Jakarta (ANTARA) - Final Liga Champions antara Manchester City dan Chelsea memang masih satu pekan lagi. Bahkan Man City masih harus menuntaskan pertandingan liga terakhinya Minggu malam ini.
Tetapi itu semua bukan halangan untuk memproklamirkan Pep Guardiola sebagai manajer terbaik sepanjang masa, paling tidak untuk sebagian komunitas sepak bola Eropa.
Ketika manajer Manchester United Ole Gunnar Solksjaer menyebut Alex Ferguson manajer terbesar sepanjang masa, mantan rekannya Gary Neville menyanggahnya dengan mengatakan justru Guardiola yang lebih pantas menyandang predikat itu.
Dan memang, kecuali trofi Piala Dunia dan Piala Eropa yang sampai saat ini belum dia rengkuh karena tak pernah melatih timnas mana pun, Guardiola menakjubkan selama 12 tahun menukangi tiga tim superkuat Eropa yang tidak saja dominan dalam liga domestiknya, tapi juga menjadi aktor sangat penting dalam teater sepak bola Eropa. Selama 12 tahun itu juga Guadiola tak pernah tak mempersembahkan trofi kepada tim-tim yang dilatihnya.
Kementerangan resume Guardiola tak ada habisnya. 31 trofi sudah dia rengkuh; masing-masing 10 trofi untuk Manchester City, 14 trofi untuk Barcelona, dan tujuh trofi untuk Bayern Muenchen. Dia juga membantu pemain-pemainnya merengkuh penghargaan individual.
Semua anugerah itu memenuhi almari pialanya. Dan ini bukan karena keberuntungan atau memainkan sepak bola yang asal menang. Tidak, Guardiola bukan pelatih seperti itu. Ketika timnya harus menang, maka itu mesti dicapai dengan cara yang indah, yang merelasikan rencana, taktik, teknik, keterampilan, dan bakat.
Tak heran di mana pun dia berkiprah, entah Barcelona, Bayern maupun City, Guardiola selalu menghadiahkan permainan atraktif yang hampir tak pernah mengecewakan siapa pun yang menyaksikannya.
Filosofi sepakbolanya yang terasuki filosofi sepakbola menyerang total-football yang dikenalkan sang mentor Johan Cruyff di Barcelona, membuat dia selalu bisa menghadirkan tim yang mengawinkan permainan atraktif dan hasil yang mengesankan. Menyaksikan pemain-pemain Man City beraksi seolah melihat kembali tiki-taka nan indah namun mematikan pada zaman keemasan Barcelona.
Pemain-pemainnya bukan sekadar pesepakbola, karena mereka juga seniman-seniman lapangan hijau, yang dari dribel dan caranya menempatkan diri, sampai menendang dan mengumpan, bukan sekadar meneruskan, memotong atau memblok bola, tetapi mereka melakukannya dengan manuver-manuver cantik sehingga sungguh asyik untuk dilihat.
Bukan cuma itu. Kelihaian dan kecerdasan Guardiola dalam meracik tim dan mengelola skuad, membuat City konsisten sepanjang musim. Memang pernah terselip, tapi tak pernah berulang-ulang. Jangan harap pula mereka kalah karena bermain buruk, apalagi karena ditekan lawan.
Terakhir mereka melawan Brighton 19 Mei lalu. Memang kalah 2-3, tetapi itu terjadi karena mereka harus bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-10 setelah Joao Cancelo diusir ke luar lapangan.
Kekuatan transformatif
Guardiola jelas telah membuat City menjadi tim yang sulit sekali dikalahkan, yang bersama Manchester United baru menelan enam kekalahan, sekalipun masih di bawah tiga kekalahan yang diderita Liverpool saat menjuarai musim lalu.
Kini dia menjadi manajer kedua dalam lima liga besar Eropa yang mempersembahkan trofi juara liga paling banyak setelah Sir Alex Feguson yang sudah mempersembahkan 13 trofi. Guardiola sudah sembilan trofi atau satu trofi lebih banyak ketimbang Giovanni Trapattoni. Guardiola juga membuat City menjadi klub kelima paling berhasil di Liga Inggris.
