Jakarta (ANTARA) - Sebuah penelitian menyebutkan bahwa wanita memiliki respons yang lebih kuat terhadap efek vaksin COVID-19 dibandingkan dengan para pria.

Dilansir Healthline, Minggu, laporanTrusted Source yang dirilis oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menemukan bahwa dari 13,8 juta dosis vaksin COVID-19 pertama yang diberikan kepada orang Amerika efek sampingnya lebih tinggi dirasakan oleh wanita.

Faktanya, 79 persen dari efek samping yang dilaporkan berasal dari wanita, meskipun hanya 61 persen dari vaksin yang diberikan kepada wanita.

Mereka menunjukkan bahwa respons yang lebih kuat dari wanita terhadap vaksinasi lain telah terlihat selama bertahun-tahun.

Alasannya?

Para ahli menduga bahwa pada wanita, terutama wanita pramenopause, kadar estrogen membantu mengaktifkan respon kekebalan terhadap penyakit dan terhadap vaksin.

Baca juga: Masyarakat jangan sampai termakan hoaks soal vaksinasi

Sebaliknya, pria memiliki lebih banyak testosteron, hormon yang agak meredam atau memperlambat respon yang sama.

Sederhananya, wanita pada umumnya memiliki respons yang lebih kuat terhadap vaksin karena tubuh mereka lebih cepat dan lebih kuat dalam hal mengaktifkan apa yang diperkenalkan oleh vaksin ke dalam tubuh.

"Penyakit menular pada umumnya selalu tentang respon kekebalan dan bukan bug-nya," kata Dr. Larry Schlesinger, presiden dan kepala eksekutif Texas Biomedical Research Institute di San Antonio.

"Pada wanita, ada respons yang bersemangat dan lebih kuat (terhadap banyak vaksin)," lanjutnya.

Schlesinger mengatakan di masa lalu respons yang lebih kuat pada wanita telah terlihat dan dipelajari dalam vaksin untuk demam kuning, DPT, influenza, dan penyakit lainnya.

Baca juga: Pentingnya percepat vaksinasi sebelum virus bermutasi

Schlesinger mengatakan estrogen mendorong tubuh untuk memproduksi lebih banyak sel T, sel reaktor yang melindungi kita, saat vaksin diperkenalkan.

"Kami melihat respons yang lebih cepat dan lebih kuat yang dialami banyak wanita," kata Schlesinger.

Berurusan dengan reaksi

Para ahli mengatakan tantangan saat ini adalah untuk membagikan informasi tersebut tanpa menimbulkan kekhawatiran atau alasan untuk menghindari vaksin COVID-19.

Dr. William Schaffner, pakar penyakit menular dan profesor di divisi penyakit menular Vanderbilt University School of Medicine di Tennessee mengatakan fenomena ini telah dipelajari selama bertahun-tahun dan mendesak para wanita untuk memahami bahwa respons yang lebih kuat dan gejala sementara bukanlah alasan untuk menolak vaksin.

Baca juga: Makanan yang harus dibatasi sebelum divaksin COVID-19

"COVID-19 buruk dan akan menempatkan wanita di ICU seperti halnya pria. Efek samping vaksin bersifat sementara dan sebagian besar hilang dalam 24 jam," kata Schaffner.

Schlesinger mengatakan bahwa bagi banyak wanita vaksin adalah pedang bermata dua. Di satu sisi Anda memiliki bukti bahwa wanita mendapatkan respons antibodi yang kuat terhadapnya dan sisi lain adalah berpotensi mengalami efek samping sehari atau lebih.

Julianne Gee, MPH, penulis utama penelitian ini dan petugas medis di Kantor Keamanan Imunisasi CDC, mengatakan bahwa penelitian tersebut yang merupakan bagian dari pelacakan berkelanjutan CDC terhadap vaksin dan dampaknya, tidak boleh mempengaruhi siapa pun untuk tak melakukan suntikan.

"Penyakit COVID-19 dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian, dan vaksinasi merupakan alat pencegahan yang penting untuk mencegah penyakit dan komplikasi. Vaksin COVID-19 akan membantu masyarakat kembali normal," kata Gee.

Baca juga: Bahayakah jika tidak mendapat suntikan kedua setelah divaksin?

Baca juga: Amankah vaksin COVID-19 untuk ibu hamil dan menyusui?

Baca juga: Lansia perlu rentang 28 hari untuk vaksinasi COVID-19 kedua

Pewarta : Maria Cicilia
Uploader : Admin Kalteng
Copyright © ANTARA 2024