Sampit (ANTARA) - Komisi II DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah menggelar rapat dengar pendapat untuk memfasilitasi mempercepat penyelesaian tuntutan plasma kebun sawit oleh masyarakat Desa Rubung Buyung Kecamatan Cempaga terhadap PT Borneo Sawit Perdana.
"Rapat ini untuk mendengar penjelasan dari semua pihak sehingga kita bisa sama-sama mendorong percepatan penyelesaiannya. Setidaknya rapat ini bisa menghasilkan kesimpulan," kata Ketua Komisi II Hj Darmawati saat memimpin rapat dengar pendapat, Kamis.
Rapat dihadiri pejabat pemerintah kabupaten, perwakilan perusahaan, pemerintah desa, camat, kelompok tani, koperasi dan anggota Komisi II DPRD. Semua pihak diberi kesempatan untuk mencari benang merah permasalahan itu.
Meski belum bisa langsung menyelesaikan masalah, rapat dengar pendapat ini setidaknya menjadi bahan dalam mencarikan solusinya. Komisi II mendorong pihak-pihak terkait untuk menyamakan pandangan bahwa sama-sama ingin menyelesaikan masalah ini.
"Makanya semua pihak kita harapkan bertindak mengaku pada aturan. Apalagi sebelumnya masalah ini sudah pernah dibahas. Pihak eksekutif juga diharapkan tetap memantau penyelesaian ini," ujar Darmawati.
Dalam rapat itu terungkap, ada sembilan desa yang menuntut plasma dari perusahaan sawit tersebut. Desa Rubung Buyung Kecamatan Cempaga adalah salah satunya.
Berdasarkan pertemuan yang pernah digelar, setiap desa akan mendapatkan sekitar 200 hektare lahan plasma sawit. Sementara itu perwakilan pihak perusahaan menjelaskan bahwa saat ini prosesnya masih berjalan.
Saat ini ada sekitar 2.000 hektare calon lahan yang sudah disiapkan. Pihak perusahaan meminta waktu karena merealisasikan tuntutan tersebut memerlukan proses.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kotawaringin Timur Diana Setiawan menegaskan, pemerintah daerah bekerja berdasarkan aturan dalam membantu menyelesaikan masalah yang ada.
Baca juga: DPRD Kotim dukung Polres tingkatkan pemberantasan narkoba
Dia menjelaskan, PT Borneo Sawit Perdana dapat izin prinsip pada 2010 dan hak guna usaha atau HGU terbit pada 2014. Pada 2016 lalu ada kesepakatan antara perusahaan dengan sembilan desa terkait plasma sebesar 20 persen untuk masyarakat.
Tahun 2019 dilaksanakan rapat dengar pendapat lagi menanyakan realisasinya. Saat itu ada kesepakatan lagi antara perusahaan dengan sembilan desa tersebut.
Menurutnya, pemerintah daerah saat itu menilai sudah ada solusi karena kedua belah pihak sepakat. Seandainya kesepakatan itu dijalankan, seharusnya tidak ada masalah lagi.
"Kita dorong pemerintah desa dan koperasi untuk menetapkan nama-nama petani yang ditetapkan dalam 200 hektare itu dan di mana lokasinya, kemudian diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk dibuatkan SKCPCL (surat keputusan calon petani dan calon lahan)," ujar Diana.
Menurutnya, masalah ini diharapkan bisa diselesaikan dengan komitmen bersama. Aturan sudah jelas sehingga tinggal dilaksanakan, apalagi sudah ada kesepakatan yang dibuat.
Baca juga: Reforma Agraria bantu masyarakat Kotim dapatkan legalitas lahan
Baca juga: DPRD Kotim soroti truk kembali masuk kota
"Rapat ini untuk mendengar penjelasan dari semua pihak sehingga kita bisa sama-sama mendorong percepatan penyelesaiannya. Setidaknya rapat ini bisa menghasilkan kesimpulan," kata Ketua Komisi II Hj Darmawati saat memimpin rapat dengar pendapat, Kamis.
Rapat dihadiri pejabat pemerintah kabupaten, perwakilan perusahaan, pemerintah desa, camat, kelompok tani, koperasi dan anggota Komisi II DPRD. Semua pihak diberi kesempatan untuk mencari benang merah permasalahan itu.
Meski belum bisa langsung menyelesaikan masalah, rapat dengar pendapat ini setidaknya menjadi bahan dalam mencarikan solusinya. Komisi II mendorong pihak-pihak terkait untuk menyamakan pandangan bahwa sama-sama ingin menyelesaikan masalah ini.
"Makanya semua pihak kita harapkan bertindak mengaku pada aturan. Apalagi sebelumnya masalah ini sudah pernah dibahas. Pihak eksekutif juga diharapkan tetap memantau penyelesaian ini," ujar Darmawati.
Dalam rapat itu terungkap, ada sembilan desa yang menuntut plasma dari perusahaan sawit tersebut. Desa Rubung Buyung Kecamatan Cempaga adalah salah satunya.
Berdasarkan pertemuan yang pernah digelar, setiap desa akan mendapatkan sekitar 200 hektare lahan plasma sawit. Sementara itu perwakilan pihak perusahaan menjelaskan bahwa saat ini prosesnya masih berjalan.
Saat ini ada sekitar 2.000 hektare calon lahan yang sudah disiapkan. Pihak perusahaan meminta waktu karena merealisasikan tuntutan tersebut memerlukan proses.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kotawaringin Timur Diana Setiawan menegaskan, pemerintah daerah bekerja berdasarkan aturan dalam membantu menyelesaikan masalah yang ada.
Baca juga: DPRD Kotim dukung Polres tingkatkan pemberantasan narkoba
Dia menjelaskan, PT Borneo Sawit Perdana dapat izin prinsip pada 2010 dan hak guna usaha atau HGU terbit pada 2014. Pada 2016 lalu ada kesepakatan antara perusahaan dengan sembilan desa terkait plasma sebesar 20 persen untuk masyarakat.
Tahun 2019 dilaksanakan rapat dengar pendapat lagi menanyakan realisasinya. Saat itu ada kesepakatan lagi antara perusahaan dengan sembilan desa tersebut.
Menurutnya, pemerintah daerah saat itu menilai sudah ada solusi karena kedua belah pihak sepakat. Seandainya kesepakatan itu dijalankan, seharusnya tidak ada masalah lagi.
"Kita dorong pemerintah desa dan koperasi untuk menetapkan nama-nama petani yang ditetapkan dalam 200 hektare itu dan di mana lokasinya, kemudian diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk dibuatkan SKCPCL (surat keputusan calon petani dan calon lahan)," ujar Diana.
Menurutnya, masalah ini diharapkan bisa diselesaikan dengan komitmen bersama. Aturan sudah jelas sehingga tinggal dilaksanakan, apalagi sudah ada kesepakatan yang dibuat.
Baca juga: Reforma Agraria bantu masyarakat Kotim dapatkan legalitas lahan
Baca juga: DPRD Kotim soroti truk kembali masuk kota