Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Pramono U. Tanthowi menegaskan bahwa panjang atau pendeknya durasi kampanye bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan kerasnya konflik di masyarakat setelah pemilihan umum.
“Ada banyak faktor lain, misalkan sistem pemilu. Apakah pemilih memilih calon saja atau partai saja? Itu akan berbeda akibatnya,” kata Pramono.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk, “Masa Kampanye 2024 Dipendekan: Siapa Untung, Siapa Rugi?” yang disiarkan di kanal YouTube Kode Inisiatif, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Selain sistem pemilu yang dapat memengaruhi intensitas konflik, Pramono juga mengatakan jumlah dan perilaku kandidat juga akan sangat berpengaruh pada intensitas konflik setelah masa pemilihan umum.
Pemilihan presiden yang diikuti oleh dua pasangan calon, apabila dibandingkan dengan pemilihan presiden yang diikuti oleh lima pasangan calon, tentu akan memiliki intensitas konflik yang berbeda.
“Karena itu, kalau berpikir bahwa satu-satunya faktor yang memperburuk konflik adalah panjang atau pendeknya masa kampanye, menurut saya itu tidak tepat. Seolah-olah mengabaikan aspek-aspek lain yang sebetulnya jauh lebih penting untuk kita pikirkan ulang,” ucap dia.
Agar pemilu tidak berubah menjadi kekerasan, atau yang dikenal dengan from voting to violence, Pramono berpandangan bahwa diperlukan penegakan hukum yang tegas bagi setiap bentuk pelanggaran kampanye.
Apalagi ketika pelanggaran kampanye meliputi tindakan menghasut, menghina suku, ras, agama, dan antargolongan, merusak, mengancam, serta mengajak untuk berbuat kekerasan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Itu yang harus dilakukan penegakan dengan adil dan tegas. Jadi, siapa pun yang memprovokasi publik maka harus dihukum dengan tegas tanpa pandang bulu dia pendukung partai apa atau mendukung pasangan calon mana,” tutur mantan Ketua Bawaslu Provinsi Banten ini.
Keadilan dalam penegakan hukum pemilu merupakan bagian penting dalam memitigasi konflik di dalam pemilihan umum.
“Ada banyak faktor lain, misalkan sistem pemilu. Apakah pemilih memilih calon saja atau partai saja? Itu akan berbeda akibatnya,” kata Pramono.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk, “Masa Kampanye 2024 Dipendekan: Siapa Untung, Siapa Rugi?” yang disiarkan di kanal YouTube Kode Inisiatif, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Selain sistem pemilu yang dapat memengaruhi intensitas konflik, Pramono juga mengatakan jumlah dan perilaku kandidat juga akan sangat berpengaruh pada intensitas konflik setelah masa pemilihan umum.
Pemilihan presiden yang diikuti oleh dua pasangan calon, apabila dibandingkan dengan pemilihan presiden yang diikuti oleh lima pasangan calon, tentu akan memiliki intensitas konflik yang berbeda.
“Karena itu, kalau berpikir bahwa satu-satunya faktor yang memperburuk konflik adalah panjang atau pendeknya masa kampanye, menurut saya itu tidak tepat. Seolah-olah mengabaikan aspek-aspek lain yang sebetulnya jauh lebih penting untuk kita pikirkan ulang,” ucap dia.
Agar pemilu tidak berubah menjadi kekerasan, atau yang dikenal dengan from voting to violence, Pramono berpandangan bahwa diperlukan penegakan hukum yang tegas bagi setiap bentuk pelanggaran kampanye.
Apalagi ketika pelanggaran kampanye meliputi tindakan menghasut, menghina suku, ras, agama, dan antargolongan, merusak, mengancam, serta mengajak untuk berbuat kekerasan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Itu yang harus dilakukan penegakan dengan adil dan tegas. Jadi, siapa pun yang memprovokasi publik maka harus dihukum dengan tegas tanpa pandang bulu dia pendukung partai apa atau mendukung pasangan calon mana,” tutur mantan Ketua Bawaslu Provinsi Banten ini.
Keadilan dalam penegakan hukum pemilu merupakan bagian penting dalam memitigasi konflik di dalam pemilihan umum.