Jakarta (ANTARA) - President of Indonesian Society of Hypertension (InaSH), dokter spesialis penyakit dalam Tunggul D. Situmorang, mengatakan pasien hipertensi yang terinfeksi COVID-19 tidak perlu khawatir untuk terus melanjutkan konsumsi obat-obatan yang bertujuan mengelola penyakit darah tinggi.
“Penggunaan obat-obatan anti hipertensi pada masa COVID-19 oleh asosiasi profesi terkait hipertensi di seluruh dunia menekankan bahwa pada pasien-pasien hipertensi yang terkena COVID-19, maka obat anti hipertensi yang digunakan sebelumnya harus dilanjutkan," jelas Tunggul dalam webinar “Waspadai hipertensi sebagai komorbid tertinggi COVID-19”, Jumat.
Dia menegaskan, hingga saat ini data yang ditemukan menghasilkan kesimpulan bahwa pemberian obat anti hipertensi pada pasien yang terkena COVID-19 memang harus dilanjutkan, bukan dihentikan. Penyakit hipertensi memperburuk perjalanan COVID-19 sehingga pasien perlu waspada dalam menghadapinya.
Baca juga: Apa yang terjadi pada jantung ketika kena hipertensi?
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34,1 persen penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari populasi hipertensi tersebut, hanya sebesar 8,8 persen terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4 persen dari yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat.
Ia menjelaskan, “Data terkini menyebutkan bahwa hipertensi merupakan komorbid tertingi COVID-19, di dunia termasuk di Indonesia, dengan perbandingan di AS sebanyak 56,6 persen, China 58,3 persen, Italia 49 persen serta Indonesia 50,5 persen.”
Hipertensi adalah penyebab kematian nomor tiga di Indonesia, padahal penyakit yang prevalensi meningkat seiring pertambahan usia ini bisa dicegah asal masyarakat waspada sejak dini. Apalagi, banyak pengidap hipertensi yang tidak mengalami gejala apa pun, alasan mengapa darah tinggi dijuluki "pembunuh senyap".
Sebaiknya masyarakat untuk mulai mengukur tekanan darah setelah beranjak dewasa, yakni usia 18 tahun, untuk mendeteksi dini apakah individu memiliki hipertensi.
Di tengah keterbatasan ruang gerak saat pandemi, Tunggul mengajak masyarakat untuk memanfaatkan teknologi layanan kesehatan secara daring dalam berkonsultasi secara rutin dengan dokter. Selain itu, penting untuk rutin mengukur sendiri tekanan darah di rumah secara mandiri.
Baca juga: Konsumsi makanan ini untuk kurangi risiko hipertensi
Baca juga: Pengidap hipertensi disarankan rajin pantau tekanan darah saat pandemi
Baca juga: Kemenkes: Sebanyak 13,3 persen pasien COVID-19 dengan hipertensi meninggal
“Penggunaan obat-obatan anti hipertensi pada masa COVID-19 oleh asosiasi profesi terkait hipertensi di seluruh dunia menekankan bahwa pada pasien-pasien hipertensi yang terkena COVID-19, maka obat anti hipertensi yang digunakan sebelumnya harus dilanjutkan," jelas Tunggul dalam webinar “Waspadai hipertensi sebagai komorbid tertinggi COVID-19”, Jumat.
Dia menegaskan, hingga saat ini data yang ditemukan menghasilkan kesimpulan bahwa pemberian obat anti hipertensi pada pasien yang terkena COVID-19 memang harus dilanjutkan, bukan dihentikan. Penyakit hipertensi memperburuk perjalanan COVID-19 sehingga pasien perlu waspada dalam menghadapinya.
Baca juga: Apa yang terjadi pada jantung ketika kena hipertensi?
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34,1 persen penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari populasi hipertensi tersebut, hanya sebesar 8,8 persen terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4 persen dari yang terdiagnosis hipertensi rutin minum obat.
Ia menjelaskan, “Data terkini menyebutkan bahwa hipertensi merupakan komorbid tertingi COVID-19, di dunia termasuk di Indonesia, dengan perbandingan di AS sebanyak 56,6 persen, China 58,3 persen, Italia 49 persen serta Indonesia 50,5 persen.”
Hipertensi adalah penyebab kematian nomor tiga di Indonesia, padahal penyakit yang prevalensi meningkat seiring pertambahan usia ini bisa dicegah asal masyarakat waspada sejak dini. Apalagi, banyak pengidap hipertensi yang tidak mengalami gejala apa pun, alasan mengapa darah tinggi dijuluki "pembunuh senyap".
Sebaiknya masyarakat untuk mulai mengukur tekanan darah setelah beranjak dewasa, yakni usia 18 tahun, untuk mendeteksi dini apakah individu memiliki hipertensi.
Di tengah keterbatasan ruang gerak saat pandemi, Tunggul mengajak masyarakat untuk memanfaatkan teknologi layanan kesehatan secara daring dalam berkonsultasi secara rutin dengan dokter. Selain itu, penting untuk rutin mengukur sendiri tekanan darah di rumah secara mandiri.
Baca juga: Konsumsi makanan ini untuk kurangi risiko hipertensi
Baca juga: Pengidap hipertensi disarankan rajin pantau tekanan darah saat pandemi
Baca juga: Kemenkes: Sebanyak 13,3 persen pasien COVID-19 dengan hipertensi meninggal