Sampit (ANTARA) - Seekor buaya muara muncul di Sungai Mentaya Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dan sempat menjadi tontonan warga karena satwa ganas itu muncul di perairan dekat permukiman warga.
"Jadi takut juga beraktivitas di sungai karena buaya sudah sampai di perairan di kota. Selama ini kan kita tahunya buaya cuma sering muncul di wilayah selatan atau dekat muara saja," kata Imam, warga Sampit, Sabtu.
Buaya dengan panjang diperkirakan lebih dari dua meter itu muncul di perairan dekat pelabuhan feri penyeberangan di Kelurahan Mentaya Seberang. Lokasi ini berseberangan sungai dengan ikon Jelawat yang merupakan ikon Kota Sampit.
Buaya terlihat muncul dengan dan tenang meski saat itu terlihat ada hilir mudik warga menggunakan perahu motor tidak terlalu jauh dari lokasi kemunculan buaya. Warga bahkan ada yang sempat mengabadikan momen kemunculan buaya tersebut dengan merekam video menggunakan telepon seluler mereka.
Menurut warga, kejadian itu sekitar pukul 12.30 WIB. Warga hanya melihat dari kejauhan dan tidak berani mengganggu buaya yang terlihat berenang ke arah hulu tersebut.
Sementara itu Komandan Jaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah Pos Sampit Muriansyah mengaku sudah mendapat informasi kemunculan buaya itu dari video yang dikirim warga.
"Kami mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan saat beraktivitas di sungai, apalagi dengan kemunculan buaya dekat permukiman ini. Terlebih saat hari gelap, harus lebih hati-hati karena rawan serangan buaya," kata Muriansyah.
Buaya menyasar perairan dekat permukiman diduga mencari makan karena sumber makanan di habitat mereka semakin sulit didapat. Tindakan warga membuang bangkai binatang atau sampah rumah tangga ke sungai bisa menjadi pemicu sehingga buaya datang karena ada sumber makanan baginya mereka.
Baca juga: Legislator Kotim: Perda Produk Halal dan Higienis untuk melindungi masyarakat
Data BKSDA, serangan buaya di Kabupaten Kotawaringin Timur cukup tinggi. Setidaknya sudah ada 42 orang warga yang menjadi korban serangan satwa ganas itu, bahkan enam orang antaranya meninggal dunia.
"Dari tahun 2010 sampai 2021 ini dugaan serangan buaya kepada manusia sebanyak 42 kali. Serangan itu mengakibatkan 26 orang terluka dan 6 orang meninggal, sedangkan sisanya tidak sampai terluka," kata Muriansyah.
Muriansyah menjelaskan, serangan buaya terjadi umumnya saat hari sudah gelap. Saat itu rata-rata korbannya beraktivitas di sungai dan tidak menyadari kemunculan buaya yang kemudian menyambar mereka.
Dari kasus yang terjadi, hampir 90 persen kejadian serangan terjadi pada waktu malam hingga subuh. Namun ada pula serangan buaya yang terjadi saat siang hari.
Berdasarkan kejadian, serangan saat warga melaksanakan aktivitas mandi, mencuci atau buang air di tepi sungai terjadi sebanyak 34 kasus, saat mencari kerang atau udang sebanyak enam kasus, saat menghanyutkan rotan sebanyak satu kasus kasus dan satu kasus saat korban terjatuh ke sungai.
Lokasi serangan buaya terjadi di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan sebanyak 13 kali, Teluk Sampit 11 kali, Seranau delapan kali, Pulau Hanaut tiga kali, Cempaga tiga kali, Mentaya Hilir Utara dua kali dan Mentawa Baru Ketapang dua kali.
Hasil evaluasi, kata Muriansyah, ketika habitat aslinya rusak dan mengalami penurunan pakan alami, buaya akan mencari wilayah baru untuk mencari makan. Buaya sampai ke perairan permukiman dikarenakan adanya aktivitas pemeliharaan ternak di atas sungai atau di tepi sungai, serta pembuangan sampah rumah tangga dan bangkai binatang ke sungai.
