Jakarta (ANTARA) - Aleksander Ceferin kembali terpilih tanpa oposisi sebagai presiden Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) untuk ketiga kalinya hingga 2027 dalam sebuah Kongres UEFA ke-47 di Lisbon, Portugal, Rabu.
Pria asal Slovenia itu pertama kali terpilih sebagai presiden ketujuh UEFA pada 2016 setelah menggantikan legenda sepak bola Prancis, Michel Platini, yang dipaksa keluar karena melakukan pelanggaran etika."Saya ingin berterima kasih dari lubuk hati saya atas dukungan kalian. Ini sangat berarti bagi saya," kata pria berusia 55 tahun tersebut di Lisbon dalam sambutannya yang dikutip AFP.
"Sebuah kehormatan besar, tetapi juga tanggung jawab besar yang saya emban untuk kalian dan juga sepak bola," katanya melanjutkan.
Kongres UEFA berlangsung hanya beberapa pekan setelah Gianni Infantino terpilih kembali sebagai presiden badan olahraga dunia FIFA tanpa oposisi.
Ceferin sendiri baru-baru ini menentang proposal Infantino untuk mengadakan Piala Dunia setiap dua tahun sekali dan ia dipastikan akan melawan proyek Liga Super Eropa.
Ceferin menghadapi tantangan terbesarnya pada April 2021 ketika beberapa klub top Eropa berusaha membentuk Liga Super Eropa.
Kompetisi tersebut merupakan ancaman langsung terhadap kompetisi klub kontinental UEFA, Liga Champions, dan Ceferin meminta para penggemar, federasi sepak bola, dan pemerintah untuk menentang "proposal yang mementingkan diri sendiri dan memalukan" itu.
Dalam pidatonya menjelang pemilihannya kembali, Ceferin berkata, "Sepak bola Eropa sudah mendunia. Dan sementara kami menuai keuntungan, kami juga membayar harganya,"
"Ada godaan dan bahkan upaya untuk membuat model baru, tetapi mereka bertentangan dengan model Eropa yang kita kenal dengan baik dan sangat kita hargai," kata Ceferin.
"Model kami didasarkan pada prestasi olahraga. Dari mana kita berasal, prestasi tidak memiliki harga. Prestasi tidak dapat diklaim, itu hanya dapat diperoleh. Musim demi musim. Hidup dan mati pitch. Tidak ada ruang untuk kartel di benua ini," katanya menegaskan.
Ceferin juga menyoroti perlunya menekan pelanggaran hak terhadap pemain.
"Sepak bola adalah olahraga inklusif, terbuka untuk semua orang. Sayangnya, beberapa orang masih belum memahami konsep ini. Itulah sebabnya kami harus memikirkan kembali pendekatan kami," pungkas Ceferin.