Jakarta (ANTARA) - Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) menilai penguatan institusi penegak hukum menjadi langkah yang lebih tepat saat ini, dibandingkan rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Untuk waktu sekarang ini belum menemui urgensinya merevisi UU KPK, lebih baik menguatkan lembaga penegak hukum non-ad hoc," kata Koordinator Nasional JIB Abdullah Sumrahadi, di Jakarta, Senin.
Menurutnya, lembaga lainnya juga memiliki wewenang menangani perkara penegakan hukum memberantas korupsi, sehingga penguatan pada institusi tersebut dinilai lebih memberikan kontribusi yang positif.
Baca juga: 1.195 dosen dari 27 universitas di Indonesia tolak revisi UU KPK
"Bisa dianggap juga bahwa sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum non-ad hoc ingin memperbaiki diri dan tampil dengan baik di muka publik," ujarnya.
Namun, kalau revisi UU KPK memang benar-benar tidak bisa ditunda, maka prosesnya harus cermat dan jangan dilakukan dengan terburu-buru.
Ia mengingatkan, beberapa poin yang menjadi perdebatan harus dikaji lebih dalam dan komprehensif.
Menurut Abdullah, jangan sampai setelah pengesahan UU KPK, malah tetap dasar hukum lembaga pemberantasan korupsi itu masih berpolemik.
"Saya pikir masih terbuka ruang dialog, dan para pihak yang terkait di dalamnya sama-sama saling membuka diri. Sebab dasar-dasar dibentuknya KPK untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik," ujarnya lagi.
Beberapa poin dalam draf revisi UU KPK seperti pembentukan Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK untuk memberlakukan SP3 perkara, status kepegawaian KPK, dan sejumlah poin lainnya menimbulkan pro dan kontra di tengah publik.
Baca juga: Presiden Jokowi diminta melawan upaya pelemahan KPK
Baca juga: Ketum PBNU mendukung revisi UU KPK
"Untuk waktu sekarang ini belum menemui urgensinya merevisi UU KPK, lebih baik menguatkan lembaga penegak hukum non-ad hoc," kata Koordinator Nasional JIB Abdullah Sumrahadi, di Jakarta, Senin.
Menurutnya, lembaga lainnya juga memiliki wewenang menangani perkara penegakan hukum memberantas korupsi, sehingga penguatan pada institusi tersebut dinilai lebih memberikan kontribusi yang positif.
Baca juga: 1.195 dosen dari 27 universitas di Indonesia tolak revisi UU KPK
"Bisa dianggap juga bahwa sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum non-ad hoc ingin memperbaiki diri dan tampil dengan baik di muka publik," ujarnya.
Namun, kalau revisi UU KPK memang benar-benar tidak bisa ditunda, maka prosesnya harus cermat dan jangan dilakukan dengan terburu-buru.
Ia mengingatkan, beberapa poin yang menjadi perdebatan harus dikaji lebih dalam dan komprehensif.
Menurut Abdullah, jangan sampai setelah pengesahan UU KPK, malah tetap dasar hukum lembaga pemberantasan korupsi itu masih berpolemik.
"Saya pikir masih terbuka ruang dialog, dan para pihak yang terkait di dalamnya sama-sama saling membuka diri. Sebab dasar-dasar dibentuknya KPK untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik," ujarnya lagi.
Beberapa poin dalam draf revisi UU KPK seperti pembentukan Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK untuk memberlakukan SP3 perkara, status kepegawaian KPK, dan sejumlah poin lainnya menimbulkan pro dan kontra di tengah publik.
Baca juga: Presiden Jokowi diminta melawan upaya pelemahan KPK
Baca juga: Ketum PBNU mendukung revisi UU KPK