sehingga berubah menjadi persoalan hukum," katanya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menambahkan, setelah berkembang menjadi persoalan hukum, maka persoalan Papua ini juga dapat dari dua pendekatan, pelaku kriminal dan pelaku separatis. "Pelaku kriminal adalah pelaku ujaran kebencian, sedangkan pelaku separatis adalah pelaku kerawanan yang mengarah ke referendum," katanya.
Mahfud mengusulkan, guna mengatasi persoalan di Papua menuju situasi kondusif, adalah melakukan penegakan hukum dengan pendekatan persuasif. "Penegakan hukum secara persuasif ini, misalnya tidak boleh adanya saling ancam," katanya.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, Mahfud mengatakan, sebagian besar pendemo adalah melakukan demo secara damai, dan hanya sedikit orang yang mengarahkan pada tindakan kekerasan. "Terhadap pendemo yang keras kepala, sebaiknya diatasi dengan pendekatan hukum," katanya.
Baca juga: Pemerintah anggarkan Rp100 miliar untuk renovasi pascarusuh Jayapura