Kombinasi tangan dingin dia dan limpahan uang yang tidak henti mengalir dari pemiliknya di Abu Dhabi, telah mentransformasi City sebagai kekuatan elite sepak bola Eropa.
Dalam setahun ini saja, ketika hampir semua klub mengencangkan ikat pinggang, City malah bisa berbelanja sebanyak 100 juta pound (Rp2 triliun) untuk mendatangkan dua bek. Satu bek, yakni Nathan Ake, gagal bersinar, tetapi satunya lagi, Ruben Dias, menjadi kunci sukses City musim ini.
Dias turut mentransformasi City dan dianggap rekrutan baru Liga Inggris yang paling berpengaruh sejak Virgil van Dijk mentransformasi wajah Liverpool.
Tetapi bukan cuma uang Abu Dhabi yang membuat itu semua terjadi. Kejeniusan Guardiola yang telah menyulap City seperti adanya sekarang adalah juga faktor amat penting. Dia tak saja pandai memilih pemain dan meracik tim, tetapi juga jenius dalam mengelola klub-klub kaya. Kejeniusan inilah yang dibeli Abu Dhabi.
Ketika kebanyakan klub dibuat repot oleh absennya sejumlah pemain kunci dan belum lagi pandemi yang kadang merusak rancangan bermain karena tak jarang pemain-pemain kunci tak bisa bermain gara-gara disambar virus corona, Guardiola justru membangun tim yang merata kekuatannya, antara tim inti dan tim lapis keduanya, sehingga tak masalah menurunkan siapa pun ketika menghadapi siapa pun.
Memang sempat agak tertatih-tatih pada awal kompetisi, tetapi perlahan dia membangun City yang senantiasa jaya kendati merotasi pemain sekerap rotasi yang terjadi pada klub-klub lain. Tapi hasil rotasi Guardiola berbeda dengan rotasi klub-klub lain.
Kepiawaiannya dalam membangun tim kedua yang sama kuatnya dengan tim inti membuat dia disejajarkan dengan Alex Ferguson, Sir Matt Busby, Arsene Wenger, Bob Paisley dan Bill Shankly.
Bagi dia, Vincent Kompany, David Silva dan Sergio Aguero boleh saja pergi atau memudar, tetapi dia dengan cepat menemukan penggantinya pada diri Dias, Phil Foden dan Ilkay Gundogan.
City bahkan dibuatnya menjadi juara Liga Inggris pertama yang juara tanpa memiliki striker murni. Ketika City memastikan juara liga, top skorer mereka adalah top skorer klub yang mengoleksi gol terendah sepanjang sejarah liga, yakni Gundogan dengan 12 gol.
Kaya improvisasi
Guardiola ahli dalam beradaptasi dengan kebutuhan era dan realitas lapangan. Dia tak kelimpungan tak mempunyai pemain depan yang bernaluri pembunuh atau bek baru gagal bersinar seperti Nathan Ake, karena dia memiliki prinsip tidak mau tergantung kepada seorang pemain atau segelintir pemain.
Lebih dari itu, dia kaya improvisasi dan sangat inovatif. Dan ini membuat timnya memiliki konsistensi yang tidak dimiliki klub-klub Liga Inggris lainnya.
Namun kecintaannya kepada improvisasi dan inovasi, membuat dia tak mau bertahan dengan rumus bermain yang itu-itu saja dari musim ke musim. Sebaliknya, setiap musim akan berbeda sehingga sikap, pola dan perlakuan pun seharusnya berbeda.
Jadi, jangan heran jika musim nanti dia beralih kepada striker murni, apalagi jika lawan-lawannya nanti menuntut Guardiola memasang striker murni seperti dia lakukan kepada Aguero.
Oleh karena itu, mungkin saja musim nanti dia akan mendesak manajemen klub agar membeli Erling Haaland atau Harry Kane atau Jack Grealish.
