Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan mulai tahun 2021 Ujian Nasional akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
"Berdasarkan survei dan diskusi bersama dengan unsur orang tua, siswa, guru, praktisi pendidikan, dan kepala sekolah. Materi UN itu terlalu padat sehingga cenderung mengajarkan materi dan menghafal materi, bukan kompetensi," ujar Nadiem di Jakarta, Rabu.
Kemudian UN juga membuat siswa dan guru stres, dan hal itu mengubah indikator keberhasilan siswa sebagai individu.
Padahal sebenarnya, UN penilaian sistem pendidikan baik itu sekolahnya, geografi hingga sistem pendidikan nasional.
Baca juga: Perbaiki tata kelola guru, Mendikbud akan pangkas macam-macam regulasi
"UN ini hanya menilai satu aspek saja yakni kognitifnya. Bahkan enggak semua aspek kognitif kompetensi dites, dan lebih banyak ke penguasaan materinya dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," terang dia.
Selepas pelaksanaan UN 2020, penyelenggaraan sistem penilaian seperti itu tidak akan diselenggarakan kembali. Mulai 2021, pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Pelaksanaan penilaiannya pun diselenggarakan berbeda dengan UN. Jika UN diselenggarakan pada akhir jenjang sekolah, maka Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan diselenggarakan pada pertengahan jenjang sekolah.
Kompetensi yang diukur benar-benar minimum yakni literasi dan numerasi. Literasi bukan mengukur kemampuan membaca tapi menganalisa suatu bacaan. Sedangkan numerasi yakni kemampuan menganalisa dan menggunakan angka.
Baca juga: Penambahan kuota jalur prestasi dalam penerimaan peserta didik baru
"Jadi yang diukur bukan penguasaan konten, tapi kemampuan kompetensi dasar," kata dia lagi.
Selain itu, dalam penilaian tersebut juga dilakukan survei karakter. Hal itu bertujuan untuk mengetahui ekosistem sekolah. Selama ini, lanjut dia, yang dimiliki hanya data kognitif tanpa mengetahui bagaimana pengamalan Pancasila diterapkan.
"Penilaian ini dilakukan ditengah jenjang, dengan harapan memberikan kesempatan pada guru untuk melakukan perbaikan. Ini sifatnya formatif berguna bagi sekolah dan juga siswa."
Nadiem menegaskan dalam merancang tes tersebut, pihaknya dibantu dengan organisasi dalam dan luar negeri, agar setara dengan penilaian internasional namun penuh dengan kearifan lokal.
Baca juga: Nadiem kembalikan pelaksanaan USBN pada sekolah
Baca juga: Perbaiki tata kelola guru, Mendikbud akan pangkas macam-macam regulasi
"Berdasarkan survei dan diskusi bersama dengan unsur orang tua, siswa, guru, praktisi pendidikan, dan kepala sekolah. Materi UN itu terlalu padat sehingga cenderung mengajarkan materi dan menghafal materi, bukan kompetensi," ujar Nadiem di Jakarta, Rabu.
Kemudian UN juga membuat siswa dan guru stres, dan hal itu mengubah indikator keberhasilan siswa sebagai individu.
Padahal sebenarnya, UN penilaian sistem pendidikan baik itu sekolahnya, geografi hingga sistem pendidikan nasional.
Baca juga: Perbaiki tata kelola guru, Mendikbud akan pangkas macam-macam regulasi
"UN ini hanya menilai satu aspek saja yakni kognitifnya. Bahkan enggak semua aspek kognitif kompetensi dites, dan lebih banyak ke penguasaan materinya dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," terang dia.
Selepas pelaksanaan UN 2020, penyelenggaraan sistem penilaian seperti itu tidak akan diselenggarakan kembali. Mulai 2021, pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Pelaksanaan penilaiannya pun diselenggarakan berbeda dengan UN. Jika UN diselenggarakan pada akhir jenjang sekolah, maka Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan diselenggarakan pada pertengahan jenjang sekolah.
Kompetensi yang diukur benar-benar minimum yakni literasi dan numerasi. Literasi bukan mengukur kemampuan membaca tapi menganalisa suatu bacaan. Sedangkan numerasi yakni kemampuan menganalisa dan menggunakan angka.
Baca juga: Penambahan kuota jalur prestasi dalam penerimaan peserta didik baru
"Jadi yang diukur bukan penguasaan konten, tapi kemampuan kompetensi dasar," kata dia lagi.
Selain itu, dalam penilaian tersebut juga dilakukan survei karakter. Hal itu bertujuan untuk mengetahui ekosistem sekolah. Selama ini, lanjut dia, yang dimiliki hanya data kognitif tanpa mengetahui bagaimana pengamalan Pancasila diterapkan.
"Penilaian ini dilakukan ditengah jenjang, dengan harapan memberikan kesempatan pada guru untuk melakukan perbaikan. Ini sifatnya formatif berguna bagi sekolah dan juga siswa."
Nadiem menegaskan dalam merancang tes tersebut, pihaknya dibantu dengan organisasi dalam dan luar negeri, agar setara dengan penilaian internasional namun penuh dengan kearifan lokal.
Baca juga: Nadiem kembalikan pelaksanaan USBN pada sekolah
Baca juga: Perbaiki tata kelola guru, Mendikbud akan pangkas macam-macam regulasi