Jakarta (ANTARA) - Perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ke Dewan Pengawas KPK karena diduga melakukan pelanggaran etik.
"Perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK telah mengirimkan dua surat kepada Dewas Pengawas. Laporan pertama adalah dugaan pelanggaran etik dan perilaku oleh Wakil Ketua KPK AM (Alexander Marwata)," kata perwakilan 57 pegawai, Hotman Tambunan, melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Menurut Hotman, Alexander diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku karena melakukan konferensi pers yang bermuatan pencemaran nama baik atau penghinaan bagi 51 pegawai nonaktif pada tanggal 25 Mei 2021.
Pernyataan Alex yang diduga melanggar etik yaitu "...sedangkan yang 51 orang, kembali lagi dari asesor, itu sudah warnanya merah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan...".
"Pernyataan 'warnanya sudah merah dan tidak bisa dilakukan pembinaan' yang disematkan kepada 51 orang pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat menjadi ASN telah merugikan," ungkap Hotman.
Menurut Hotman, semua pegawai yang 51 orang dengan mudah teridentifikasi dengan tidak diangkatnya 75 yang dianggap tidak memenuhi syarat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan 24 nama pegawai yang dianjurkan untuk mengikuti pelatihan.
Hotman menyebut perbuatan tersebut diduga telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku insan KPK, yaitu nilai dasar keadilan, Pasal 6 Ayat (2) Huruf d; Pasal 6 Ayat (1) Huruf a; Pasal 8 Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf c;
Laporan dugaan pelanggaran etik itu diajukan oleh tujuh pegawai yang menjadi perwakilan 57 pegawai KPK pada tanggal 18 Agustus 2021.
Mereka adalah Harun Al Rasyid, Yudi Purnomo, Sujanarko, Aulia Postiera, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan Rasamala Aritonang.
Perwakilan pegawai juga mengirimakn surat "Permohonan Pengawasan Pelaksanaan Tindakan Korektif Ombudsman dan Rekomendasi Komnas HAM" pada tanggal 19 Agustus 2021.
"Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK berupa ketidaktaatan dan pengabaian pada peraturan perundang-undangan, kesalahan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang," ungkap Hotman.
Sementara itu, Komnas HAM telah telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya 11 pelanggaran HAM pada pegawai KPK dalam pelaksanaan TWK berupa.
Kesebelas hak yang dilanggar adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum; hak perempuan; hak untuk tidak didiskriminasi; hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan; hak atas pekerjaan; hak atas rasa aman.
Selanjutnya, hak atas informasi; hak atas privasi; hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat; hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan; dan hak atas kebebasan berpendapat.
Atas temuan-temuan tersebut, Ombudsman RI dan KomnasHAM RI telah memberikan tindakan korektif dan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Pimpinan KPK.
"Dalam hubungan dengan pelaksanaan tindakan korektif dan rekomendasi dari Ombudsman RI dan KomnasHAM RI itu mohon kiranya agar Dewas dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya agar tepat waktu dan untuk menghindari kerugian dan tindakan sewenang-wenang lebih lanjut pada pegawai KPK," ungkap Hotman.
Permohonan itu disampaikan, menurut Hotman, agar KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selalu berjalan berdasarkan asas pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah ditentukan sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yaitu untuk memastikan tegaknya hukum dan kepercayaan publik atas lembaga KPK.
"Perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK telah mengirimkan dua surat kepada Dewas Pengawas. Laporan pertama adalah dugaan pelanggaran etik dan perilaku oleh Wakil Ketua KPK AM (Alexander Marwata)," kata perwakilan 57 pegawai, Hotman Tambunan, melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Menurut Hotman, Alexander diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku karena melakukan konferensi pers yang bermuatan pencemaran nama baik atau penghinaan bagi 51 pegawai nonaktif pada tanggal 25 Mei 2021.
Pernyataan Alex yang diduga melanggar etik yaitu "...sedangkan yang 51 orang, kembali lagi dari asesor, itu sudah warnanya merah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan...".
"Pernyataan 'warnanya sudah merah dan tidak bisa dilakukan pembinaan' yang disematkan kepada 51 orang pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat menjadi ASN telah merugikan," ungkap Hotman.
Menurut Hotman, semua pegawai yang 51 orang dengan mudah teridentifikasi dengan tidak diangkatnya 75 yang dianggap tidak memenuhi syarat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan 24 nama pegawai yang dianjurkan untuk mengikuti pelatihan.
Hotman menyebut perbuatan tersebut diduga telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku insan KPK, yaitu nilai dasar keadilan, Pasal 6 Ayat (2) Huruf d; Pasal 6 Ayat (1) Huruf a; Pasal 8 Ayat (2) dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf c;
Laporan dugaan pelanggaran etik itu diajukan oleh tujuh pegawai yang menjadi perwakilan 57 pegawai KPK pada tanggal 18 Agustus 2021.
Mereka adalah Harun Al Rasyid, Yudi Purnomo, Sujanarko, Aulia Postiera, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan Rasamala Aritonang.
Perwakilan pegawai juga mengirimakn surat "Permohonan Pengawasan Pelaksanaan Tindakan Korektif Ombudsman dan Rekomendasi Komnas HAM" pada tanggal 19 Agustus 2021.
"Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK berupa ketidaktaatan dan pengabaian pada peraturan perundang-undangan, kesalahan prosedur, dan penyalahgunaan wewenang," ungkap Hotman.
Sementara itu, Komnas HAM telah telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya dan menyatakan adanya 11 pelanggaran HAM pada pegawai KPK dalam pelaksanaan TWK berupa.
Kesebelas hak yang dilanggar adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum; hak perempuan; hak untuk tidak didiskriminasi; hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan; hak atas pekerjaan; hak atas rasa aman.
Selanjutnya, hak atas informasi; hak atas privasi; hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat; hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan; dan hak atas kebebasan berpendapat.
Atas temuan-temuan tersebut, Ombudsman RI dan KomnasHAM RI telah memberikan tindakan korektif dan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Pimpinan KPK.
"Dalam hubungan dengan pelaksanaan tindakan korektif dan rekomendasi dari Ombudsman RI dan KomnasHAM RI itu mohon kiranya agar Dewas dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya agar tepat waktu dan untuk menghindari kerugian dan tindakan sewenang-wenang lebih lanjut pada pegawai KPK," ungkap Hotman.
Permohonan itu disampaikan, menurut Hotman, agar KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selalu berjalan berdasarkan asas pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah ditentukan sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yaitu untuk memastikan tegaknya hukum dan kepercayaan publik atas lembaga KPK.