Jakarta (ANTARA) - Ide mengenai paspor vaksin memicu perdebatan sengit dalam beberapa pekan terakhir salah satunya karena dinilai membuka pintu untuk diskriminasi dan menyebabkan pelanggaran privasi. Di sisi lain, ada juga yang mendukung ini karena dapat membantu dunia kembali normal lebih cepat.
Di tengah perdebatan, beberapa komunitas medis mengungkapkan, mewajibkan bukti vaksinasi untuk perjalanan bukanlah konsep baru. Kewajiban para pelancong memiliki sertifikat vaksinasi demam kuning untuk bepergian ke negara-negara tertentu di Afrika dan Amerika Selatan sudah ada sebelumnya.
Demam kuning adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui nyamuk di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Amerika Selatan. Gejalanya antara lain demam dan nyeri tubuh hingga penyakit hati yang parah dengan pendarahan.
Demam kuning adalah satu-satunya penyakit yang membuat negara mewajibkan vaksinasi dalam bentuk kartu kuning yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Apabila suatu negara sedang mengalami wabah penyakit, WHO dapat merekomendasikan pemerintah negara itu meminta pelancong untuk memberikan bukti vaksinasi.
Saat ini, WHO merekomendasikan Pakistan dan Afghanistan meminta pengunjung dewasa yang belum divaksinasi polio sejak masa kanak-kanak untuk menerima satu dosis vaksin dewasa.
Lalu, bagaimana dengan bukti vaksin COVID-19? Pada Februari, Israel menjadi negara pertama yang meluncurkan program paspor vaksin digital, "green pass" yang memungkinkan penduduk yang divaksinasi penuh bepergian dengan lebih bebas ke seluruh negeri.
Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat tidak akan memperkenalkan paspor vaksin. Tapi ini tak berarti pelaku bisnis termasuk restoran, pusat kebugaran, stadion olahraga dan tempat umum lain tidak memerlukan dokumentasi untuk membuktikan seseorang telah divaksinasi terhadap COVID- 19. Sertifikat vaksin juga mungkin diperlukan untuk perjalanan internasional.
WHO sejauh ini tidak mendukung bukti wajib vaksinasi COVID-19 untuk perjalanan internasional. Dalam jumpa pers PBB pada 6 April lalu, juru bicara WHO Margaret Harris mengaku khawatir tentang diskriminasi vaksin.
"Kami pada tahap ini kami tidak ingin melihat paspor vaksinasi sebagai persyaratan untuk masuk atau keluar (suatu wilayah) karena kami tidak yakin pada tahap ini vaksin dapat mencegah penularan (virus)," kata dia seperti dikutip dari Insider, Sabtu.
Dia mengatakan, selain tentang diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak dapat mendapatkan vaksin karena satu dan lain alasan, tampaknya juga ada argumen bahwa negara-negara kaya mungkin memiliki lebih banyak akses ke vaksinasi daripada negara yang lain.
"Beberapa orang mengatakan vaksin atau paspor kesehatan dapat menyebabkan diskriminasi perjalanan, terutama di antara orang atau negara berpenghasilan rendah," tutur Harris.
Namun, WHO sedang mengerjakan "Sertifikat Vaksinasi Cerdas" sebagai standar bagaimana vaksinasi COVID-19 dikenali dan divalidasi di seluruh dunia.
Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Di tengah perdebatan, beberapa komunitas medis mengungkapkan, mewajibkan bukti vaksinasi untuk perjalanan bukanlah konsep baru. Kewajiban para pelancong memiliki sertifikat vaksinasi demam kuning untuk bepergian ke negara-negara tertentu di Afrika dan Amerika Selatan sudah ada sebelumnya.
Demam kuning adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui nyamuk di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Amerika Selatan. Gejalanya antara lain demam dan nyeri tubuh hingga penyakit hati yang parah dengan pendarahan.
Demam kuning adalah satu-satunya penyakit yang membuat negara mewajibkan vaksinasi dalam bentuk kartu kuning yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Apabila suatu negara sedang mengalami wabah penyakit, WHO dapat merekomendasikan pemerintah negara itu meminta pelancong untuk memberikan bukti vaksinasi.
Saat ini, WHO merekomendasikan Pakistan dan Afghanistan meminta pengunjung dewasa yang belum divaksinasi polio sejak masa kanak-kanak untuk menerima satu dosis vaksin dewasa.
Lalu, bagaimana dengan bukti vaksin COVID-19? Pada Februari, Israel menjadi negara pertama yang meluncurkan program paspor vaksin digital, "green pass" yang memungkinkan penduduk yang divaksinasi penuh bepergian dengan lebih bebas ke seluruh negeri.
Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat tidak akan memperkenalkan paspor vaksin. Tapi ini tak berarti pelaku bisnis termasuk restoran, pusat kebugaran, stadion olahraga dan tempat umum lain tidak memerlukan dokumentasi untuk membuktikan seseorang telah divaksinasi terhadap COVID- 19. Sertifikat vaksin juga mungkin diperlukan untuk perjalanan internasional.
WHO sejauh ini tidak mendukung bukti wajib vaksinasi COVID-19 untuk perjalanan internasional. Dalam jumpa pers PBB pada 6 April lalu, juru bicara WHO Margaret Harris mengaku khawatir tentang diskriminasi vaksin.
"Kami pada tahap ini kami tidak ingin melihat paspor vaksinasi sebagai persyaratan untuk masuk atau keluar (suatu wilayah) karena kami tidak yakin pada tahap ini vaksin dapat mencegah penularan (virus)," kata dia seperti dikutip dari Insider, Sabtu.
Dia mengatakan, selain tentang diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak dapat mendapatkan vaksin karena satu dan lain alasan, tampaknya juga ada argumen bahwa negara-negara kaya mungkin memiliki lebih banyak akses ke vaksinasi daripada negara yang lain.
"Beberapa orang mengatakan vaksin atau paspor kesehatan dapat menyebabkan diskriminasi perjalanan, terutama di antara orang atau negara berpenghasilan rendah," tutur Harris.
Namun, WHO sedang mengerjakan "Sertifikat Vaksinasi Cerdas" sebagai standar bagaimana vaksinasi COVID-19 dikenali dan divalidasi di seluruh dunia.
Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa