Yogyakarta (ANTARA) - Di tengah masa pandemi COVID-19, Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2020.

IPK Indonesia turun tiga poin dari 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020 dalam skala 0—100. Skor 0 berarti sangat korup dan skor 100 berarti sangat bersih.

Penurunan IPK ini membuat posisi Indonesia merosot dari 85 ke peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei.

Korupsi tentu menjadi kata yang tidak asing dan barangkali terdengar membosankan di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Cukup dari rumah, setiap informasi mengenai kasus korupsi dapat disimak melalui televisi, radio, maupun gawai.

Kendati demikian, apakah kasus korupsi yang seolah tak ada habisnya sejak era kolonial, Orde Lama, Orde baru, bahkan sampai saat ini hanya menjadi urusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para pembuat kebijakan di level eksekutif, yudikatif, dan legislatif?

Penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) yang diumumkan TTI itu cukup menjadi peringatan bagi semua pihak untuk berbenah dilandasi komitmen yang kuat untuk memperbaiki masa depan bangsanya.

Gerakan pemberantasan korupsi perlu terus digaungkan dan diinternalisasikan. Bukan hanya di level eksekutif, yudikatif, serta legislatif, melainkan juga sampai di level keluarga.

Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga tidak sekadar mendapat porsi menyimak setiap seri kasus korupsi. Keluarga memiliki peran sebagai garda utama gerakan antikorupsi.

Justru dari lembaga terkecil inilah karakter insan Indonesia kelak ditentukan. Mau dibentuk menjadi generasi yang berintegritas dan antikorupsi, atau sebaliknya.


Generasi Antikorupsi

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rahman menyebut keluarga memiliki andil untuk mencetak generasi yang berintegritas yang tidak toleran terhadap perilaku korupsi.

Untuk melahirkan generasi antikorupsi, menurut Zaen, keteladanan sosok orang tua dalam keluarga adalah kunci. Pendidikan dengan cara itu langsung tertanam dalam sanubari anak ketimbang sekadar imbauan atau berupa nasihat-nasihat.

Standar integritas dalam keluarga harus ditentukan, dimulai dari orang tua. Misalnya, menekankan untuk selalu berkata benar, tidak berbohong, berkata secara jujur, dan terbuka.

Kebiasaan berbohong untuk mengalihkan perhatian anak merupakan salah satu contoh perilaku fatal yang terkadang banyak dimaklumi. Kendati memiliki tujuan yang baik, tindakan ini bisa disalahpahami oleh anak sebagai sikap tidak konsisten yang melegalkan berbohong.

Ada tiga nilai utama, yang bagi Zaen, amat penting ditanamkan sejak dini pada anak agar menjadi pribadi berintegritas dan antikorupsi, yakni jujur, bekerja keras, dan bertanggung jawab.

Jujur merupakan pondasi utama dalam diri seseorang, sedangkan kerja keras akan memunculkan daya juang serta menghindarkan seseorang meraih hasil secara instan. Pasalnya, koruptor selalu ingin hasil instan tanpa mau bekerja keras.

Adapun tanggung jawab perlu ditanamkan karena koruptor biasanya abai dengan amanah yang diberikan tanpa segan menyerobot hak orang lain.

Setelah keluarga, institusi agama merupakan pihak berikutnya yang memiliki tanggung jawab membentuk masyarakat antikorupsi. Melalui dalil-dalil yang benderang, tokoh agama mampu memberikan patokan bagi umatnya untuk tidak terlena terjebak dalam perilaku koruptif.

Meski demikian, apabila tokoh agama justru gagal memperlihatkan keteladanan sikap tegas menolak berbagai gratifikasi, politik uang, atau lainnya, pencegahan korupsi di Tanah Air mengalami kendala.

Selanjutnya, institusi pendidikan, baik formal maupun informal, merupakan lembaga ketiga yang memiliki peran membangun generasi antikorupsi.

Seperti yang diterapkan di Jepang, menurut Zaenur, pendidikan anak usia dini hanya berfokus melatih sikap luhur seperti bertanggung jawab, bersedia meminta maaf, dan mau menanggung risikonya jika melakukan kesalahan kepada orang lain.

Oleh sebab itu, amat disayangkan apabila kini justru pendidikan anak usia dini berfokus pada aspek kognitif, seperti kemampuan menghitung serta membaca yang sejatinya belum waktunya.


