Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Uji materi tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
ICW dan Perludem selaku Pemohon menggugat Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang syarat bagi warga negara, termasuk terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukuman.
Selain itu, pasal tersebut juga dapat dimaknai bahwa mantan terpidana korupsi bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.
Oleh karena itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
MK dalam amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut dengan menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya, mantan terpidana kasus baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu 5 tahun usai menjalani pidana penjara.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
MK kemudian memutuskan mengubah bunyi Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada, yakni sebagai berikut:
g. (i) Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik, dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa,
(ii) bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Sikap Pemohon
Dalam kelanjutannya, ICW dan Perludem selaku pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menerima putusan MK.
ICW dan Perludem meminta Komisi Pemilihan Umum segera mengatur poin-poin putusan MK dalam peraturan KPU.
ICW mendesak KPU segera merevisi peraturan KPU tentang pencalonan dalam Pilkada 2020. Revisi tersebut penting dilakukan untuk memberikan kepastian bagi partai maupun kandidat di dalam pencalonan kepala daerah pada tahun 2020.
Dengan dikabulkannya permohonan tersebut oleh MK, ICW menilai KPU tidak perlu lagi melakukan uji publik terhadap UU tersebut.
ICW juga menekankan putusan MK membuka ruang korektif bagi para mantan terpidana untuk mengevaluasi diri sebelum maju dalam pilkada sehingga pesta demokrasi tidak serta-merta langsung diisi oleh kandidat yang memiliki catatan kejahatan.
Sementara itu, Perludem menilai putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah sebagai sikap tegas MK dalam menjaga demokrasi yang konstitusional dan berintegritas.
Perludem berharap dengan adanya Putusan MK, pelaksanan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah dapat menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Perludem juga mengharapkan KPU segera mengatur putusan MK dalam PKPU sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.
Namun, Perludem mengusulkan beberapa usulan, salah satunya meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.
Selain itu, Perludem mendorong KPU memasukan aturan dalam PKPU yang mengatur kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada.
Komisi II DPR RI juga meminta semua pihak menghormati putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah
Komisi II DPR RI memandang putusan MK membuat KPU memiliki dasar hukum untuk merevisi PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Respons KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya telah melakukan penelitian bersama Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) dan parpol tentang kaderisasi dan penegakan etik parpol.
Dari penelitian tersebut, terungkap fakta adanya keluhan dari sejumlah kader parpol yang bersih yang tidak mendapatkan dukungan partai politik lantaran ada kader lain yang didukung parpol karena menyetorkan sejumlah uang.
Meskipun demikian, KPK menghargai putusan MK, seraya meminta pemerintah dan parlemen maupun partai politik menyambut baik putusan tersebut.
KPK juga mendorong KPU segera mengimplementasikan putusan tersebut dalam PKPU
Dari perspektif pemberantasan korupsi, KPK melihat putusan MK tersebut juga dapat mengurangi risiko koruptor kembali menjadi kepala daerah.
KPK menyatakan bahwa salah satu poin yang perlu ditegaskan adalah titik awal dihitungnya waktu 5 tahun adalah setelah pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
KPK menekankan dalam tindak pidana korupsi, selain hukuman pidana penjara, ada juga hukuman denda, uang pengganti, dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
KPK berharap setelah semua putusan pidana tersebut dilaksanakan baru dapat dihitung titik awal 5 tahun tersebut. Sehingga semua hukuman yang dituangkan di putusan sudah dilaksanakan, baik pidana penjara, lunas denda, lunas uang pengganti, dan telah melaksanakan pencabutan hak politik.
Respons KPU
Setelah keluarnya Putusan MK tentang pencalonan dalam pilkada, KPU segera melakukan langkah untuk merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020.
Sebelum putusan MK ditetapkan, KPU sejatinya sudah menerbitkan PKPU yang tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
PKPU itu telah ditetapkan KPU pada tanggal 2 Desember 2019 atau 9 hari sebelum putusan MK diketok.
Dalam PKPU itu, memang tidak ada larangan mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Dalam Pasal 4 PKPU itu, hanya dua mantan narapidana yang dilarang maju, yakni mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Namun, KPU mengimbau partai politik untuk mengutamakan mengusung calon kepala daerah yang bukan mantan terpidana kasus korupsi.
Kini, dengan adanya putusan MK, KPU akan melakukan sejumlah perubahan pada PKPU.
Menurut KPU, putusan MK dapat dimaknai, pada prinsipnya mantan terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih, tidak memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bagi mantan koruptor yang telah menjalani pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam putusan MK itu baru dapat ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah jika sudah melewati masa 5 tahun setelah selesainya menjalani pidana penjara.
KPU menekankan mantan terpidana korupsi yang hendak maju dalam pilkada tetap harus mengumumkan secara jujur dan terbuka tentang statusnya sebagai mantan terpidana korupsi.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri turut mendorong KPU memasukkan putusan MK dalam PKPU.