Guardiola mungkin tak akan menempuh langkah sama dengan Liverpool yang setelah musim lalu merasa cukup dengan skuad yang ada yang sukses mengakhiri paceklik gelar liga selama 30 tahun.
Sebaliknya Guardiola mungkin melakukan pendekatan berbeda. Bukan karena tidak mempercayai kualitas tinggi akan selamanya dipersembahkan pemain-pemainnya. Namun lebih karena memerlukan jaminan semua pemain selalu siap bermain agar setiap rencana bermain dipraktikkan dengan benar untuk menghasilkan hasil yang maksimal.
Di bawah asumsi seperti, Man City, apalagi sampai sukses berstatus juara Liga Champions, bakal kian ganas pada musim berikutnya, mengikuti ganasnya kompetisi Liga Inggris nanti ketika semua stadion tim-tim Liga Inggris kemungkinan besar diisi kembali oleh suporter bola.
Tapi sebelum ke sana pun, Guardiola tetaplah sudah melekat dengan predikat pembawa transformasi besar kepada timnya. Pengamat sepak bola yang juga mantan pemain Leicester City Robbie Savage tak ragu mendaulat Guardiola lebih besar daripada Sir Alex.
Gary Neville juga begitu. Dia menyebut Guardiola pelatih terbesar sepanjang masa. “Saya kira Man City mungkin telah memiliki manajer terhebat sepanjang masa dari cara dia merasuki negara lain, mendominasi sepak bola, dan mempengaruhi yang lain. Saya tak pernah melihat orang seperti ini sebelumnya,” kata Neville.
Jika menengok curriculum vitaenya selama bersama Barcelona, Muenchen walau gagal mengantarkan klub Jerman ini menjuarai Liga Champions, dan terakhir empat tahun menukangi City yang akhirnya membuat klub ini menciptakan sejarah untuk pertama kalinya mencapai final Liga Champions, Guardiola memang benar pelatih terhebat di dunia.
30 Mei nanti Estadio do Dragao di Porto bisa menjadi pengukuhan status untuk dia itu.
Tetapi itu semua bukan halangan untuk memproklamirkan Pep Guardiola sebagai manajer terbaik sepanjang masa, paling tidak untuk sebagian komunitas sepak bola Eropa.
Ketika manajer Manchester United Ole Gunnar Solksjaer menyebut Alex Ferguson manajer terbesar sepanjang masa, mantan rekannya Gary Neville menyanggahnya dengan mengatakan justru Guardiola yang lebih pantas menyandang predikat itu.
Dan memang, kecuali trofi Piala Dunia dan Piala Eropa yang sampai saat ini belum dia rengkuh karena tak pernah melatih timnas mana pun, Guardiola menakjubkan selama 12 tahun menukangi tiga tim superkuat Eropa yang tidak saja dominan dalam liga domestiknya, tapi juga menjadi aktor sangat penting dalam teater sepak bola Eropa. Selama 12 tahun itu juga Guadiola tak pernah tak mempersembahkan trofi kepada tim-tim yang dilatihnya.
Kementerangan resume Guardiola tak ada habisnya. 31 trofi sudah dia rengkuh; masing-masing 10 trofi untuk Manchester City, 14 trofi untuk Barcelona, dan tujuh trofi untuk Bayern Muenchen. Dia juga membantu pemain-pemainnya merengkuh penghargaan individual.
Semua anugerah itu memenuhi almari pialanya. Dan ini bukan karena keberuntungan atau memainkan sepak bola yang asal menang. Tidak, Guardiola bukan pelatih seperti itu. Ketika timnya harus menang, maka itu mesti dicapai dengan cara yang indah, yang merelasikan rencana, taktik, teknik, keterampilan, dan bakat.
Tak heran di mana pun dia berkiprah, entah Barcelona, Bayern maupun City, Guardiola selalu menghadiahkan permainan atraktif yang hampir tak pernah mengecewakan siapa pun yang menyaksikannya.