Kerusakan habitat buaya bisa dipengaruhi beberapa faktor, termasuk dampak pembuatan irigasi atau kanal untuk perkebunan maupun untuk ladang dan permukiman.
"Danau dan rawa yang ada di sekitar lokasi tersebut banyak yang kering sehingga makhluk hidup yang ada di danau atau rawa akhirnya turun semua ke daerah muara, terkumpul di Sungai Mentaya. Belum lagi ditambah pakan alaminya yaitu ikan dan udang yang makin sulit didapat akibat kegiatan ilegal yakni setrum dan diracun," ujar Muriansyah.
Beberapa langkah mitigasi konflik juga sudah dilakukan BKSDA Kalteng terhadap konflik buaya muara maupun senyolong dengan manusia di Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya mencegah serangan buaya terus berulang.
Langkah yang dilakukan yaitu pemetaan daerah-daerah rawan konflik, memberikan imbauan langsung atau anjangsana kepada warga yang tinggal di daerah-daerah rawan konflik atau serangan, memberikan imbauan melalui media massa cetak dan elektronik.
BKSDA juga melakukan patroli bersama dengan Ditpolair Polda Kalteng, memasang plang imbauan atau peringatan, observasi ke daerah-daerah rawan konflik untuk mengumpulkan informasi dan data awal penyebab buaya memasuki perairan sekitar pemukiman dan menyerang manusia.
Selain itu, ada pula penyitaan atau serah terima buaya yang dipelihara masyarakat dengan total sudah sebanyak 18 ekor dan penangkapan dua ekor. BKSDA juga mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur membahas serangan buaya dan cara penanganannya, mengunjungi dan membantu biaya pengobatan kepada korban, serta berupaya menangkap buaya.
"Daerah-daerah rawan konflik atau serangan buaya yakni perairan sungai wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru Ketapang, Seranau dan Cempaga. Kami sudah memasang 35 buah plang imbauan atau peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap ancaman serangan buaya," demikian Muriansyah.
Baca juga: APBD Kotim 2022 diprediksi turun 17,89 persen
"Jadi takut juga beraktivitas di sungai karena buaya sudah sampai di perairan di kota. Selama ini kan kita tahunya buaya cuma sering muncul di wilayah selatan atau dekat muara saja," kata Imam, warga Sampit, Sabtu.
Buaya dengan panjang diperkirakan lebih dari dua meter itu muncul di perairan dekat pelabuhan feri penyeberangan di Kelurahan Mentaya Seberang. Lokasi ini berseberangan sungai dengan ikon Jelawat yang merupakan ikon Kota Sampit.
Buaya terlihat muncul dengan dan tenang meski saat itu terlihat ada hilir mudik warga menggunakan perahu motor tidak terlalu jauh dari lokasi kemunculan buaya. Warga bahkan ada yang sempat mengabadikan momen kemunculan buaya tersebut dengan merekam video menggunakan telepon seluler mereka.
Menurut warga, kejadian itu sekitar pukul 12.30 WIB. Warga hanya melihat dari kejauhan dan tidak berani mengganggu buaya yang terlihat berenang ke arah hulu tersebut.
Sementara itu Komandan Jaga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah Pos Sampit Muriansyah mengaku sudah mendapat informasi kemunculan buaya itu dari video yang dikirim warga.
"Kami mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan saat beraktivitas di sungai, apalagi dengan kemunculan buaya dekat permukiman ini. Terlebih saat hari gelap, harus lebih hati-hati karena rawan serangan buaya," kata Muriansyah.
Buaya menyasar perairan dekat permukiman diduga mencari makan karena sumber makanan di habitat mereka semakin sulit didapat. Tindakan warga membuang bangkai binatang atau sampah rumah tangga ke sungai bisa menjadi pemicu sehingga buaya datang karena ada sumber makanan baginya mereka.
