Medan (ANTARA) - Master/ahli Search Engine Optimization (SEO), Charlie M Sianipar, menyebutkan, hingga kini, berita hoaks atau berita palsu/bohong yang paling banyak disebar menyangkut isu sosial politik, kesehatan dan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
"Tiga isu itu sering dipilih untuk berita hoaks karena dianggap paling mudah dan ampuh untuk memecah belah masyarakat, " ujar dia, yang juga CEO Galases Digitalisasi, Senin.
Ia mengatakan itu dalam pemaparannya tentang Pentingnya Pemahaman Membedakan Informaai pada acara Mengulik Digital Place, Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Sumatera II Kabupaten Simalungun, Sumut yang digelar secara virtual.
Seperti diketahui, ujar Sianipar, berita hoaks bertujuan untuk mengadu domba, menyebarkan fitnah-fitnah dan mencemarkan nama baik, dan membuat cemas.
Ada pun media penyebaran hoaks yang digunakan adalah pijakan digital yakni daring dengan situs "kaleng-kaleng", media sosial bahkan media chatting seperti WhatsApp dan Meme.
Ciri-ciri hoaks, ujar penggiat pemasaran secara digital itu, menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan, termasuk sumber berita yang tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.
Adapun pesannya sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal, serta memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat.
Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya, memberi penjulukan minta supaya disebar atau diviralkan, menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
Manipulasi foto dan keterangannya. serta penggunaan foto-foto sudah lama dan, berasal dari kejadian di tempat lain, katanya, juga menjadi. salah satu indikasi berita hoaks.
"Masih menjamurnya berita hoaks hingga saat ini karena peningkatan pengguna smartphone dan media sosial yang begitu pesat itu belum diikuti maksimal dengan literasI digital, " katanya.
Untuk menekan hoaks, maka bukan hanya diperlukan peningkatan literasi digital dan tindakan tegas dari pemerintah bagi pembuat dan penyebar hoaks.
Namun juga masyarakat harus semakin cerdas untuk tidak terjebak dengan berita palsu itu bahkan ancaman terjerat hukum dengan meneruskan berita/informasi hoaks tersebut.
Penyebar hoaks terancam pasal 28 ayat I UU ITE yakni ancaman pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
"Jadi pikir sebelum digulirkan agar masyarakat tidak terjerat dengan ancaman pidana UU ITE, " ujar Sianipar.
Agar tidak tertipu dengan hoaks, ujar dia, ada tiga situs yang bisa digunakan untuk mengecek apakah berita/informasi itu benar atau tidak, yakni TurnBackHoax. id, CekFakta.com dan Detax.org.
"Tiga isu itu sering dipilih untuk berita hoaks karena dianggap paling mudah dan ampuh untuk memecah belah masyarakat, " ujar dia, yang juga CEO Galases Digitalisasi, Senin.
Ia mengatakan itu dalam pemaparannya tentang Pentingnya Pemahaman Membedakan Informaai pada acara Mengulik Digital Place, Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Sumatera II Kabupaten Simalungun, Sumut yang digelar secara virtual.
Seperti diketahui, ujar Sianipar, berita hoaks bertujuan untuk mengadu domba, menyebarkan fitnah-fitnah dan mencemarkan nama baik, dan membuat cemas.
Ada pun media penyebaran hoaks yang digunakan adalah pijakan digital yakni daring dengan situs "kaleng-kaleng", media sosial bahkan media chatting seperti WhatsApp dan Meme.
Ciri-ciri hoaks, ujar penggiat pemasaran secara digital itu, menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan, termasuk sumber berita yang tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.
Adapun pesannya sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal, serta memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat.
Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya, memberi penjulukan minta supaya disebar atau diviralkan, menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
Manipulasi foto dan keterangannya. serta penggunaan foto-foto sudah lama dan, berasal dari kejadian di tempat lain, katanya, juga menjadi. salah satu indikasi berita hoaks.
"Masih menjamurnya berita hoaks hingga saat ini karena peningkatan pengguna smartphone dan media sosial yang begitu pesat itu belum diikuti maksimal dengan literasI digital, " katanya.
Untuk menekan hoaks, maka bukan hanya diperlukan peningkatan literasi digital dan tindakan tegas dari pemerintah bagi pembuat dan penyebar hoaks.
Namun juga masyarakat harus semakin cerdas untuk tidak terjebak dengan berita palsu itu bahkan ancaman terjerat hukum dengan meneruskan berita/informasi hoaks tersebut.
Penyebar hoaks terancam pasal 28 ayat I UU ITE yakni ancaman pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
"Jadi pikir sebelum digulirkan agar masyarakat tidak terjerat dengan ancaman pidana UU ITE, " ujar Sianipar.
Agar tidak tertipu dengan hoaks, ujar dia, ada tiga situs yang bisa digunakan untuk mengecek apakah berita/informasi itu benar atau tidak, yakni TurnBackHoax. id, CekFakta.com dan Detax.org.