Jakarta (ANTARA) - Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan dirinya tak bisa banyak berkomentar usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) tahun 2011-2021.
"Enggak bisa buka, nanti di pengadilan bisa kok. Pokoknya tanya penyidik deh," kata Ahok di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa.
Ahok mengaku tak ingat soal jumlah pertanyaan yang disodorkan penyidik lembaga antirasuah dalam pemeriksaan yang baru dijalaninya.
Namun Ahok mengatakan dirinya diperiksa sebagai saksi untuk Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) 2009-2014 yang kini menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
"Dipanggil buat masalah Ibu Karen, itu saja sih. (jumlah pertanyaan) lupa," ujarnya.
Ahok juga tak bisa memastikan apakah dirinya akan kembali diperiksa oleh penyidik KPK, menurutnya hal itu adalah kewenangan penyidik KPK.
"Saya enggak tahu. Tergantung penyidik ya," kata Ahok.
Sebelumnya, KPK pada Selasa (19/9) melakukan penahanan terhadap Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di PT Pertamina pada 2011-2021.
Perkara dugaan korupsi tersebut diduga berawal sekitar 2012, saat itu PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2009-2040 sehingga perlu pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk, dan industri petrokimia lainnya di Indonesia.
Karen yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero Periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Karen kemudian secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup rapat umum pemegang saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Kondisi kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero.
Perbuatan KA atau Galaila Karen Kardinah menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar AS atau sekitar Rp2,1 triliun.
Atas perbuatannya, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Enggak bisa buka, nanti di pengadilan bisa kok. Pokoknya tanya penyidik deh," kata Ahok di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa.
Ahok mengaku tak ingat soal jumlah pertanyaan yang disodorkan penyidik lembaga antirasuah dalam pemeriksaan yang baru dijalaninya.
Namun Ahok mengatakan dirinya diperiksa sebagai saksi untuk Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) 2009-2014 yang kini menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
"Dipanggil buat masalah Ibu Karen, itu saja sih. (jumlah pertanyaan) lupa," ujarnya.
Ahok juga tak bisa memastikan apakah dirinya akan kembali diperiksa oleh penyidik KPK, menurutnya hal itu adalah kewenangan penyidik KPK.
"Saya enggak tahu. Tergantung penyidik ya," kata Ahok.
Sebelumnya, KPK pada Selasa (19/9) melakukan penahanan terhadap Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG) di PT Pertamina pada 2011-2021.
Perkara dugaan korupsi tersebut diduga berawal sekitar 2012, saat itu PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2009-2040 sehingga perlu pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk, dan industri petrokimia lainnya di Indonesia.
Karen yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero Periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Karen kemudian secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup rapat umum pemegang saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Kondisi kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero.
Perbuatan KA atau Galaila Karen Kardinah menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar AS atau sekitar Rp2,1 triliun.
Atas perbuatannya, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.