Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Saan Mustopa mengatakan hampir seluruh fraksi sepakat bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dinormalisasi dan diadakan pada tahun 2022 dan 2023.
Kecuali PDI Perjuangan yang memberikan catatan ingin pilkada serentak digelar 2024, dan Partai Gerindra yang belum menyampaikan sikap.
"Sama sekali Partai Gerindra itu ketika menyusun draf itu (RUU Pemilu) tidak memberikan sikap apapun terkait draf ini, dia akan menunggu di pembahasan. Tapi, di luar itu, PDI Perjuangan saja yang memberi catatan yang lain-lain ingin-nya normal. Normal, dinormalisasikan," kata Saan, di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, DPR sedang menjadwalkan ulang penyelenggaraan pilkada sehingga akan kembali dinormalkan sesuai masa periode lima tahun.
Seperti diketahui, dalam Undang Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024.
"Kalau soal itu dalam revisi UU pemilu kita menggabungkan UU Nomor 10 (tahun 2016) tentang Pilkada dan UU nomor 7 (tahun 2017) tentang Pemilu. Itu disatukan menjadi UU Pemilu," ujar politikus Partai NasDem itu.
Jadi, kata dia, daerah yang dalam UU diatur menggelar pilkada pada 2024 dinormalkan menjadi pada 2022 karena telah melaksanakan pilkada pada 2017, demikian pula daerah yang pilkadanya 2018 akan melaksanakan pilkada lagi pada 2023.
"Kalaupun ada keinginan disatukan itu di 2027, tapi itu belum final disatukan itu," katanya.
Namun, dikatakan Saan, hampir seluruh fraksi di DPR menginginkan agar pelaksanaan pilkada tetap berjalan lima tahun sekali sesuai masa periode kepala daerah.
Ada sejumlah alasan DPR ingin menormalkan kembali jadwal pilkada, antara lain melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilu dan Pileg 2019 yang mengakibatkan banyak korban dari kalangan penyelenggara pemilu.
"Itu salah satu, beban (bagi penyelenggara), tapi paling penting nanti kualitas elektoral berkurang. Kenapa? Karena orang sudah gak fokus lagi. Kemarin saja, kualitas elektoral untuk legislatif berkurang karena orang fokus terhadap pilpres sehingga ketika sudah pilpres coblos suara Presiden pulang saja. Jadi, legislatif-nya jadi gak terlalu dipedulikan," ujarnya.
Selain itu, Saan mengatakan alasan keamanan juga menjadi pertimbangan jadwal pilkada dinormalkan kembali menjadi siklus lima tahunan.
Kecuali PDI Perjuangan yang memberikan catatan ingin pilkada serentak digelar 2024, dan Partai Gerindra yang belum menyampaikan sikap.
"Sama sekali Partai Gerindra itu ketika menyusun draf itu (RUU Pemilu) tidak memberikan sikap apapun terkait draf ini, dia akan menunggu di pembahasan. Tapi, di luar itu, PDI Perjuangan saja yang memberi catatan yang lain-lain ingin-nya normal. Normal, dinormalisasikan," kata Saan, di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, DPR sedang menjadwalkan ulang penyelenggaraan pilkada sehingga akan kembali dinormalkan sesuai masa periode lima tahun.
Seperti diketahui, dalam Undang Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024.
"Kalau soal itu dalam revisi UU pemilu kita menggabungkan UU Nomor 10 (tahun 2016) tentang Pilkada dan UU nomor 7 (tahun 2017) tentang Pemilu. Itu disatukan menjadi UU Pemilu," ujar politikus Partai NasDem itu.
Jadi, kata dia, daerah yang dalam UU diatur menggelar pilkada pada 2024 dinormalkan menjadi pada 2022 karena telah melaksanakan pilkada pada 2017, demikian pula daerah yang pilkadanya 2018 akan melaksanakan pilkada lagi pada 2023.
"Kalaupun ada keinginan disatukan itu di 2027, tapi itu belum final disatukan itu," katanya.
Namun, dikatakan Saan, hampir seluruh fraksi di DPR menginginkan agar pelaksanaan pilkada tetap berjalan lima tahun sekali sesuai masa periode kepala daerah.
Ada sejumlah alasan DPR ingin menormalkan kembali jadwal pilkada, antara lain melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilu dan Pileg 2019 yang mengakibatkan banyak korban dari kalangan penyelenggara pemilu.
"Itu salah satu, beban (bagi penyelenggara), tapi paling penting nanti kualitas elektoral berkurang. Kenapa? Karena orang sudah gak fokus lagi. Kemarin saja, kualitas elektoral untuk legislatif berkurang karena orang fokus terhadap pilpres sehingga ketika sudah pilpres coblos suara Presiden pulang saja. Jadi, legislatif-nya jadi gak terlalu dipedulikan," ujarnya.
Selain itu, Saan mengatakan alasan keamanan juga menjadi pertimbangan jadwal pilkada dinormalkan kembali menjadi siklus lima tahunan.