Filosofi sepakbolanya yang terasuki filosofi sepakbola menyerang total-football yang dikenalkan sang mentor Johan Cruyff di Barcelona, membuat dia selalu bisa menghadirkan tim yang mengawinkan permainan atraktif dan hasil yang mengesankan. Menyaksikan pemain-pemain Man City beraksi seolah melihat kembali tiki-taka nan indah namun mematikan pada zaman keemasan Barcelona.
Pemain-pemainnya bukan sekadar pesepakbola, karena mereka juga seniman-seniman lapangan hijau, yang dari dribel dan caranya menempatkan diri, sampai menendang dan mengumpan, bukan sekadar meneruskan, memotong atau memblok bola, tetapi mereka melakukannya dengan manuver-manuver cantik sehingga sungguh asyik untuk dilihat.
Bukan cuma itu. Kelihaian dan kecerdasan Guardiola dalam meracik tim dan mengelola skuad, membuat City konsisten sepanjang musim. Memang pernah terselip, tapi tak pernah berulang-ulang. Jangan harap pula mereka kalah karena bermain buruk, apalagi karena ditekan lawan.
Terakhir mereka melawan Brighton 19 Mei lalu. Memang kalah 2-3, tetapi itu terjadi karena mereka harus bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-10 setelah Joao Cancelo diusir ke luar lapangan.
Kekuatan transformatif
Guardiola jelas telah membuat City menjadi tim yang sulit sekali dikalahkan, yang bersama Manchester United baru menelan enam kekalahan, sekalipun masih di bawah tiga kekalahan yang diderita Liverpool saat menjuarai musim lalu.
Kini dia menjadi manajer kedua dalam lima liga besar Eropa yang mempersembahkan trofi juara liga paling banyak setelah Sir Alex Feguson yang sudah mempersembahkan 13 trofi. Guardiola sudah sembilan trofi atau satu trofi lebih banyak ketimbang Giovanni Trapattoni. Guardiola juga membuat City menjadi klub kelima paling berhasil di Liga Inggris.
Kombinasi tangan dingin dia dan limpahan uang yang tidak henti mengalir dari pemiliknya di Abu Dhabi, telah mentransformasi City sebagai kekuatan elite sepak bola Eropa.
Dalam setahun ini saja, ketika hampir semua klub mengencangkan ikat pinggang, City malah bisa berbelanja sebanyak 100 juta pound (Rp2 triliun) untuk mendatangkan dua bek. Satu bek, yakni Nathan Ake, gagal bersinar, tetapi satunya lagi, Ruben Dias, menjadi kunci sukses City musim ini.
Dias turut mentransformasi City dan dianggap rekrutan baru Liga Inggris yang paling berpengaruh sejak Virgil van Dijk mentransformasi wajah Liverpool.
Tetapi bukan cuma uang Abu Dhabi yang membuat itu semua terjadi. Kejeniusan Guardiola yang telah menyulap City seperti adanya sekarang adalah juga faktor amat penting. Dia tak saja pandai memilih pemain dan meracik tim, tetapi juga jenius dalam mengelola klub-klub kaya. Kejeniusan inilah yang dibeli Abu Dhabi.
Ketika kebanyakan klub dibuat repot oleh absennya sejumlah pemain kunci dan belum lagi pandemi yang kadang merusak rancangan bermain karena tak jarang pemain-pemain kunci tak bisa bermain gara-gara disambar virus corona, Guardiola justru membangun tim yang merata kekuatannya, antara tim inti dan tim lapis keduanya, sehingga tak masalah menurunkan siapa pun ketika menghadapi siapa pun.
Memang sempat agak tertatih-tatih pada awal kompetisi, tetapi perlahan dia membangun City yang senantiasa jaya kendati merotasi pemain sekerap rotasi yang terjadi pada klub-klub lain. Tapi hasil rotasi Guardiola berbeda dengan rotasi klub-klub lain.
