Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memenuhi syarat dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) melaporkan lima Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
"Semua pimpinan karena sebagaimana kita ketahui SK 652 ditandatangani oleh Bapak Firli Bahuri, dan kami berpikiran itu kolektif kolegial, sehingga semua pimpinan kami laporkan," kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa.
Surat Keputusan (SK) itu tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca juga: Jokowi: TWK bukan dasar pemberhentian 75 pegawai KPK
Lima Pimpinan KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri serta empat Wakil Ketua KPK masing-masing Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango.
Hotman Tambunan menjelaskan ada tiga hal berkaitan dengan pelaporan terhadap lima Pimpinan KPK tersebut.
"Yang pertama adalah tentang kejujuran. Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada Tes Wawasan Kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," kata Hotman.
Ia mengatakan proses alih status menjadi ASN merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar.
Baca juga: Pembebastugasan 75 pegawai KPK tidak ganggu kinerja
Alasan kedua, ia menyinggung soal materi tes wawancara dalam TWK tersebut yang janggal.
"Yang kedua adalah kami melaporkan pimpinan kepada dewan pengawas, karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya pula.
Alasan terakhir, kata Hotman, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan.
Baca juga: Artikel - Melihat landasan hukum proses alih status pegawai KPK
"Dapat kita lihat bahwa tanggal 4 Mei (2021), MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan bahwa TWK tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai, tetapi pada tanggal 7 Mei (2021) tiga hari berselang pimpinan mengeluarkan SK 652 yang notabenenya sangat merugikan pegawai," ujar Hotman.
"Bukankah keputusan MK itu merupakan suatu keputusan yang bersifat final dan mengikat, kenapa pimpinan justru tidak mengindahkan keputusan ini, bahkan mengeluarkan keputusan 652 yang sangat merugikan kami," kata dia pula.
Dalam kesempatan sama, penyidik senior KPK Novel Baswedan mengharapkan Dewas KPK dapat profesional terkait laporan tersebut.
"Kami berharap dewan pengawas bisa berlaku seprofesional mungkin demi kebaikan dan demi kepentingan pemberantasan korupsi yang lebih baik," kata Novel.
Baca juga: Pegawai KPK tak lolos TWK jangan diberhentikan
Baca juga: 75 pegawai KPK tak penuhi syarat jadi ASN
"Semua pimpinan karena sebagaimana kita ketahui SK 652 ditandatangani oleh Bapak Firli Bahuri, dan kami berpikiran itu kolektif kolegial, sehingga semua pimpinan kami laporkan," kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa.
Surat Keputusan (SK) itu tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca juga: Jokowi: TWK bukan dasar pemberhentian 75 pegawai KPK
Lima Pimpinan KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri serta empat Wakil Ketua KPK masing-masing Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango.
Hotman Tambunan menjelaskan ada tiga hal berkaitan dengan pelaporan terhadap lima Pimpinan KPK tersebut.
"Yang pertama adalah tentang kejujuran. Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada Tes Wawasan Kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," kata Hotman.
Ia mengatakan proses alih status menjadi ASN merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar.
Baca juga: Pembebastugasan 75 pegawai KPK tidak ganggu kinerja
Alasan kedua, ia menyinggung soal materi tes wawancara dalam TWK tersebut yang janggal.
"Yang kedua adalah kami melaporkan pimpinan kepada dewan pengawas, karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya pula.
Alasan terakhir, kata Hotman, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan.
Baca juga: Artikel - Melihat landasan hukum proses alih status pegawai KPK
"Dapat kita lihat bahwa tanggal 4 Mei (2021), MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan bahwa TWK tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai, tetapi pada tanggal 7 Mei (2021) tiga hari berselang pimpinan mengeluarkan SK 652 yang notabenenya sangat merugikan pegawai," ujar Hotman.
"Bukankah keputusan MK itu merupakan suatu keputusan yang bersifat final dan mengikat, kenapa pimpinan justru tidak mengindahkan keputusan ini, bahkan mengeluarkan keputusan 652 yang sangat merugikan kami," kata dia pula.
Dalam kesempatan sama, penyidik senior KPK Novel Baswedan mengharapkan Dewas KPK dapat profesional terkait laporan tersebut.
"Kami berharap dewan pengawas bisa berlaku seprofesional mungkin demi kebaikan dan demi kepentingan pemberantasan korupsi yang lebih baik," kata Novel.
Baca juga: Pegawai KPK tak lolos TWK jangan diberhentikan
Baca juga: 75 pegawai KPK tak penuhi syarat jadi ASN