Jakarta (ANTARA) - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengingatkan kerawanan politik identitas yang dikerahkan para oligarki menjelang Pemilu 2024.
"LPI sejak lama memberikan atensi terhadap politisasi identitas dan peran oligarki yang mengalami transformasi pasca-Orde Baru dan terus berupaya untuk merangsek ke supra struktur politik dan mengendalikan sepenuhnya sistem demokrasi modern," kata Boni dalam Diskusi Publik LPI bertajuk "Mainan Oligarki di Balik Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024" di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, realitas oligarki memang ada dan sulit ditiadakan, akan tetapi bukan tidak mungkin dikendalikan dan dipenetrasi perannya melalui sistem demokrasi modern.
Boni yang meraih gelar doktoralnya dari Walden University, dengan disertasi berjudul "Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia: Exploring the Legislative Process of 2007 Election Act" (Kartelisasi Oligarki di Indonesia Pasca-Soeharto: Mengupas Proses Legislasi UU Pemilu 2017) mencermati bahwa ada peran para oligarki dalam memproduksi narasi politik identitas yang kembali digaungkan untuk kepentingan kandidat pencapresan.
Sejumlah diskus dan penelitian yang digelar tertutup dari sejumlah indikasi, LPI meyakini bahwa ada relasi kuat yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung terhadap peran segelintir oligarki terhadap narasi identitas keagamaan yang diusung kelompok tertentu.
"Biasanya, dinamika akan semakin intensif menjelang perhelatan politik, baik lokal terlebih nasional," ujarnya.
Dia menuturkan dinamika keagamaan dan polarisasi kelompok masyarakat tidak hanya sebatas tafsir terhadap teks keagamaan yang intinya membentuk narasi dukungan atau mendiskreditkan kelompok tertentu atas nama agama.
Di luar itu, lanjut dia, ada peran, sentuhan, dan relasi kaum oligarki yang ingin merangsek masuk ke dalam supra struktur politik.
"Dari analisis LPI, 'eksisting' kaum oligarki ini kerap menentang kebijakan Presiden Jokowi yang ingin mengubah manajemen dan orientasi negara. Itu sebabnya, kelompok olgarki ini berupaya menggunakan narasi keagamaan dengan menggunakan kelompok-kelompok tertentu," kata Boni.
Oleh karena itu, katanya, narasi dan pendekatan keagamaan yang paling efektif menjadi bahan bakar menggalang dukungan, sekaligus menyudutkan kelompok lain yang berbeda pilihan politiknya.
"Inilah tantangan serta realitas politik yang mengancam masa depan keberagaman dan arah bangsa ini," ucap Boni.
Sementara itu, Direktur Politik dan Hankam BRIN Muhammad Nur Hasyim menyebutkan bahwa keberadaan oligarki turut didukung faktor kultur masyarakat yang patron klien dan persebaran kaum oligarki pasca-Rezim Soeharto yang kemudian mendominasi hampir seluruh proses politik, terutama di level hilir.
Menurut dia, peran oligarki bisa dipenetrasi dengan sistem demokrasi modern.
Namun, tambah dia, struktur demokrasi dalam beberapa hal masih harus dibenahi agar para oligarki dapat sepenuhnya tunduk pada sistem dan tidak memberikan ruang untuk mengorganisir kekuatannya.
"LPI sejak lama memberikan atensi terhadap politisasi identitas dan peran oligarki yang mengalami transformasi pasca-Orde Baru dan terus berupaya untuk merangsek ke supra struktur politik dan mengendalikan sepenuhnya sistem demokrasi modern," kata Boni dalam Diskusi Publik LPI bertajuk "Mainan Oligarki di Balik Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024" di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, realitas oligarki memang ada dan sulit ditiadakan, akan tetapi bukan tidak mungkin dikendalikan dan dipenetrasi perannya melalui sistem demokrasi modern.
Boni yang meraih gelar doktoralnya dari Walden University, dengan disertasi berjudul "Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia: Exploring the Legislative Process of 2007 Election Act" (Kartelisasi Oligarki di Indonesia Pasca-Soeharto: Mengupas Proses Legislasi UU Pemilu 2017) mencermati bahwa ada peran para oligarki dalam memproduksi narasi politik identitas yang kembali digaungkan untuk kepentingan kandidat pencapresan.
Sejumlah diskus dan penelitian yang digelar tertutup dari sejumlah indikasi, LPI meyakini bahwa ada relasi kuat yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung terhadap peran segelintir oligarki terhadap narasi identitas keagamaan yang diusung kelompok tertentu.
"Biasanya, dinamika akan semakin intensif menjelang perhelatan politik, baik lokal terlebih nasional," ujarnya.
Dia menuturkan dinamika keagamaan dan polarisasi kelompok masyarakat tidak hanya sebatas tafsir terhadap teks keagamaan yang intinya membentuk narasi dukungan atau mendiskreditkan kelompok tertentu atas nama agama.
Di luar itu, lanjut dia, ada peran, sentuhan, dan relasi kaum oligarki yang ingin merangsek masuk ke dalam supra struktur politik.
"Dari analisis LPI, 'eksisting' kaum oligarki ini kerap menentang kebijakan Presiden Jokowi yang ingin mengubah manajemen dan orientasi negara. Itu sebabnya, kelompok olgarki ini berupaya menggunakan narasi keagamaan dengan menggunakan kelompok-kelompok tertentu," kata Boni.
Oleh karena itu, katanya, narasi dan pendekatan keagamaan yang paling efektif menjadi bahan bakar menggalang dukungan, sekaligus menyudutkan kelompok lain yang berbeda pilihan politiknya.
"Inilah tantangan serta realitas politik yang mengancam masa depan keberagaman dan arah bangsa ini," ucap Boni.
Sementara itu, Direktur Politik dan Hankam BRIN Muhammad Nur Hasyim menyebutkan bahwa keberadaan oligarki turut didukung faktor kultur masyarakat yang patron klien dan persebaran kaum oligarki pasca-Rezim Soeharto yang kemudian mendominasi hampir seluruh proses politik, terutama di level hilir.
Menurut dia, peran oligarki bisa dipenetrasi dengan sistem demokrasi modern.
Namun, tambah dia, struktur demokrasi dalam beberapa hal masih harus dibenahi agar para oligarki dapat sepenuhnya tunduk pada sistem dan tidak memberikan ruang untuk mengorganisir kekuatannya.