Kepiawaiannya dalam membangun tim kedua yang sama kuatnya dengan tim inti membuat dia disejajarkan dengan Alex Ferguson, Sir Matt Busby, Arsene Wenger, Bob Paisley dan Bill Shankly.
Bagi dia, Vincent Kompany, David Silva dan Sergio Aguero boleh saja pergi atau memudar, tetapi dia dengan cepat menemukan penggantinya pada diri Dias, Phil Foden dan Ilkay Gundogan.
City bahkan dibuatnya menjadi juara Liga Inggris pertama yang juara tanpa memiliki striker murni. Ketika City memastikan juara liga, top skorer mereka adalah top skorer klub yang mengoleksi gol terendah sepanjang sejarah liga, yakni Gundogan dengan 12 gol.
Kaya improvisasi
Guardiola ahli dalam beradaptasi dengan kebutuhan era dan realitas lapangan. Dia tak kelimpungan tak mempunyai pemain depan yang bernaluri pembunuh atau bek baru gagal bersinar seperti Nathan Ake, karena dia memiliki prinsip tidak mau tergantung kepada seorang pemain atau segelintir pemain.
Lebih dari itu, dia kaya improvisasi dan sangat inovatif. Dan ini membuat timnya memiliki konsistensi yang tidak dimiliki klub-klub Liga Inggris lainnya.
Namun kecintaannya kepada improvisasi dan inovasi, membuat dia tak mau bertahan dengan rumus bermain yang itu-itu saja dari musim ke musim. Sebaliknya, setiap musim akan berbeda sehingga sikap, pola dan perlakuan pun seharusnya berbeda.
Jadi, jangan heran jika musim nanti dia beralih kepada striker murni, apalagi jika lawan-lawannya nanti menuntut Guardiola memasang striker murni seperti dia lakukan kepada Aguero.
Oleh karena itu, mungkin saja musim nanti dia akan mendesak manajemen klub agar membeli Erling Haaland atau Harry Kane atau Jack Grealish.
Guardiola mungkin tak akan menempuh langkah sama dengan Liverpool yang setelah musim lalu merasa cukup dengan skuad yang ada yang sukses mengakhiri paceklik gelar liga selama 30 tahun.
Sebaliknya Guardiola mungkin melakukan pendekatan berbeda. Bukan karena tidak mempercayai kualitas tinggi akan selamanya dipersembahkan pemain-pemainnya. Namun lebih karena memerlukan jaminan semua pemain selalu siap bermain agar setiap rencana bermain dipraktikkan dengan benar untuk menghasilkan hasil yang maksimal.
Di bawah asumsi seperti, Man City, apalagi sampai sukses berstatus juara Liga Champions, bakal kian ganas pada musim berikutnya, mengikuti ganasnya kompetisi Liga Inggris nanti ketika semua stadion tim-tim Liga Inggris kemungkinan besar diisi kembali oleh suporter bola.
Tapi sebelum ke sana pun, Guardiola tetaplah sudah melekat dengan predikat pembawa transformasi besar kepada timnya. Pengamat sepak bola yang juga mantan pemain Leicester City Robbie Savage tak ragu mendaulat Guardiola lebih besar daripada Sir Alex.
Gary Neville juga begitu. Dia menyebut Guardiola pelatih terbesar sepanjang masa. “Saya kira Man City mungkin telah memiliki manajer terhebat sepanjang masa dari cara dia merasuki negara lain, mendominasi sepak bola, dan mempengaruhi yang lain. Saya tak pernah melihat orang seperti ini sebelumnya,” kata Neville.
Jika menengok curriculum vitaenya selama bersama Barcelona, Muenchen walau gagal mengantarkan klub Jerman ini menjuarai Liga Champions, dan terakhir empat tahun menukangi City yang akhirnya membuat klub ini menciptakan sejarah untuk pertama kalinya mencapai final Liga Champions, Guardiola memang benar pelatih terhebat di dunia.
30 Mei nanti Estadio do Dragao di Porto bisa menjadi pengukuhan status untuk dia itu.