Baca juga: Legislator Kotim: Perda Produk Halal dan Higienis untuk melindungi masyarakat
Data BKSDA, serangan buaya di Kabupaten Kotawaringin Timur cukup tinggi. Setidaknya sudah ada 42 orang warga yang menjadi korban serangan satwa ganas itu, bahkan enam orang antaranya meninggal dunia.
"Dari tahun 2010 sampai 2021 ini dugaan serangan buaya kepada manusia sebanyak 42 kali. Serangan itu mengakibatkan 26 orang terluka dan 6 orang meninggal, sedangkan sisanya tidak sampai terluka," kata Muriansyah.
Muriansyah menjelaskan, serangan buaya terjadi umumnya saat hari sudah gelap. Saat itu rata-rata korbannya beraktivitas di sungai dan tidak menyadari kemunculan buaya yang kemudian menyambar mereka.
Dari kasus yang terjadi, hampir 90 persen kejadian serangan terjadi pada waktu malam hingga subuh. Namun ada pula serangan buaya yang terjadi saat siang hari.
Berdasarkan kejadian, serangan saat warga melaksanakan aktivitas mandi, mencuci atau buang air di tepi sungai terjadi sebanyak 34 kasus, saat mencari kerang atau udang sebanyak enam kasus, saat menghanyutkan rotan sebanyak satu kasus kasus dan satu kasus saat korban terjatuh ke sungai.
Lokasi serangan buaya terjadi di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan sebanyak 13 kali, Teluk Sampit 11 kali, Seranau delapan kali, Pulau Hanaut tiga kali, Cempaga tiga kali, Mentaya Hilir Utara dua kali dan Mentawa Baru Ketapang dua kali.
Hasil evaluasi, kata Muriansyah, ketika habitat aslinya rusak dan mengalami penurunan pakan alami, buaya akan mencari wilayah baru untuk mencari makan. Buaya sampai ke perairan permukiman dikarenakan adanya aktivitas pemeliharaan ternak di atas sungai atau di tepi sungai, serta pembuangan sampah rumah tangga dan bangkai binatang ke sungai.
Kerusakan habitat buaya bisa dipengaruhi beberapa faktor, termasuk dampak pembuatan irigasi atau kanal untuk perkebunan maupun untuk ladang dan permukiman.
"Danau dan rawa yang ada di sekitar lokasi tersebut banyak yang kering sehingga makhluk hidup yang ada di danau atau rawa akhirnya turun semua ke daerah muara, terkumpul di Sungai Mentaya. Belum lagi ditambah pakan alaminya yaitu ikan dan udang yang makin sulit didapat akibat kegiatan ilegal yakni setrum dan diracun," ujar Muriansyah.
Beberapa langkah mitigasi konflik juga sudah dilakukan BKSDA Kalteng terhadap konflik buaya muara maupun senyolong dengan manusia di Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya mencegah serangan buaya terus berulang.
Langkah yang dilakukan yaitu pemetaan daerah-daerah rawan konflik, memberikan imbauan langsung atau anjangsana kepada warga yang tinggal di daerah-daerah rawan konflik atau serangan, memberikan imbauan melalui media massa cetak dan elektronik.
BKSDA juga melakukan patroli bersama dengan Ditpolair Polda Kalteng, memasang plang imbauan atau peringatan, observasi ke daerah-daerah rawan konflik untuk mengumpulkan informasi dan data awal penyebab buaya memasuki perairan sekitar pemukiman dan menyerang manusia.
Selain itu, ada pula penyitaan atau serah terima buaya yang dipelihara masyarakat dengan total sudah sebanyak 18 ekor dan penangkapan dua ekor. BKSDA juga mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur membahas serangan buaya dan cara penanganannya, mengunjungi dan membantu biaya pengobatan kepada korban, serta berupaya menangkap buaya.
"Daerah-daerah rawan konflik atau serangan buaya yakni perairan sungai wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru Ketapang, Seranau dan Cempaga. Kami sudah memasang 35 buah plang imbauan atau peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap ancaman serangan buaya," demikian Muriansyah.
Baca juga: APBD Kotim 2022 diprediksi turun 17,89 persen