Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi di Universitas Airlangga, Dr. dr. Rita Vivera Pane., Sp.KFR(K) mengatakan mendengarkan musik bisa meningkatkan aktivitas kognitif pada otak yang pada gilirannya membantu agar otak tetap sehat.
"Pendekatan musik untuk kesehatan otak signifikan. Suara yang membuat rileks yakni berasal dari alam seperti kicau burung, angin, gemercik air, dan suara manusia yang indah," kata dia dalam sebuah webinar yang digelar Indonesia Neuroscience Institute, dikutip Kamis.
Baca juga: Ini pengaruh kopi pada volume otak
Menurut Rita, mendengar lagu atau lantunan ayat-ayat dalam Al Quran juga bisa membuat seseorang termasuk penyintas COVID-19 merasa tenang dan lebih mudah pulih.
Sebuah penelitian yang dia lakukan dengan 20 orang partisipan menunjukkan, penyintas yang mendengar dan melantunkan ayat Al Quran sebanyak satu juz per hari, di samping melakukan latihan pernapasan, lebih cepat pulih ketimbang mereka yang semata melakukan latihan pernapasan.
"Lagu atau bacaan Al Quran apabila dia menjadi happy, tenang, itulah yang lebih bermanfaat pada kesehatan otak kita, berpengaruh pada neurotransmitter di otak. Suara yang membuat kita jadi tenang, itulah yang membuat otak lebih sehat," tutur Rita.
Sejumlah studi juga menunjukkan mendengarkan musik dapat mengurangi kecemasan, tekanan darah dan rasa sakit, meningkatkan kualitas tidur, suasana hati, kewaspadaan mental, dan memori.
Di sisi lain, dalam upaya menjaga kesehatan otak, Anda juga perlu melakukan aktivitas fisik yang terukur dan terstruktur atau olahraga. Rita menyarankan olahraga dengan intensitas sedang 5-6 kali seminggu yakni aerobik, latihan kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan selama 30-40 menit per sesi.
"Olahraga intensitas sedang, dirilis neurotransmitter yang akan menyehatkan otak, aliran darah ke otak juga akan meningkat. 5-6 kali intensitas sedang, 30-40 menit dalam satu sesi terdiri dari aerobik, latihan kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Lakukan olahraga dengan bervariasi," demikian pesan Rita.
Baca juga: Kenali gejala cara pengobatan tumor otak
Baca juga: Kesehatan otak dan pencernaan anak saling mempengaruhi
Baca juga: Benarkah COVID-19 bisa sebabkan kerusakan otak?
"Pendekatan musik untuk kesehatan otak signifikan. Suara yang membuat rileks yakni berasal dari alam seperti kicau burung, angin, gemercik air, dan suara manusia yang indah," kata dia dalam sebuah webinar yang digelar Indonesia Neuroscience Institute, dikutip Kamis.
Baca juga: Ini pengaruh kopi pada volume otak
Menurut Rita, mendengar lagu atau lantunan ayat-ayat dalam Al Quran juga bisa membuat seseorang termasuk penyintas COVID-19 merasa tenang dan lebih mudah pulih.
Sebuah penelitian yang dia lakukan dengan 20 orang partisipan menunjukkan, penyintas yang mendengar dan melantunkan ayat Al Quran sebanyak satu juz per hari, di samping melakukan latihan pernapasan, lebih cepat pulih ketimbang mereka yang semata melakukan latihan pernapasan.
"Lagu atau bacaan Al Quran apabila dia menjadi happy, tenang, itulah yang lebih bermanfaat pada kesehatan otak kita, berpengaruh pada neurotransmitter di otak. Suara yang membuat kita jadi tenang, itulah yang membuat otak lebih sehat," tutur Rita.
Sejumlah studi juga menunjukkan mendengarkan musik dapat mengurangi kecemasan, tekanan darah dan rasa sakit, meningkatkan kualitas tidur, suasana hati, kewaspadaan mental, dan memori.
Di sisi lain, dalam upaya menjaga kesehatan otak, Anda juga perlu melakukan aktivitas fisik yang terukur dan terstruktur atau olahraga. Rita menyarankan olahraga dengan intensitas sedang 5-6 kali seminggu yakni aerobik, latihan kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan selama 30-40 menit per sesi.
"Olahraga intensitas sedang, dirilis neurotransmitter yang akan menyehatkan otak, aliran darah ke otak juga akan meningkat. 5-6 kali intensitas sedang, 30-40 menit dalam satu sesi terdiri dari aerobik, latihan kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Lakukan olahraga dengan bervariasi," demikian pesan Rita.
Baca juga: Kenali gejala cara pengobatan tumor otak
Baca juga: Kesehatan otak dan pencernaan anak saling mempengaruhi
Baca juga: Benarkah COVID-19 bisa sebabkan kerusakan otak?