Jakarta (ANTARA) - Sebuah studi baru yang diterbitkan di Mary Ann Liebert menunjukkan bahwa jeda selama satu minggu dari aktivitas menggulir halaman media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis serta mengurangi depresi dan kecemasan.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Dr. Jeff Lambert bersama timnya dari Universitas Bath. Peneliti secara acak membagi dua kelompok pada 154 pengguna media sosial harian antara usia 18 dan 72 tahun.
Kelompok pertama diminta untuk menahan diri menggunakan media sosial selama satu minggu, sementara kelompok kedua diizinkan untuk melanjutkan bermedia sosial seperti biasa.
Baca juga: Kesadaran kesehatan mental dorong tren staycation dan workcation
Direktur Program DSW di Tulane University School of Social Work Dr. Tonya Cross Hansel mengatakan hasil penelitian tersebut menjadi sangat penting mengingat pandemi.
“Kesehatan mental dan kesejahteraan secara keseluruhan telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut ditambah dengan kondisi medis sebelumnya, pengalaman kesedihan dan kehilangan, serta kondisi tenaga kesehatan yang sangat rentan,” kata Hansel, dikutip dari Healthline pada Senin.
Hansel berpendapat bahwa media sosial memang memainkan peran positif saat pandemi karena menyediakan cara bagi orang-orang untuk tetap terhubung, namun di sisi lain media sosial juga telah memperburuk kondisi negatif yang sudah ada sebelumnya.
“Misalnya, identitas digital palsu serta perbandingan terus-menerus dengan kehidupan palsu, hal tersebut dapat menumbuhkan perasaan sedih karena menganggap dirinya tidak sesuai standar,” katanya.
Dia juga menunjukkan bahwa perundungan di media sosial dan waktu menatap layar yang berlebihan juga dapat menyebabkan kesehatan mental yang lebih buruk.
Hansel mengatakan jika pengguna merasa bahwa media sosial tidak bermanfaat atau pengguna merasa suasana hati memburuk setelah menggunakan media sosial, hal tersebut bisa menjadi indikator perlunya istirahat sejenak.
“Demikian pula jika media sosial tidak membuat Anda merasakan kedamaian, harapan, atau kegembiraan—inilah saatnya untuk bertukar pikiran jika ada cara lain yang lebih baik untuk menginvestasikan waktu Anda,” katanya.
Untuk membuat strategi jangka panjang dalam mengatasi perasaan negatif yang timbul dari bermedia sosial, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menetapkan durasi penggunaan media sosial yang tepat bagi diri sendiri, kata Hansel.
Hansel menyarankan agar pengguna memeriksa kembali manfaat media sosial bagi dirinya sendiri. Jika media sosial menjadi cara pengguna untuk mendapatkan berita, maka hendaknya cari cara atau sumber lain untuk menggapai berita.
Jika media sosial menjadi cara pengguna tetap terhubung dengan orang lain, Hansel menyarankan untuk menelepon teman dan keluarga. Jika media sosial menjadi alasan perawatan diri, maka cari alternatif lain seperti melakukan olahraga atau hobi baru.
“Pada akhirnya, pertimbangkanlah media sosial. Terkadang penarikan total menjadi satu-satunya cara untuk mengetahui bagaimana rehat media sosial dapat memberi Anda kegembiraan dan mempengaruhi kesehatan mental Anda,” katanya.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Dr. Jeff Lambert bersama timnya dari Universitas Bath. Peneliti secara acak membagi dua kelompok pada 154 pengguna media sosial harian antara usia 18 dan 72 tahun.
Kelompok pertama diminta untuk menahan diri menggunakan media sosial selama satu minggu, sementara kelompok kedua diizinkan untuk melanjutkan bermedia sosial seperti biasa.
Baca juga: Kesadaran kesehatan mental dorong tren staycation dan workcation
Direktur Program DSW di Tulane University School of Social Work Dr. Tonya Cross Hansel mengatakan hasil penelitian tersebut menjadi sangat penting mengingat pandemi.
“Kesehatan mental dan kesejahteraan secara keseluruhan telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut ditambah dengan kondisi medis sebelumnya, pengalaman kesedihan dan kehilangan, serta kondisi tenaga kesehatan yang sangat rentan,” kata Hansel, dikutip dari Healthline pada Senin.
Hansel berpendapat bahwa media sosial memang memainkan peran positif saat pandemi karena menyediakan cara bagi orang-orang untuk tetap terhubung, namun di sisi lain media sosial juga telah memperburuk kondisi negatif yang sudah ada sebelumnya.
“Misalnya, identitas digital palsu serta perbandingan terus-menerus dengan kehidupan palsu, hal tersebut dapat menumbuhkan perasaan sedih karena menganggap dirinya tidak sesuai standar,” katanya.
Dia juga menunjukkan bahwa perundungan di media sosial dan waktu menatap layar yang berlebihan juga dapat menyebabkan kesehatan mental yang lebih buruk.
Hansel mengatakan jika pengguna merasa bahwa media sosial tidak bermanfaat atau pengguna merasa suasana hati memburuk setelah menggunakan media sosial, hal tersebut bisa menjadi indikator perlunya istirahat sejenak.
“Demikian pula jika media sosial tidak membuat Anda merasakan kedamaian, harapan, atau kegembiraan—inilah saatnya untuk bertukar pikiran jika ada cara lain yang lebih baik untuk menginvestasikan waktu Anda,” katanya.
Untuk membuat strategi jangka panjang dalam mengatasi perasaan negatif yang timbul dari bermedia sosial, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menetapkan durasi penggunaan media sosial yang tepat bagi diri sendiri, kata Hansel.
Hansel menyarankan agar pengguna memeriksa kembali manfaat media sosial bagi dirinya sendiri. Jika media sosial menjadi cara pengguna untuk mendapatkan berita, maka hendaknya cari cara atau sumber lain untuk menggapai berita.
Jika media sosial menjadi cara pengguna tetap terhubung dengan orang lain, Hansel menyarankan untuk menelepon teman dan keluarga. Jika media sosial menjadi alasan perawatan diri, maka cari alternatif lain seperti melakukan olahraga atau hobi baru.
“Pada akhirnya, pertimbangkanlah media sosial. Terkadang penarikan total menjadi satu-satunya cara untuk mengetahui bagaimana rehat media sosial dapat memberi Anda kegembiraan dan mempengaruhi kesehatan mental Anda,” katanya.