Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebutkan, praktik-praktik politik uang masih terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Mahfud menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada acara Workshop Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKSI), di Jakarta Barat, Senin.
Menurut Mahfud, politik uang mulai terjadi sejak jaman Orde Baru, dimana money politic atau politik uang berlangsung di DPRD.
"Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai," ujar Mahfud.
Mahfud menyebut di zaman Orde Baru kekuasaan DPRD dianggap buruk karena diberi kekuasaan untuk memilih kepala daerah.
Dengan kekuasaan itu, sering terjadi praktik money politic untuk memilih kepala daerah.
Mahfud mengatakan, politik uang pernah terjadi di Pilkada Yogyakarta dan Jawa Timur pada zaman Orde Baru. Kala itu, anggota DPRD diberi uang untuk meloloskan kepala daerah.
"Mulai di daerah saya di Yogyakarta. Kepala Daerah mau pemilihan, anggota DPRD-nya 45, sebanyak 23 orang dikarantina, dibayar kamu harus pilih ini. Di Jawa Timur sana di mana terjadi. Jadi kemungkinan ya kepala daerah lalu terjadi jual beli pada waktu itu dan itu menjadi bahasan sehari-hari. Kalau begitu kebablasan DPRD yang zaman orde baru itu. Sekarang diperkuat menjadi legislatif menjadi tulang punggung, sekarang menjadi alat jual beli politik untuk jabatan," katanya.
Menurut dia, hanya dengan bermodalkan Rp5 miliar, seseorang bisa menjabat sebagai kepala daerah. Transaksi jual beli jabatan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan.
"Itulah untuk jabatan gubernur misalnya waktu itu gampang sekali orang bayar Rp5 miliar satu suara asal memilih gubernur ini. Transaksinya di lobi hotel yang dikontrol oleh ketua fraksi partai," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Mahfud, pemerintah pun mengganti sistem pemilihan kepala daerah yang ada. Melalui UU No 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.
"Itu terjadi tahun 2004. Karena kemarahan politik kita terhadap DPRD di berbagai daerah. Sehingga di era-era itu banyak anggota DPRD masuk penjara. Kita ubah UU sekarang jadikan kepala daerah DPRD sebagian di tekan gajinya diperkecil ini nya tidak boleh lagi minta laporan pertanggungjawaban. Tapi apakah keadaan lebih baik? tidak," jelasnya.
Namun, praktik tersebut kini telah berpindah dari DPRD ke partai politik.
"Ndak bayar ke DPRD, bayar ke partai, mahar namanya. Ini terus terang saja, begitu. Apa betul? Ya betul, ya betul lah. Wong sudah dimuat di koran begitu. Orang kan bilang itu tidak ada, tetapi yang kalah itu melapor, yang menang tidak, yang kalah melapor," jelas Mahfud.
Ia pun meminta di tengah praktik money politic itu para legislator di daerah agar bersabar dan mencari solusi pencegahan.
"Ketika (DPRD) diberi kekuasaan menjadi kebablasan, tidak diturunkan lagi, buruk lagi. Mari kita sekarang mencari keseimbangan baru. Politik itu begitu, mencari keseimbangan baru," demikian Mahfud MD.
Mahfud menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada acara Workshop Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKSI), di Jakarta Barat, Senin.
Menurut Mahfud, politik uang mulai terjadi sejak jaman Orde Baru, dimana money politic atau politik uang berlangsung di DPRD.
"Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai," ujar Mahfud.
Mahfud menyebut di zaman Orde Baru kekuasaan DPRD dianggap buruk karena diberi kekuasaan untuk memilih kepala daerah.
Dengan kekuasaan itu, sering terjadi praktik money politic untuk memilih kepala daerah.
Mahfud mengatakan, politik uang pernah terjadi di Pilkada Yogyakarta dan Jawa Timur pada zaman Orde Baru. Kala itu, anggota DPRD diberi uang untuk meloloskan kepala daerah.
"Mulai di daerah saya di Yogyakarta. Kepala Daerah mau pemilihan, anggota DPRD-nya 45, sebanyak 23 orang dikarantina, dibayar kamu harus pilih ini. Di Jawa Timur sana di mana terjadi. Jadi kemungkinan ya kepala daerah lalu terjadi jual beli pada waktu itu dan itu menjadi bahasan sehari-hari. Kalau begitu kebablasan DPRD yang zaman orde baru itu. Sekarang diperkuat menjadi legislatif menjadi tulang punggung, sekarang menjadi alat jual beli politik untuk jabatan," katanya.
Menurut dia, hanya dengan bermodalkan Rp5 miliar, seseorang bisa menjabat sebagai kepala daerah. Transaksi jual beli jabatan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan.
"Itulah untuk jabatan gubernur misalnya waktu itu gampang sekali orang bayar Rp5 miliar satu suara asal memilih gubernur ini. Transaksinya di lobi hotel yang dikontrol oleh ketua fraksi partai," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Mahfud, pemerintah pun mengganti sistem pemilihan kepala daerah yang ada. Melalui UU No 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.
"Itu terjadi tahun 2004. Karena kemarahan politik kita terhadap DPRD di berbagai daerah. Sehingga di era-era itu banyak anggota DPRD masuk penjara. Kita ubah UU sekarang jadikan kepala daerah DPRD sebagian di tekan gajinya diperkecil ini nya tidak boleh lagi minta laporan pertanggungjawaban. Tapi apakah keadaan lebih baik? tidak," jelasnya.
Namun, praktik tersebut kini telah berpindah dari DPRD ke partai politik.
"Ndak bayar ke DPRD, bayar ke partai, mahar namanya. Ini terus terang saja, begitu. Apa betul? Ya betul, ya betul lah. Wong sudah dimuat di koran begitu. Orang kan bilang itu tidak ada, tetapi yang kalah itu melapor, yang menang tidak, yang kalah melapor," jelas Mahfud.
Ia pun meminta di tengah praktik money politic itu para legislator di daerah agar bersabar dan mencari solusi pencegahan.
"Ketika (DPRD) diberi kekuasaan menjadi kebablasan, tidak diturunkan lagi, buruk lagi. Mari kita sekarang mencari keseimbangan baru. Politik itu begitu, mencari keseimbangan baru," demikian Mahfud MD.