Uji materi tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
ICW dan Perludem selaku Pemohon menggugat Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang syarat bagi warga negara, termasuk terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukuman.
Selain itu, pasal tersebut juga dapat dimaknai bahwa mantan terpidana korupsi bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.
Oleh karena itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
MK dalam amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut dengan menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya, mantan terpidana kasus baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu 5 tahun usai menjalani pidana penjara.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
MK kemudian memutuskan mengubah bunyi Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada, yakni sebagai berikut:
g. (i) Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik, dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa,
(ii) bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Sikap Pemohon
Dalam kelanjutannya, ICW dan Perludem selaku pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menerima putusan MK.
ICW dan Perludem meminta Komisi Pemilihan Umum segera mengatur poin-poin putusan MK dalam peraturan KPU.
ICW mendesak KPU segera merevisi peraturan KPU tentang pencalonan dalam Pilkada 2020. Revisi tersebut penting dilakukan untuk memberikan kepastian bagi partai maupun kandidat di dalam pencalonan kepala daerah pada tahun 2020.
Dengan dikabulkannya permohonan tersebut oleh MK, ICW menilai KPU tidak perlu lagi melakukan uji publik terhadap UU tersebut.
ICW juga menekankan putusan MK membuka ruang korektif bagi para mantan terpidana untuk mengevaluasi diri sebelum maju dalam pilkada sehingga pesta demokrasi tidak serta-merta langsung diisi oleh kandidat yang memiliki catatan kejahatan.
Sementara itu, Perludem menilai putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah sebagai sikap tegas MK dalam menjaga demokrasi yang konstitusional dan berintegritas.
Perludem berharap dengan adanya Putusan MK, pelaksanan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah dapat menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Perludem juga mengharapkan KPU segera mengatur putusan MK dalam PKPU sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.
Namun, Perludem mengusulkan beberapa usulan, salah satunya meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.
Selain itu, Perludem mendorong KPU memasukan aturan dalam PKPU yang mengatur kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada.
Komisi II DPR RI juga meminta semua pihak menghormati putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait dengan syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah
Komisi II DPR RI memandang putusan MK membuat KPU memiliki dasar hukum untuk merevisi PKPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Respons KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya telah melakukan penelitian bersama Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) dan parpol tentang kaderisasi dan penegakan etik parpol.
Dari penelitian tersebut, terungkap fakta adanya keluhan dari sejumlah kader parpol yang bersih yang tidak mendapatkan dukungan partai politik lantaran ada kader lain yang didukung parpol karena menyetorkan sejumlah uang.
Meskipun demikian, KPK menghargai putusan MK, seraya meminta pemerintah dan parlemen maupun partai politik menyambut baik putusan tersebut.
KPK juga mendorong KPU segera mengimplementasikan putusan tersebut dalam PKPU
Dari perspektif pemberantasan korupsi, KPK melihat putusan MK tersebut juga dapat mengurangi risiko koruptor kembali menjadi kepala daerah.
KPK menyatakan bahwa salah satu poin yang perlu ditegaskan adalah titik awal dihitungnya waktu 5 tahun adalah setelah pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
KPK menekankan dalam tindak pidana korupsi, selain hukuman pidana penjara, ada juga hukuman denda, uang pengganti, dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
KPK berharap setelah semua putusan pidana tersebut dilaksanakan baru dapat dihitung titik awal 5 tahun tersebut. Sehingga semua hukuman yang dituangkan di putusan sudah dilaksanakan, baik pidana penjara, lunas denda, lunas uang pengganti, dan telah melaksanakan pencabutan hak politik.
Respons KPU
Setelah keluarnya Putusan MK tentang pencalonan dalam pilkada, KPU segera melakukan langkah untuk merevisi Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020.
Sebelum putusan MK ditetapkan, KPU sejatinya sudah menerbitkan PKPU yang tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
PKPU itu telah ditetapkan KPU pada tanggal 2 Desember 2019 atau 9 hari sebelum putusan MK diketok.
Dalam PKPU itu, memang tidak ada larangan mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Dalam Pasal 4 PKPU itu, hanya dua mantan narapidana yang dilarang maju, yakni mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
Namun, KPU mengimbau partai politik untuk mengutamakan mengusung calon kepala daerah yang bukan mantan terpidana kasus korupsi.
Kini, dengan adanya putusan MK, KPU akan melakukan sejumlah perubahan pada PKPU.
Menurut KPU, putusan MK dapat dimaknai, pada prinsipnya mantan terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih, tidak memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bagi mantan koruptor yang telah menjalani pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam putusan MK itu baru dapat ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah jika sudah melewati masa 5 tahun setelah selesainya menjalani pidana penjara.
KPU menekankan mantan terpidana korupsi yang hendak maju dalam pilkada tetap harus mengumumkan secara jujur dan terbuka tentang statusnya sebagai mantan terpidana korupsi.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri turut mendorong KPU memasukkan putusan MK dalam PKPU.