Jakarta (ANTARA) - Sutradara Hanung Bramantyo menegaskan kepada jurnalis, khususnya yang hadir dalam perayaan ulang tahun ke-15 Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), untuk memiliki sifat kritis, apalagi menyangkut ketidakadilan hukum dan sosial.
“Sifat kritis terhadap situasi itu harus dipunyai, apalagi yang menyangkut ketidakadilan hukum dan sosial. Itu harus selalu diasah, agar karya dan tulisan kita punya makna. Cuma masalahnya adalah kita terikat dengan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Hanung dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Hanung memberikan contoh pada salah satu film garapannya, yaitu Miracle in Cell No. 7. Film remake dari Korea Selatan itu bercerita tentang ketidakadilan yang dihadapi oleh seorang pria yang menyandang disabilitas mental.
“Baju hakim pada kasus pidana itu berbeda. Biar kalau saya dituntut, saya bisa katakan bahwa itu bukan di pengadilan Indonesia, itu di pengadilan Miracle in Cell No. 7,” ujarnya.
Hanung mengatakan bahwa UU ITE dapat menjerat siapa saja, termasuk jurnalis yang mencari dan menyiarkan berita. Namun demikian, dia tetap mengapresiasi langkah-langkah jurnalis yang menjalankan tugas dengan baik tanpa intervensi dari pihak mana pun.
“Teman-teman semua bisa menyuarakan tanpa diintervensi. Susah kan kalau kita di suatu zona yang sudah tak independen,” ujarnya.
Kehadiran Hanung pada perayaan HUT ke-15 FJPI memberikan semangat dan inspirasi bagi jurnalis perempuan Indonesia.
Ketua Umum FJPI Uni Lubis mengatakan bahwa perayaan HUT FJPI kali ini cukup berbeda, sebab dilakukan dengan berbagai hal-hal seru dan menarik. Uni juga mengajak seluruh jurnalis perempuan untuk tetap profesional dalam bekerja.
“Harus profesional dan tentu saja jangan lupa untuk bahagia. Organisasi profesi kuat ketika anggota-anggotanya kuat dan kompak,” ujarnya.
HUT FJPI ke-15 ini juga ditandai dengan terbentuknya cabang FJPI ke-15 di Sulawesi Utara. Dengan demikian, saat ini FJPI sudah ada di 15 provinsi yang ada di Indonesia.
“Sifat kritis terhadap situasi itu harus dipunyai, apalagi yang menyangkut ketidakadilan hukum dan sosial. Itu harus selalu diasah, agar karya dan tulisan kita punya makna. Cuma masalahnya adalah kita terikat dengan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Hanung dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Hanung memberikan contoh pada salah satu film garapannya, yaitu Miracle in Cell No. 7. Film remake dari Korea Selatan itu bercerita tentang ketidakadilan yang dihadapi oleh seorang pria yang menyandang disabilitas mental.
“Baju hakim pada kasus pidana itu berbeda. Biar kalau saya dituntut, saya bisa katakan bahwa itu bukan di pengadilan Indonesia, itu di pengadilan Miracle in Cell No. 7,” ujarnya.
Hanung mengatakan bahwa UU ITE dapat menjerat siapa saja, termasuk jurnalis yang mencari dan menyiarkan berita. Namun demikian, dia tetap mengapresiasi langkah-langkah jurnalis yang menjalankan tugas dengan baik tanpa intervensi dari pihak mana pun.
“Teman-teman semua bisa menyuarakan tanpa diintervensi. Susah kan kalau kita di suatu zona yang sudah tak independen,” ujarnya.
Kehadiran Hanung pada perayaan HUT ke-15 FJPI memberikan semangat dan inspirasi bagi jurnalis perempuan Indonesia.
Ketua Umum FJPI Uni Lubis mengatakan bahwa perayaan HUT FJPI kali ini cukup berbeda, sebab dilakukan dengan berbagai hal-hal seru dan menarik. Uni juga mengajak seluruh jurnalis perempuan untuk tetap profesional dalam bekerja.
“Harus profesional dan tentu saja jangan lupa untuk bahagia. Organisasi profesi kuat ketika anggota-anggotanya kuat dan kompak,” ujarnya.
HUT FJPI ke-15 ini juga ditandai dengan terbentuknya cabang FJPI ke-15 di Sulawesi Utara. Dengan demikian, saat ini FJPI sudah ada di 15 provinsi yang ada di Indonesia.