Kontrol Publik

Setelah membentuk generasi antikorupsi, gerakan pemberantasan korupsi dapat dimulai dengan membentuk kesadaran publik akan hak-haknya yang dilanggar para koruptor. Misalnya, mengenai pajak, anggaran kesehatan, serta pendidikan yang dikorupsi.

Setelah tumbuh kesadaran itu, diharapkan muncul usaha masyarakat untuk memperjuangkan haknya dengan cara mengawasi penggunaan anggaran serta bagaimana kekuasaan dijalankan.

Bukan hanya aparat, masyarakat juga memiliki peluang mengontrol tindak pidana korupsi (tipikor) dengan cara mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tipikor. Mereka juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tipikor.

Apalagi, publik dapat memantau pemanfaatan anggaran melalui sarana digital. Sebagai bentuk transparansi, pemerintah telah menyediakan e-budgeting yang bertujuan untuk mengontrol dan mengawasi kemungkinan penyelewengan anggaran.

Hak publik untuk mengontrol telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditambah dan diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Dengan pengawasan publik yang kuat, ruang korupsi makin sempit. Koruptor akan berpikir berulang kali sebelum melanjutkan rencananya.

Agar memiliki kemampuan kontrol yang kuat, masyarakat tentu harus berkomitmen dan berusaha untuk tidak menjadi bagian dari korupsi. Sebagai contoh, tidak memberikan suap kepada penyelenggara negara, atau kepada aparat saat berurusan dengan masalah lalu lintas dalam bentuk apa pun.

Hal itu termasuk berani dan mau secara tegas menolak politik uang. Masalahnya, politik uang inilah yang selanjutnya membuat biaya politik tinggi dan biaya politik yang tinggi, pada gilirannya akan kembali memunculkan korupsi.


Didukung Sistem

Rimawan Pradiptyo, salah satu dosen UGM yang aktif dalam gerakan antikorupsi tidak percaya moral dapat berjalan sendirian memutus lingkaran setan korupsi tanpa didukung dengan perbaikan sistem.

Menurut dia, memberantas korupsi di Tanah Air tidak mudah karena banyak sistem yang masih membuka celah bagi tindak pidana korupsi. Misalnya, sistem pelayanan publik yang rumit sehingga muncul penyuapan, termasuk dalam pengadaan barang dan jasa, serta perizinan.

Merespons kemungkinan itu, instansi pelayanan publik kini mulai beradaptasi menuju layanan daring (online) secara total mulai dari layanan administrasi sampai perizinan.

Pemerintah telah berinisiatif mencanangkan digitalisasi dalam berbagai pelayanan publik seperti e-tilang, e-smart, e-samsat, e-budgeting, dan e-planning.

Tidak hanya itu, menurut Rimawan, sejumlah perundang-undangan sebagai tiang pancang sistem di negeri ini juga perlu diperbaiki. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), misalnya, perlu direvisi karena sudah ketinggalan zaman.

Sebagai salah satu negara yang menandatangani Konvensi PBB tentang Antikorupsi (UNCAC), Indonesia perlu segera merativikasi isi konvensi itu dalam UU Tipikor.

Regulasi juga harus makin memperkuat, bukan memperlemah ruang gerak lembaga antirasuah.

Peneliti PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar bahkan telah memastikan bahwa kasus korupsi ke depan akan terus muncul tanpa keseriusan semua pihak, khususnya penyelenggara negara, mulai dari presiden, menteri, hingga DPR, untuk bersama memperbaiki sistem.

Dengan demikian, untuk mewujudkan pencegahan korupsi yang efektif, pembangunan moral bangsa yang antikorupsi harus berkesinambungan dan beriringan dengan sistem yang responsif terhadap pemberantasan korupsi.

Jika ingin cerita tentang korupsi di negeri tercinta ini berakhir, gerakan pemberantasan korupsi harus menjadi kesadaran bersama, mulai dari penyelenggara negara sampai komponen masyarakat di level terkecil.

Perlu menjadi kesadaran bersama sebab seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali telah terikat kontrak sosial yang seluruhnya tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni mencerdaskan bangsa, menciptakan perdamaian, mewujudkan keadilan, dan kemakmuran rakyat.

Gerakan itu juga harus dilakukan secara optimistis, bukan pesimistis. Kalau ada yang bilang Indonesia ini korupsinya sudah tinggi, so what? Terus mau apa? Diam tentu bukan opsi. Yang harus dilakukan adalah berkontribusi untuk negeri ini apa pun risikonya.

Pewarta : Luqman Hakim
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024