Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis paru yang menangani kasus COVID-19, Sylvia Sagita Siahaan mengatakan, setidaknya ada dua vitamin yang direkomendasikan untuk pasien COVID-19 tanpa gejala dan bergejala ringan yakni C dan D.
"C, D. Sifatnya suportif saja," kata dia dalam sesi bincang daring, Kamis (21/1) malam.
Vitamin C seperti dikutip dari Medical News Today, merupakan antioksidan yang dapat melawan kerusakan oksidatif akibat proses melawan penyakit. Vitamin ini juga membantu fungsi kekebalan tubuh yang sehat dengan mendukung perkembangan sel darah putih.
Baca juga: Penumpang Citilink dibekali vitamin dan hand sanitizer
Dalam perannya sebagai antioksidan, vitamin C dapat membantu melawan peradangan, yang dapat merusak paru-paru dan organ lainnya.
Sylvia merekomendasikan 500 mg per enam jam oral tablet vitamin C non acidic untuk 14 hari atau tablet isap vitamin C 500 gram per 12 jam oral selama 30 hari atau multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet per 24 jam selama 30 hari.
Sementara untuk vitamin D, pasien bisa diberikan suplemen vitamin D 400-1000 IU per hari. Suplemen ini bisa dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk ataupun sirup.
Pasien juga bisa mengonsumsi obat vitamin D 1000-5000 IU per hari yang bentuknya bisa tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU.
Baca juga: Berapa jumlah asupan vitamin C yang dibutuhkan tubuh?
Peneliti dari University of Cantabria di Santander, Spanyol, José L. Hernández seperti dikutip dari Healthline mengatakan, pengobatan menggunakan vitamin D harus direkomendasikan pada pasien COVID-19 dengan kadar vitamin D rendah karena mungkin memiliki efek menguntungkan baik pada muskuloskeletal maunpun sistem kekebalannya.
"Kalau (gejala) berat kita tambahkan vitamin lain seperti vitamin B, E dan sebagainya. Intinya sebagai terapi supportif saja bukan utama. Sejauh ini kita belum benar-benar temukan obatnya," demikian kata Sylvia.
Sementara itu, pada pasien dengan gejala ringan, bisa juga mendapatkan antivirus yakni oseltamivir atau avigan yang bentuknya oral.
"Untuk antivirus yang lain seperti aluvia tidak direkomendasikan lagi. Kalau remdesivir itu berarti dia harus dirawat di rumah sakit, sudah masuk gejala sedang. Dari penelitian, remdesivir atau sedikit manfaatnya pada pasien yang membutuhkan tambahan oksigenasi," demikian tutur Sylvia.
Baca juga: Jenis-jenis vitamin B untuk atasi masalah kulit
Baca juga: Masa pancaroba plus pandemi COVID-19 direkomendasikan minum vitamin C dan D
Baca juga: Dua vitamin yang dibutuhkan tubuh untuk jaga sistem imun
"C, D. Sifatnya suportif saja," kata dia dalam sesi bincang daring, Kamis (21/1) malam.
Vitamin C seperti dikutip dari Medical News Today, merupakan antioksidan yang dapat melawan kerusakan oksidatif akibat proses melawan penyakit. Vitamin ini juga membantu fungsi kekebalan tubuh yang sehat dengan mendukung perkembangan sel darah putih.
Baca juga: Penumpang Citilink dibekali vitamin dan hand sanitizer
Dalam perannya sebagai antioksidan, vitamin C dapat membantu melawan peradangan, yang dapat merusak paru-paru dan organ lainnya.
Sylvia merekomendasikan 500 mg per enam jam oral tablet vitamin C non acidic untuk 14 hari atau tablet isap vitamin C 500 gram per 12 jam oral selama 30 hari atau multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet per 24 jam selama 30 hari.
Sementara untuk vitamin D, pasien bisa diberikan suplemen vitamin D 400-1000 IU per hari. Suplemen ini bisa dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk ataupun sirup.
Pasien juga bisa mengonsumsi obat vitamin D 1000-5000 IU per hari yang bentuknya bisa tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU.
Baca juga: Berapa jumlah asupan vitamin C yang dibutuhkan tubuh?
Peneliti dari University of Cantabria di Santander, Spanyol, José L. Hernández seperti dikutip dari Healthline mengatakan, pengobatan menggunakan vitamin D harus direkomendasikan pada pasien COVID-19 dengan kadar vitamin D rendah karena mungkin memiliki efek menguntungkan baik pada muskuloskeletal maunpun sistem kekebalannya.
"Kalau (gejala) berat kita tambahkan vitamin lain seperti vitamin B, E dan sebagainya. Intinya sebagai terapi supportif saja bukan utama. Sejauh ini kita belum benar-benar temukan obatnya," demikian kata Sylvia.
Sementara itu, pada pasien dengan gejala ringan, bisa juga mendapatkan antivirus yakni oseltamivir atau avigan yang bentuknya oral.
"Untuk antivirus yang lain seperti aluvia tidak direkomendasikan lagi. Kalau remdesivir itu berarti dia harus dirawat di rumah sakit, sudah masuk gejala sedang. Dari penelitian, remdesivir atau sedikit manfaatnya pada pasien yang membutuhkan tambahan oksigenasi," demikian tutur Sylvia.
Baca juga: Jenis-jenis vitamin B untuk atasi masalah kulit
Baca juga: Masa pancaroba plus pandemi COVID-19 direkomendasikan minum vitamin C dan D
Baca juga: Dua vitamin yang dibutuhkan tubuh untuk jaga sistem imun